Pagi ini aku sama Lina memetik sayuran di kebun yang tak jauh dari rumah. Si Kecil Yusril masih tidur lelap dijaga Ibu di rumah. Nampak senyum sumringah Ibu saat aku mengatakan akan menginap di rumahnya untuk waktu yang lama. Ibu pasti kangen sekali sama cucu kesayangannya, kami memang jarang memiliki kesempatan untuk mengunjunginya karena kesibukanku yang tak ada habisnya di rumah mertua.
“Lalapannya banyak banget, pasti nikmat banget kalau kita bikin sambel sama goreng ikan asin,” kataku sambil asyik memetik pucuk daun singkong.
“Mantap banget itu, apalagi kalau dimakan sama nasi liwet panas, eco tiada dua,” Lina terkekeh. Aku mengangkat dua jempol. Alamat nganan timbanganku kalau lama di rumah Ibu.
“Eh, geuning aya Teh Lala. Iraha kadieu? ” Uwa Yati kakaknya Ibu yang kebetulan lewat menyapa kami, menanyakan kapan aku datang ke rumah Ibu.
“Iya, Uwa. Lala kemaren sore ke sininya. Mungkin mau nginep agak lama.”
“Memangnya ibu mertua kamu sudah sembuh?”
“Belum, Wa. Tapi di rumah Mama banyak orang. Mas Agi dan adik-adiknya sama suami mereka semua ada. Hitung-hitung refresing Lala nginep di rumah Ibu dulu.
“Tah kitu atuh. Sekali-kali refresing biar nggak setres hehe.” Uwa terkekeh. Aku memang dekat dengan Uwa dan beliau mengetahui apa yang aku alami di rumah mertua.
“Nih, nitip buat Ibu. Uwa habis panen pete.” Uwa ngasih sekikat besar pete.
“Waah asyik bangeet. Wa, kita mau ngeliwet abis Zuhur, mantap nih pakai pete dadakan pasti manis. Nanti Uwa ke rumah ya, ajak juga yang lainnya.” Dengan penuh semangat Lina bicara yang disambut Wa Yati dengan antusias.
Wah, kebayang ramainya siang nanti di rumah Ibu. Ini yang selalu kurindukan dari keluarga di sini. Di kampung ini kami banyak memiliki saudara, dan tetangga pun sudah seperti saudara juga. Sederhana tapi penuh kehangatan. Dan momen ngaliwet, botram, atau ngerujak bersama selalu menjadi momen bahagia. Penuh canda tawa tanpa saling cela. Keluarga Ibu memang sehangat ini. Berbanding terbalik dengan keluarga suamiku.
***
Seperti yang sudah direncanakan, habis Zuhur di halaman rumah Ibu penuh dengan saudara serta tetangga yang ikut makan nasi liwet. Kami menggelar tikar di tanah di bawah pohon rambutan yang rindang. Meski dadakan tapi sangat meriah. Tangan mereka pun tak ada yang kosong, membawa makanan apa saja yang mereka punya meski tak mewah. Bi Titi membawa oseng cabe gendot, Imah anak Wa Yati bawa sambal terasi, dan entah makanan dari siapa lagi yang jelas tikar penuh dengan makanan nikmat.
“Lala kurusan sekarang, makan yang banyak La. Nih, pake sambel bikinan aku pasti nambah terus,” Imah menyendokan sambal bikinannya ke piringku.
“Aduh, ini udah nambah tiga kali, Teh Imah. Rasanya udah lama banget aku nggak makan senikmat ini,” celetukanku disambut tawa saudara-saudara. Kulihat piring mereka pun tak hentinya nambah makanan.
Kurasa pete dari Wa Yati primadonanya hari ini. Ada manis-manisnya karena baru dipetik. Aroma wanginya menguar karena dimasak dengan cara dibakar. Bikin yang diet bakal gagal ini sih.
Sayang sekali Mas Agi tak ikut makan. Katanya khawatir dengan Mama, makanya setelah mengantarkanku dan Yusril, Mas Agi langsung pulang lagi.
