Share

Bab 4 Nasi Liwet Bakar Pete

Pagi ini aku sama Lina memetik sayuran di kebun yang tak jauh dari rumah. Si Kecil Yusril masih tidur lelap dijaga Ibu di rumah. Nampak senyum sumringah Ibu saat aku mengatakan akan menginap di rumahnya untuk waktu yang lama. Ibu pasti kangen sekali sama cucu kesayangannya, kami memang jarang memiliki kesempatan untuk mengunjunginya karena kesibukanku yang tak ada habisnya di rumah mertua. 

“Lalapannya banyak banget, pasti nikmat banget kalau kita bikin sambel sama goreng ikan asin,” kataku sambil asyik memetik pucuk daun singkong.

“Mantap banget itu, apalagi kalau dimakan sama nasi liwet panas, eco tiada dua,” Lina terkekeh. Aku mengangkat dua jempol. Alamat nganan timbanganku kalau lama di rumah Ibu.

“Eh, geuning aya Teh Lala. Iraha kadieu? ” Uwa Yati kakaknya Ibu yang kebetulan lewat menyapa kami, menanyakan kapan aku datang ke rumah Ibu.

“Iya, Uwa. Lala kemaren sore ke sininya. Mungkin mau nginep agak lama.”

“Memangnya ibu mertua kamu sudah sembuh?”

“Belum, Wa. Tapi di rumah Mama banyak orang. Mas Agi dan adik-adiknya sama suami mereka semua ada. Hitung-hitung refresing Lala nginep di rumah Ibu dulu. 

“Tah kitu atuh. Sekali-kali refresing biar nggak setres hehe.” Uwa terkekeh. Aku memang dekat dengan Uwa dan beliau mengetahui apa yang aku alami di rumah mertua.

“Nih, nitip buat Ibu. Uwa habis panen pete.” Uwa ngasih sekikat besar pete. 

“Waah asyik bangeet. Wa, kita mau ngeliwet abis Zuhur, mantap nih pakai pete dadakan pasti manis. Nanti Uwa ke rumah ya, ajak juga yang lainnya.” Dengan penuh semangat Lina bicara yang disambut Wa Yati dengan antusias. 

Wah, kebayang ramainya siang nanti di rumah Ibu. Ini yang selalu kurindukan dari keluarga di sini. Di kampung ini kami banyak memiliki saudara, dan tetangga pun sudah seperti saudara juga. Sederhana tapi penuh kehangatan. Dan momen ngaliwet, botram, atau ngerujak bersama selalu menjadi momen bahagia. Penuh canda tawa tanpa saling cela. Keluarga Ibu memang sehangat ini. Berbanding terbalik dengan keluarga suamiku.

***  

Seperti yang sudah direncanakan, habis Zuhur di halaman rumah Ibu penuh dengan saudara serta tetangga yang ikut makan nasi liwet. Kami menggelar tikar di tanah di bawah pohon rambutan yang rindang. Meski dadakan tapi sangat meriah. Tangan mereka pun tak ada yang kosong, membawa makanan apa saja yang mereka punya meski tak mewah. Bi Titi membawa oseng cabe gendot, Imah anak Wa Yati bawa sambal terasi, dan entah makanan dari siapa lagi yang jelas tikar penuh dengan makanan nikmat.

“Lala kurusan sekarang, makan yang banyak La. Nih, pake sambel bikinan aku pasti nambah terus,” Imah menyendokan sambal bikinannya ke piringku. 

“Aduh, ini udah nambah tiga kali, Teh Imah. Rasanya udah lama banget aku nggak makan senikmat ini,” celetukanku disambut tawa saudara-saudara. Kulihat piring mereka pun tak hentinya nambah makanan. 

Kurasa pete dari Wa Yati primadonanya hari ini. Ada manis-manisnya karena baru dipetik. Aroma wanginya menguar karena dimasak dengan cara dibakar. Bikin yang diet bakal gagal ini sih.   

Sayang sekali Mas Agi tak ikut makan. Katanya khawatir dengan Mama, makanya setelah mengantarkanku dan Yusril, Mas Agi langsung pulang lagi.

“Besok ngerujak di rumah Uwa ya mumpung Lala ada di sini. Kebetulan mangga sama pepaya lagi berbuah di kebun belakang.” Perkataan Uwa Yati disambut meriah, semuanya bersorak gembira. Kebahagiaan kami memang receh banget, sekadar ngeliwet atau ngerujak bersama juga sudah cukup. 

