Se connecter
Matahari perlahan terbit dari ufuk timur, sinarnya menyusup masuk melalui jendela kamar seorang pemuda laki-laki bernama El. Suara alarm yang nyaring membuatnya terbangun. Dengan mata setengah terpejam, ia mematikan alarm itu, lalu menarik napas panjang beberapa kali.
Hari ini adalah hari penting, hari pertamanya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ada rasa bersemangat sekaligus gugup di dadanya. Namun, ini sudah jam 06.23 yang menandakan El sudah terlambat. El segera meraih handuk, pergi mandi, dan segera berpakaian.
Saat El memakai seragam putih abu-abu yang baru dibelinya, El melamun… El merasa sesuatu baru yang panjang akan ia hadapi. Tapi, Suara klakson dari luar pagar membuyarkan lamunan El.
“EL! Udah jam tujuh kurang lima belas!” teriak Ibu Ros dari bawah.
“Ya, Bu! Lima menit!” balas El tergesa sambil menepuk-nepuk rambutnya yang belum rapi. Dalam kepanikan, ia hampir saja salah mengenakan sepatu kiri dan kanan.
Begitu keluar dari kamar, ibunya menatap dengan alis terangkat. “Hari pertama masuk SMA, dan kamu udah begini?”
El cengengesan. “Namanya juga adaptasi, Bu.”
Ibu hanya menghela napas sambil menyodorkan roti. “Makan di mobil aja. Ayah udah nunggu sampai klakson-klakson tuh.”
Di perjalanan menuju SMA Nusantara Tangerang, ayahnya sempat berkomentar.
“El, kamu ini ya, jangan cuma semangat waktu main game aja. Sekolah juga harus punya semangat.”
El terkekeh. “Santai, Yah. Hari ini aku mulai lembaran baru kok.”
Namun ucapan itu belum sempat ditegaskan ketika tiba-tiba mobil di depan mereka berhenti mendadak. Ayah terpaksa menginjak rem keras, roti di tangan El jatuh ke celananya, meninggalkan noda selai stroberi.
“Ya Tuhan…..” seru El pasrah.
Ayah menahan tawa. “Nah, itu tandanya rezeki. Nggak usah marah, nanti malah malu di sekolah baru.”
El hanya menghela napas panjang. Hari pertama dan sudah berantakan, pikirnya.
Begitu di depan sekolah, El langsung buru-buru pamit dan turun dari mobil karena gerbang sekolah akan segera ditutup. Ia menyebrang jalan, menyelinap di antara sepeda motor dan angkot yang bersahutan klakson. Di depan gerbang, beberapa kakak OSIS sudah berjaga dengan wajah tegas.
“Cepat, lima menit lagi gerbang ditutup!”
El berlari sekencang mungkin.
Begitu sampai di gerbang, El langsung di sambut oleh beberapa kakak OSIS dan salah satu guru piket, seorang wanita berwajah ramah namun tegas itu langsung menatapnya.
“Baru hari pertama sudah hampir terlambat ya?” katanya dengan nada setengah menggoda
El hanya nyengir kikuk. “Maaf, Bu... macet.”
“Bisa sebutkan nama lengkapnya?”
“Zarael Narendra, Bu.”
Guru itu membuka laptop di meja kecil, mengetik beberapa saat, lalu tersenyum tipis. “Baik, ini ID Card-mu. Pakai selama tiga hari MPLS, jangan sampai hilang. Ruanganmu di lantai tiga, ruang tujuh. Naik saja lewat koridor kanan, nanti ada kakak OSIS yang bantu arahkan.”
“Siap, Bu. Terima kasih!”
El pun melangkah cepat, mencoba memperbaiki kerah bajunya sambil berjalan. Namun sialnya, karena tergesa, ia tidak memperhatikan arah. Tepat di tikungan tangga lantai dua, BRAK!
Semuanya terjadi dalam sekejap.
Buku-buku berserakan di lantai. Seorang gadis jatuh terduduk, rambut hitamnya terurai indah menutupi sebagian wajahnya. Mata El membesar, ia baru saja menabrak seseorang.
“Aduh!! Lo jalan ngga lihat-lihat ya?!” suara gadis itu sedikit tinggi, namun lembut di ujungnya.