“Besok ngerujak di rumah Uwa ya mumpung Lala ada di sini. Kebetulan mangga sama pepaya lagi berbuah di kebun belakang.” Perkataan Uwa Yati disambut meriah, semuanya bersorak gembira. Kebahagiaan kami memang receh banget, sekadar ngeliwet atau ngerujak bersama juga sudah cukup.
Berada di tengah keluarga yang hangat seperti ini membuatku melupakan sejenak masalah dengan keluarga suami. Rasanya sudah lama aku tak bisa tertawa lepas seperti saat ini. Ibu berkali-kali tersenyum dan memelukku dengan senyum lebar terkembang.
***
Malam hari kami duduk lesehan di tengah rumah. Yusril asik dengan mainan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali buatan Akinya, suami Wa Yati.
“Teh Lala, aku tadi ketemu sama temen yang ngasih info TKW itu. Mereka butuh banget katanya. Perawat sebelumnya pada nggak sabaran katanya jadi mereka mundur.”
Aku melirik pada ibu. Sorot matanya seperti bertanya.
“Lala masih bingung, Bu. Menurut Ibu bagaimana baiknya?”
“Ibu nggak akan menyuruh atau melarang. Teteh pertimbangkanlah betul-betul baik buruknya. Kalau pun akhirnya memutuskan untuk berangkat, biarkan Yusril itu Ibu sama Lina yang ngurus.”
Aku sungguh bingung dengan kondisi saat ini. Kalau pergi berarti meninggalkan anak kesayangan. Rasanya tak sanggup harus berjauhan bertahun-tahun, dia tidur kelamaan saja aku suka kangen. Tapi kalau tak berangkat berarti selamanya aku harus numpang di rumah mertua, menjadi pembantu ipar kembar, dan tentunya tidur tergeletak di ruang tengah tanpa privasi sama sekali. Mending kalau hanya sebatas itu, dengan kehadiran suami Yuni kehormatanku juga terancam.
“Menurutku ini peluang bagus buat Teteh mengubah nasib. Aku sedih banget ngelihat Teteh diperlakukan kayak pembantu di rumah mertua sendiri. Apalagi sekarang kehormatan Teteh juga terancam. Ih gemes banget aku tuh.” Lina berkata penuh emosi.
“Kehormatan Teteh terancam. Apa maksudnya?” Ibu bertanya dengan ekspresi campur aduk.
Aku menunduk. Lina keceplosan bicara dan aku tak sempat memberinya kode.
“Teteh kan tidur di ruang tengah, Bu. Suami Mba Yuni itu berani pegang-pegang tangan Teh Lala waktu Mas Agi nggak ada di rumah malam-malam. Untung Teh Lala keburu bangun.”
“Astaghfirulloh ….” Ibu mengelus dada. Beliau pasti kaget sekali mendengar anak yang selama ini dijaga kehormatannya justru terancam di rumah suaminya sendiri.
“Kalau gitu kalian tinggal di rumah ini aja sampai Agi dapat pekerjaan dan bisa ngasih kalian tempat tinggal lagi.”
Aku semakin tertunduk. Sepertinya harapan Ibu susah diwujudkan. Jangankan tempat tinggal, untuk makan sehari-hari saja kami numpang sama ipar dan mertua. Mas Agi terlalu gengsi untuk bekerja serabutan karena gelar sarjananya. Untuk saat ini setidaknya aku aman di rumah Ibu selama Mas Doni ada di rumah Mama.
Ibu dan Lina memelukku yang menangis tanpa suara. Aku jadi kangen Bapak, beliau sosok yang bijak dan mengayomi. Tentu masalahnya tak akan serumit ini kalau beliau (Allohu yarham) masih ada.
“Teteh shalat istikharah aja. Minta dipilihkan yang terbaik sama Allah.” Ibu mengusap punggungku.
Benar, hanya Dia yang kupunya untuk memberikan kami solusi dari permasalahan rumitku saat ini.
Setelah menidurkan Yusril aku mengambil air wudlu dan shalat istikharah. Ya Allah, Engkau mengetahui yang terbaik untukku. Aku memasrahkan hidupku ke depannya pada pilihan Dia. Karena aku tahu Dia hanya memberikan yang terbaik pada hamba-Nya.
