Share

Bab 5 Assalamualaikum, Shifu!

Pagi hari saat menyiapkan sarapan, hp bututku yang hanya bisa buat nerima telpon berdering. Lalu suara Mas Agi dengan nada putus asa dan mengancam menyuruhku segera kembali ke rumah Mama.

“Aku tak mau tahu kamu harus nurut sama suami, kamu cepat kembali ke rumah Mama. Yuni sama Yani sama sekali tak bisa diandalkan untuk merawat Mama. Aku kasihan sama Mama.”

“Tapi Mas ….” ucapanku terpotong.

 “Tak ada tapi-tapian. Kalau sampai sore nanti kamu tak datang, awas aja.” Mas Agi membentak.

Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Baru juga seminggu hidupku tenang sekarang harus kembali ke tempat sumber masalah.     

“Telpon dari siapa, Teh?” Lina bertanya penasaran. Dia mengambil alih bawang yang tengah kukupas lalu membuat nasi goreng pete dengan cepat.

“Mas Agi. Dia ngancam Teteh supaya cepet pulang.” 

“Bener-bener ngeselin ya. Baru juga istrinya tenang seminggu aja udah diancam-ancam. Masa anak tiga nggak bisa ngurus ibunya sendiri. Jangan mau dijadikan pembantu lagi, Teh!” Lina berkata geregetan. 

Andai aku bisa mengikuti saran Lina. Tapi itu tak mungkin. Mas Agi masih suami sahku, keridoannya masih kunci surgaku. Terlepas dari segala kekurangannya, aku tak mau mengundang murka Allah karena tak menuruti perintah suami. Bila Allah murka sedikit saja, pada siapa lagi aku bisa berlindung. 

Meski berat untuk kulakukan, tapi jelas ini bukan perintah untuk berbuat maksiat. Lagi pula aku terlanjur sayang sama Mama mertua. Saat sehat beliau selalu melimpahkan kasih sayangnya padaku, tak mungkin aku menelantarkannya saat beliau sakit. 

“Tak apa, Teteh akan menuruti perintah Mas Agi. Tolong kamu antar Teteh untuk latihan silat sama Wak Haji Rozaq terakhir hari ini.”

“Siip.” Lina mengacungkan dua jempol.

“Bela diri itu sebenarnya penting banget ya, Teh, buat para wanita, supaya minimal bisa ngejaga diri sendiri. Kita tak tahu aja kapan ngebutuhin ilmu bela diri itu.”

Aku mengangguk-angguk mmebenarkan ucapan Lina. Setelah mengalami hal kurang menyenangkan aku baru menyadari pentingnya ilmu bela diri. Karena itulah saat sampai ke rumah Ibu aku langsung ngajak Lina menemui Wak Haji.

“Teh, boleh Ibu ngasih saran?” Ibu yang tengah menggendong Yusril masuk ke dapur.

Aku menghadap ke Ibu siap mendengar sarannya.

“Bila melihat kondisi kalian saat ini sepertinya Teteh tak akan bisa keluar dari rumah itu dengan cepat. Ibu sangat mengkhawatirkan kehormatan Teteh. Apalagi kata Teteh suami Yuni itu akan lama di rumah itu kan? Maka jalan terbaik saat ini Teteh menjadi TKW.” Ibu menjeda ucapannya, mengamati raut wajahku. 

Lina menghidangkan nasi goreng pete di meja makan di depan kami.

Melihatku hanya diam menyimak Ibu melanjutkan ucapannya, “Semoga pekerjaan Teteh di sana lancar sehingga saat pulang bisa membangun rumah. Mungkin Teteh bisa mengatakan akan udunan untuk menyewa perawat buat Mama mertua, agar Agi dan Yuni Yani tak menghalangi niat Teteh. Tentang Yusril tak usah khawatir, Ibu sama Lina siap mengasuhnya.”

Dengan berat hati aku membenarkan pendapat Ibu. Tak ada yang bisa diandalkan saat ini untuk melindungi diriku selain diri sendiri. Mas Agi bahkan tak mempercayai bila kehormatan istrinya ini terancam. Sampai saat ini aku bergidik mengingat sorot mata Mas Doni malam itu.

