Share

Bab 6 Kembali ke Rumah Mertua

“Ya ampun Lala … kamu kemana aja sih? Rumah ini sepi tanpa kamu?” Teriakan kegirangan Yuni menyambut begitu kakiku menyentuh lantai teras. 

“Iya ih kamu liburannya lama-lama amat sih. Uangku nyaris habis karena tiap hari harus makan di luar.”

“Kamarku udah nggak nyaman seminggu nggak dipel.”

“Ih kok sama sih, bajuku sampe habis lho seminggu nggak nyuci.”

“Itu belum seberapa, kamar Mama udah kayak kapal Titanic pecah plus ketumpahan air got. Ah untunglah kamu sekarang udah datang, La. Langsung aja ya, kami mau istirahat dulu. Dadah, Lalaa!”

Meriah sekali sambutan ipar kembarku itu. Mereka kegirangan karena pembantu gratisnya sudah kembali ke rumah ini. Aku hanya menarik napas panjang, sudah kebayang seberapa kacaunya rumah ini tanpa kehadiranku.

Mas Agi hanya menatapku dengan pandangan yang susah ditebak. Dia mengambil Yusril agar aku leluasa bekerja. Apa dia baru menyadari arti istrinya di mata saudari kembarnya? hanya seorang pembantu. Apa dia keberatan atau tak berdaya atau apa, aku tak bisa menebaknya.

Mas Doni keluar kamar karena kegaduhan istri dan saudarinya. Sudut bibirnya terangkat sedikit dengan sorot mata menyipit. Dalam hati aku beristighfar banyak-banyak. Nampaknya serigala itu masih penasaran karena mangsanya berhasil kabur. Tanpa sadar aku bergidik.

‘Sabar, Lala. Kamu tak boleh gentar. Kamu sudah dibekali ilmu beladiri sama Wak Haji. Lagi pula kamu di rumah ini hanya sebentar saja.’ Aku bicara pada diri sendiri. Tekadku sudah bulat untuk bicara sama Mas Agi secepatnya.

“Ngapain sih ngelamun, cepetan kerja sana. Pasti bingung kan mau mulai dari mana dulu? Haha ….”

“Makanya lain kali kalau mau liburan jangan kelamaan dong.”

Tak kuhiraukan ocehan ipar kembar. Aku segera menemui Mama di kamarnya. 

Hampir saja aku muntah karena bau yang sangat menyengat, tapi kutahan saat melihat Mama tersenyum ke arahku sambil meneteskan air mata.

“Maafin Lala lama ninggalin Mama ya.” Air mataku mengalir melihat kondisi kamar dan badan Mama. 

Tanpa banyak bicara aku segera membereskan kamar, memandikan Mama, lalu menyuapinya bubur sumsum yang kubikin secara kilat. Kata dokter seharusnya Mama mendapat perawatan khusus untuk memperbesar peluang sembuhnya. Tapi anak-anak Mama selalu beralasan tak ada uang.

“Uang dari mana buat nyewa perawat? Lagian kan Mama memang sudah tua, ya wajar aja kalau sakit.” Yani berargumentasi saat aku menyampaikan perkataan dokter.

“Dirawat sama kamu juga udah cukup kali, La. Nggak ada bedanya kan dengan dirawat sama perawat. Gitu-gitu juga.” Yuni menimpali. Aku hanya menghela napas berat. Andai aku memiliki uang, tak kan kubiarkan Mama tanpa perawatan memadai seperti ini.

Setelah Mama terlihat kenyang aku kembali ke dapur. Bingung harus mulai dari mana, wastapel penuh dengan wadah kotor yang sudah mengering. Lantai lengket campuran debu dan tumpahan makanan. Baju kotor menggunung di semua penjuru dapur. Tempat sampah mengeluarkan belatung. Parah.

Pukul Sembilan malam semua pekerjaan akhirnya selesai, saatnya istirahat. Besok pagi aku harus ke pasar dan masak spesial karena suami Yani akan pulang. Sepenuh hati aku berharap semoga suami Yani orangnya baik. Nggak kebayang kalau dia punya perangai buruk makin terancamlah diriku.

***

Selesai masak aku leyeh-leyeh di tengah rumah sambil ngajak main Yusril. Mas Agi juga ikutan ngajak main anaknya. Nampaknya ini waktuku untuk berbicara. Lebih cepat lebih baik.