***
Pagi hari saat menyiapkan sarapan hp bututku yang hanya bisa buat nerima telpon bordering. Lalu suara Mas Agi dengan nada putus asa dan mengancam menyuruhku segera kembali ke rumah Mama.
“Aku tak mau tahu kamu harus nurut sama suami, kamu cepat kembali ke rumah Mama. Yuni sama Yani sama sekali tak bisa diandalkan untuk merawat Mama. Aku kasihan sama Mama.”
“Tapi Mas ….” ucapanku terpotong.
“Tak ada tapi-tapian. Kalau sampai sore nanti kamu tak datang, awas aja.” Mas Agi membentak.
Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Baru juga seminggu hidupku tenang sekarang harus kembali ke tempat sumber masalah.
“Aku enggak butuh tanah seluas ini, ya Habibi. Aku tahu uangmu tak berseri. Tapi jangan hamburkan untuk sesuatu yang sia-sia.” Suamiku mengusap-usap tanganku yang memegang lengannya.“Kalau aku tetap mau membelinya, gimana?” senyumnya dengan alis dinaik-turunkan untuk menggodaku.Ah, kadang-kadang sultan Arab ini nyebelin juga. Eh, tapi masa mau dibeliin tanah sepuluh hektar dibilang nyebelin. Tapi buat apa tanah seluas itu coba? Siapa yang mau ngurus?Aku menyimpan nomor ponsel yang tertera atas perintah suamiku tercinta sambil cemberut. Dia malah tertawa sambil mengecup bibirku dan membuat mataku melotot. Kan malu kalau ada orang yang melihat.“Bagaimana menurutmu bila di tempat ini kita bangun sebuah pesantren? Anak-anak akan belajar di sini dengan fasilitas yang baik tanpa dipungut bayaran sepeser pun?”Aku menatap matanya lekat. Itu adalah impian selintasku dulu sekali yang bahkan tak pernah berani kukatakan pada siapa pun. Impian yang muncul saat membaca tentang pesantren tahfidz
Setelah walimah kami memutuskan tinggal di rumah baru kami dengan status visa suami sebagai wisatawan. Setelah masa berlaku bisa hampir habis baru akan kami pikirkan rencana selanjutnya, apakah memperpanjang visa suami atau kami kembali ke kota Madinah. Beliau tak perlu khawatir dengan bisnisnya karena punya beberapa orang kepercayaan. Ada orang yang khusus mengelola hotel, juga ada yang khusus mengelola kebun kurma. Istilahnya mungkin bisnis jalan tapi ownernya jalan-jalan. Ibu, Lina dan Yusril senang sekali bisa berkumpul setiap hari setelah berpisah sekian lama. Rumah kami sekarang selalu hangat dengan kasih sayang dan gelak tawa.“Ucil senang sekali sekarang Ucil bisa main sama Bubu tiap hari. Sama Baba juga Ucil suka main kuda-kudaan.”Anakku selalu riang gembira. Berpindah-pindah dari pangkuanku, ke pangkuan ayah sambungnya, lalu ke pangkuan Ibu, juga ke pangkuan Lina. Dia seolah sedang memuaskan dirinya bermain bersama semua orang yang menyayanginya. Setiap waktu salat dia aka
Menjelang Ashar tamu masih berdatangan satu-satu. Tapi kami sudah terlalu lelah dan pamit masuk ke rumah untuk beristirahat. Di tenda luar dan ruang tamu masih ada Ibu dan Uwa yang bisa mewakili kami menerima tamu. Kecuali tamu spesial maka kami akan menemuinya sebentar.Saat masuk kamar mataku membola melihat ke arah tempat tidur kami. Besar sekali ukuran kasur ini. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu, suamiku yang berbadan lebih tinggi dari orang Indonesia pasti merasa tak nyaman saat tidur di kasurku. aku merasa bersalah tetapi dia tak protes. Subhanallah, manisnya suamiku."Ekhem, sudah tak sabar menunggu malam, ya Habibati? Lihat kasur terus." Sebuah suara dengan nada menggoda berbisik di telingaku membuat wajahku memerah. "Apaan sih, enggak kok. Aku hanya baru sadar kasur di kamarku kecil banget buatmu. Maaf ya, Habibi, aku kurang peka." Suamiku hanya tersenyum. Dia memang selalu tidur lebih akhir dan bangun lebih awal sehingga aku tak menyadarinya."Mari kubantu melepas baju