“Aku setuju dua ratus persen sama Ibu. Aku akan pulang cepat tiap pulang sekolah, agar bisa membantu Ibu ngasuh Yusril. Teteh tenang aja.” Lina bicara setelah menelan nasi gorengnya. Aku sama Ibu pun menikmati nasi gorengnya dengan lahap. Lezat.

Aku memeluk Lina. Anak remaja SMU itu memang bisa diandalkan, mungkin karena kami terbiasa hidup sederhana dan mandiri.

“Kalau begitu Teteh akan bicara sama Mas Agi secepatnya. Kalau dia sudah oke nanti kamu bantu Teteh mengurus keperluannya ya, Lin. Tolong kontak dulu teman kamu itu, minta waktu beberapa hari untuk bersiap. Mereka belum dapat perawat kan?”

“Katanya sih belum. Entah kenapa mereka seperti menunggu Teh Lala. Mungkin terkesan dengan ceritaku soal Teteh biasa merawat mertua dengan sabar.” Lina terkekeh.

“Untuk beberapa hari Teteh yang sabar dulu di rumah itu. Insya Allah aman kalau hanya beberapa hari. Ilmu dari Wak Haji cukup buat bikin Teteh bisa menghindar ya.”

Aku tersenyum. Sebenarnya waktu gadis dulu aku ikut latihan silat bersama Wak Haji Rozaq, lumayanlah jurusku sudah banyak. Tapi karena lama nggak latihan jadinya lupa-lupa ingat dan kaku lagi. Selama di rumah Ibu, atas saran Lina aku kembali latihan dengan lebih intensif. Targetannya bisa melindungi diri sendiri.

***

“Assalamualaikum, Shifu!” Lina meletakan tangan di dahi seperti tengah menghormat pada atasan, saat bertemu Wak Haji di belakang rumahnya yang dijadikan sanggar silat. Wak Haji terkekeh melihat kelakuan muridnya itu. 

Menjelang siang kami mulai latihan bertiga. Murid silat lainnya tengah beristirahat karena mereka latihan dari pagi. Khusus hari ini kami akan berlatih lebih lama dari biasanya karena sore nanti aku harus kembali ke rumah Mama. Wak Haji mengetahui masalahku dan beliau memberikan teknik-teknik khusus untuk melindungi diri saat darurat.

“Kuda-kudamu udah mantap lagi, La. Pukulan kamu juga penuh tenaga. Wak Haji harap kamu bisa melatih jurusmu secara rutin meski sebentar-sebentar. Buat ngejaga reflek dan kegesitannya.” Wak Haji menasihatiku. Aku mengiyakan dengan penuh rasa terima kasih.

Ada gunanya juga sering angkat galon, gas 12kg, naik atap membetulkan genteng yang bocor, membuat tubuhku fit dan kuat meski lama tak latihan silat. Jadi sekarang aku tinggal berlatih supaya jurus-jurusnya enggak lupa dan refleknya bagus saat melindungi diri.

Mulai sekarang aku akan curi-curi waktu buat latihan di belakang rumah saat orang rumah pergi. Siang hari rumah sering sepi dan Mama biasanya tidur siang. Aku tersenyum membayangkan rencanaku nanti. Wak Haji bilang tak perlu lama-lama yang penting rutin latihannya. 

“Kamu yang kuat ya, La. Wak Haji tahu kamu menuruni sifat Bapakmu yang pemberani. Wak Haji juga bantu doa dari jauh, semoga kamu dijauhkan dari segala marabahaya. Sesekali coba ajak suami kamu ngobrol sama Wak Haji.”

Mataku berkaca-kaca mendapat perhatian dari guruku. Rasanya ingin menghambur menumpahkan rasa sesak dan tangis dalam pelukan kokohnya. Tapi itu tak mungkin, beliau bukan mahromku. Ah, andai Bapak masih ada.

“Makasih banyak Wak Haji. Makasih untuk semuanya.” Aku tak bisa berkata banyak karena tenggorokanku tercekat oleh bahan tangisan.

***

Setelah Ashar aku berangkat kembali dengan si Kecil Yusril menuju rumah Mama mertua. Ibu dan Lina mengiringi langkahku dengan tatapan yang sulit dilukiskan. Aku yakin, doa Ibu selalu menyertai dalam setiap langkahku. Aku merasa lebih siap menghadapi segala cobaan dengan senjata doa dari ibu serta bekal ilmu bela diri dari Wak Haji. Semoga Allah selalu melindungiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status