“Ehem, Mas, aku mau bicara.”

“Apa?”

“Ada tawaran jadi TKW, gajinya bagus.”

“Terus?”

“Kalau kamu ngasih izin aku mau berangkat. Kerjanya jadi perawat orang sakit.”

“Jauh-jauh ngerawat orang tapi mertua sendiri ditinggalin. Aku nggak ngizinin. Lagi pula Yusril siapa yang jaga nanti? aku nggak sanggup.” Mas Agi berkata ketus.

“Ibu sudah menyanggupi buat jaga Yusril, Mas. Aku bisa ikut nyumbang untuk nyewa perawat buat Mama. Gajiku nanti kamu tabung biar kita bisa punya tempat tinggal sendiri, Mas. Masa Mas tega sih kita selamanya tak punya kamar. Biar semuanya aku yang urus, aku hanya meminta izin dan restu darimu.” Aku mencoba membujuk suamiku. 

“Yah, kalau seperti itu bolehlah aku kasih izin. Tapi kamu harus penuhi janjimu ya untuk menyewakan perawat untuk Mama.” 

Di antara anak-anak Mama sepertinya Mas Agi yang paling perhatian pada kondisi Mama. Sayang sekali dia laki-laki  jadi tak bisa telaten seperti perempuan.

“Makasih ya, Mas. Kalau gitu aku akan bicara sama Mama terus mempersiapkan semuanya secepatnya. Menjadi TKW dua tahun untuk kebahagiaan yang lebih lama aku rasa sanggup.”

“Apa? Siapa yang mau jadi TKW?” entah kapan masuk rumahnya tiba-tiba Yani dan Yuni kompak berteriak.

Mas Agi menjelaskan semuanya termasuk janjiku untuk menyewa perawat untuk Mama.

“Aku tetep tak setuju, perawat hanya akan merawat Mama. Dia tak mungkin masak dan beres-beres rumah juga kan?”

“Kan bisa sama-sama dikerjakannya, Yun. Kalau dikerjakan tiap hari nggak akan berat, kok.” Aku berusaha menyabar-nyabarkan diri. Enak aja nganggap aku pembantu.

“Aku nggak mau, bisa kasar tanganku kalau mengerjakan pekerjaan kasar macam babu.”

“Aku juga nggak mau. Aku sibuk sama bisnis online. Apalagi kalau Mas Adil pulang besok, aku pasti sibuk nemenin dia jalan-jalan.” Yani sama saja. 

“Pokoknya kami nggak ngasih izin Lala buat jadi TKW, titik.”

 Memangnya siapa yang minta izin sama kalian, batinku gemas.  Lebih gemas lagi saat melihat mulut Mas Agi yang baru bicara beberapa kata langsung mingkem lagi karena disindir adik kembarnya sebagai benalu di rumah Mama.

“Kami cuma mau ngsih izin kalau Lala mau nyewakan perawat sama pembantu, titik lagi!” 

Enak aja, habis dong gajiku kalau begitu. 

Saat istikharah aku diberi kemantapan hati oleh Allah untuk mengambil keputusan ini. Jika Dia meridloi jalanku ini pasti Dia sendiri yang akan membukakan jalan keluarnya. Dengan pemikiran seperti ini hatiku menjadi lebih tenang. Aku akan bicara sama Mama pelan-pelan. 

Saat aku menyuapi sarapan untuk Mama, aku sempat berbicara mengenai rencanaku untuk menjadi TKW. Mama tersenyum dan beliau mendukung rencanaku. 

“Pergilah, Sayang. Doa Mama selalu menyertaimu. Kamu sungguh orang yang sangat baik, insya Allah akan dipertemukan dengan orang baik pula.” Kami berpelukan sambil bertangisan. 

Mataku berkaca-kaca. Tak mengira akan semudah itu Mama mengizinkan. 

“Lala janji akan mencarikan perawat yang baik dan telaten untuk merawat Mama. Lala punya teman sekolah yang sekarang sudah jadi perawat. Dia orangnya lembut dan baik hati.”

“Alhamdulillah. Dia pasti selembut dan sebaik temannya yang merawat Mama sekarang.” Kata Mama sambil mengerling padaku. 

Aku tersenyum menanggapi godaan Mama. Ah, sebenarnya berat hatiku untuk meninggalkan mertua baik hati seperti ini. Tapi aku tak punya pilihan kan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status