Akhirnya tiba juga hari ini. Menjadi ratu sehari dalam pernikahan kedua. Kami duduk di pelaminan yang didekorasi indah di halaman rumah kami yang luas. Aku mengenakan gaun pengantin putih cantik yang dikirim memakai cargo dari Arab sana. Suamiku yang gagah terlihat makin memesona dalam balutan baju pengantin warna putih senada dengan gaunku. Aku di-make up minimalis saja. Ibu dan Wak Endo duduk mendampingi kami. Yusril bergabung bersama kami sebentar tapi kemudian bosan dan memilih main bersama sepupunya."Istriku cantik sekali, Masya Allah. Inginnya kusembunyikan saja di kamar," komentar suamiku saat melihatku selesai didandani."Aku juga malu sekali buat duduk di pelaminan. Betul katamu, sebaiknya aku ngumpet di kamar.""Haha aku bercanda, ya Habibati. Kita harus tetap duduk untuk menyalami tamu. Seperti adat di sini. Lagi pula kelihatannya tamu-tamu di sini sopan-sopan pakaian dan perilakunya."Panggung hiburan berdiri kokoh di sebelah kanan gerbang. Siapa pun boleh ikut berpartisi
Hari ini merupakan salah satu hari paling bahagia dalam hidup Ibuku, dan melihat kebahagiaan beliau adalah salah satu kebahagiaan terbesarku. Sebenarnya aku malu bila harus dipajang lagi di pelaminan sebagai mempelai. Tetapi Ibu ingin berbagi kebahagiaan kami dengan seluruh warga kampung dan kerabat kami, maka aku pun memenuhi keinginannya dengan mengadakan walimah yang meriah untuk ukuran kami.Dua hari sebelum hari-H Alhamdulillah rumah baru kami sudah selesai dibangun dan siap digunakan untuk resepsi. Masjid kampung kami pun meski belum selesai dibangun tapi sudah nampak bangunan utuhnya yang megah. Sehingga kami tidak terlalu merasa bersalah bila memiliki rumah megah tapi masjid diabaikan.Kami memilih tidak memakai jasa catering, dan memberikan kesempatan pada para tetangga untuk berpartisifasi. Para tetangga pun dengan senang hati berkumpul di dapur Ibu untuk membantu memasak. Kue-kue tradisional yang lezat-lezat memenuhi ruang keluarga rumah kontrakan Ibu sejak malam. Sementara
Entah berapa lama aku terjebak di sini hingga tiba-tiba semua orang terdiam dan melihat ke arah yang sama. Aku yang tengah menunduk jadi bingung dan ikut melihat arah tatapan mereka.“Masya Allah Nabi Yusuf lewat.”“Masya Allah ada malaikat di kampung kita.”"Lihat punggungnya, jangan-jangan dia punya sayap."Pria macho dengan wajah ganteng itu kaget sebentar saat melihat gerombolan ibu-ibu, tapi kemudian dengan tenang melewati mereka. Tanpa memandang dan tanpa senyum hanya mengucapkan assalamualaikum dengan suara tegas penuh kharisma. Di Arab sana pasti tak pernah ditemuinya gerombolan ibu-ibu nangkring sore-sore. Aku geleng-geleng kepala saat para ABG putri diam-diam mengambil foto Mister Halim.Menjelang Jum'atan aku sudah siap berangkat bersama Lina menuju rumah mantan mertua. Mengantarkan kartu undangan sebagai alasanku untuk bersilaturahim dengan beliau. Sebenarnya aku kangen sekali dengan mantan mertua yang baik hati itu. Tapi hati selalu bimbang setiap mengingat kemungkinan aka