Berada di tengah keluarga yang hangat seperti ini membuatku melupakan sejenak masalah dengan keluarga suami. Rasanya sudah lama aku tak bisa tertawa lepas seperti saat ini. Ibu berkali-kali tersenyum dan memelukku dengan senyum lebar terkembang. 

***

Malam hari kami duduk lesehan di tengah rumah. Yusril asik dengan mainan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali buatan Akinya, suami Wa Yati.

“Teh Lala, aku tadi ketemu sama temen yang ngasih info TKW itu. Mereka butuh banget katanya. Perawat sebelumnya pada nggak sabaran katanya jadi mereka mundur.”

Aku melirik pada ibu. Sorot matanya seperti bertanya.

“Lala masih bingung, Bu. Menurut Ibu bagaimana baiknya?”

“Ibu nggak akan menyuruh atau melarang. Teteh pertimbangkanlah betul-betul baik buruknya. Kalau pun akhirnya memutuskan untuk berangkat, biarkan Yusril itu Ibu sama Lina yang ngurus.”

Aku sungguh bingung dengan kondisi saat ini. Kalau pergi berarti meninggalkan anak kesayangan.  Rasanya tak sanggup harus berjauhan bertahun-tahun, dia tidur kelamaan saja aku suka kangen. Tapi kalau tak berangkat berarti selamanya aku harus numpang di rumah mertua, menjadi pembantu ipar kembar, dan tentunya tidur tergeletak di ruang tengah tanpa privasi sama sekali. Mending kalau hanya sebatas itu, dengan kehadiran suami Yuni kehormatanku juga terancam. 

“Menurutku ini peluang bagus buat Teteh mengubah nasib. Aku sedih banget ngelihat Teteh diperlakukan kayak pembantu di rumah mertua sendiri. Apalagi sekarang kehormatan Teteh juga terancam. Ih gemes banget aku tuh.” Lina berkata penuh emosi.

“Kehormatan Teteh terancam. Apa maksudnya?” Ibu bertanya dengan ekspresi campur aduk.

Aku menunduk. Lina keceplosan bicara dan aku tak sempat memberinya kode.

“Teteh kan tidur di ruang tengah, Bu. Suami Mba Yuni itu berani pegang-pegang tangan Teh Lala waktu Mas Agi nggak ada di rumah malam-malam. Untung Teh Lala keburu bangun.” 

“Astaghfirulloh ….” Ibu mengelus dada. Beliau pasti kaget sekali mendengar anak yang selama ini dijaga kehormatannya justru terancam di rumah suaminya sendiri.

“Kalau gitu kalian tinggal di rumah ini aja sampai Agi dapat pekerjaan dan bisa ngasih kalian tempat tinggal lagi.”

Aku semakin tertunduk. Sepertinya harapan Ibu susah diwujudkan. Jangankan tempat tinggal, untuk makan sehari-hari saja kami numpang sama ipar dan mertua. Mas Agi terlalu gengsi untuk bekerja serabutan karena gelar sarjananya. Untuk saat ini setidaknya aku aman di rumah Ibu selama Mas Doni ada di rumah Mama.

Ibu dan Lina memelukku yang menangis tanpa suara. Aku jadi kangen Bapak, beliau sosok yang bijak dan mengayomi. Tentu masalahnya tak akan serumit ini kalau beliau (Allohu yarham) masih ada.

“Teteh shalat istikharah aja. Minta dipilihkan yang terbaik sama Allah.” Ibu mengusap punggungku.

Benar, hanya Dia yang kupunya untuk memberikan kami solusi dari permasalahan rumitku saat ini. 

Setelah menidurkan Yusril aku mengambil air wudlu dan shalat istikharah. Ya Allah, Engkau mengetahui yang terbaik untukku. Aku memasrahkan hidupku ke depannya pada pilihan Dia. Karena aku tahu Dia hanya memberikan yang terbaik pada hamba-Nya.

***

Pagi hari saat menyiapkan sarapan hp bututku yang hanya bisa buat nerima telpon bordering. Lalu suara Mas Agi dengan nada putus asa dan mengancam menyuruhku segera kembali ke rumah Mama.

“Aku tak mau tahu kamu harus nurut sama suami, kamu cepat kembali ke rumah Mama. Yuni sama Yani sama sekali tak bisa diandalkan untuk merawat Mama. Aku kasihan sama Mama.”

“Tapi Mas ….” ucapanku terpotong.

 “Tak ada tapi-tapian. Kalau sampai sore nanti kamu tak datang, awas aja.” Mas Agi membentak.

Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Baru juga seminggu hidupku tenang sekarang harus kembali ke tempat sumber masalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status