“Sorry sorry… Gue nggak sengaja, Gue buru-buru”
El jongkok, memunguti buku-bukunya satu per satu. Saat ia menyerahkan buku terakhir, tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya.
Waktu seperti melambat.
Gadis itu… cantik luar biasa. Kulitnya putih bersih, matanya tajam tapi indah, kalau saja ia tersenyum pasti mematikan. Namun saat ini, wajahnya jelas kesal.
Saat tangan mereka bersentuhan sebentar, El merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Gadis itu menerima buku terakhirnya dengan ekspresi datar.
“Ya udah, lain kali hati-hati aja,” katanya singkat lalu berlalu menaiki tangga.
El hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang seolah terseret pergi bersama gadis itu. Entah rasa bersalah, atau… rasa lain yang baru pertama kali ia rasakan.
Tepukan di bahu menyadarkannya.
“Woi, kenapa bengong?” suara seorang kakak OSIS terdengar.
El menoleh. Seorang siswa berpostur tinggi, dengan senyum ramah, menatapnya.
“Hati-hati ya, bro. Tangga di sini licin, udah banyak yang hampir jatuh. Tadi gue lihat, lo nabrak cewek, kan? Untung nggak ada yang luka.”
El mengangguk cepat. “Iya, Kak. Gue nggak lihat jalan tadi.”
Bagas, nama kakak OSIS itu, tertawa kecil. “Santai aja. Tapi lain kali jangan buru-buru. Sekolah ini gede, banyak tikungan licin. Boleh cek ID-Card nya?”
“Boleh kak”
“Ohhh ruangan tujuh, ayo gue anter”
“Makasih kak” jawab El meskipun ia masih sedikit ngos-ngosan
Mereka menaiki tangga bersama. Tapi sepanjang jalan, pikiran El masih terbayang pada gadis yang tadi ia tabrak.
Ia berusaha menepis rasa penasaran itu, tapi tak bisa.
Siapa dia?
Kenapa wajahnya… sulit dilupain?
Saat mereka sampai di lantai tiga, El sempat menoleh ke arah koridor lain. Di ujung sana, gadis tadi terlihat sedang berbicara dengan guru piket sambil menenteng buku yang sama. Dan saat mata mereka tak sengaja bertemu, gadis itu langsung memalingkan pandangan.
El menelan ludah pelan.
Ada sesuatu di tatapan itu—sesuatu yang belum ia mengerti, tapi membuatnya ingin tahu lebih jauh.
Bagas menepuk bahunya lagi. “Ayo, ruang tujuh di sini.”
El berjalan masuk, namun sebelum ia sempat duduk, bel pertama berbunyi keras.
DRRIIINNNGGG!
Dari pengeras suara, suara kakak OSIS menggema di seluruh gedung:
“Seluruh siswa baru dari ruang 1 sampai 7, harap segera menuju lapangan untuk pembukaan MPLS. Ulangi, seluruh siswa baru harap menuju lapangan!”
El menghela napas panjang.
“Baru juga sampai… udah disuruh turun lagi,” gumamnya dengan nada setengah malas.
Ia bangkit, merapikan tasnya, dan berjalan keluar mengikuti arus siswa lainnya yang juga baru datang. Di tengah kerumunan, matanya kembali menangkap sosok yang sama, gadis dengan rambut panjang itu, berjalan tak jauh di depannya.
Hatinya berdebar tanpa alasan.
Mungkin cuma kebetulan… atau mungkin ini awal dari sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Rafa langsung memekik kecil sambil menutup telinganya. “Aduh, gue benci banget sama mati lampu!”Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegarTiara, yang duduk di kursinya, langsung refle menutup mata dan menunduk, tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat.El melihatnya sebentar, agak heran. “Lo takut petir ya?” tanyanya lembut.Tiara mengangguk pelan tanpa membuka mata.Faqih yang melihat suasana itu malah tertawa kecil. “Wah, kesempatan bagus nih buat ngetes nyali!”Rafa langsung melotot. “Faqih! Jangan aneh-aneh ya!”Faqih pura-pura menunduk, menahan tawa. “Yaelah, baru mati lampu doang, bukan dipanggil arwah gentayangan…”Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras — BLAAR!Tiara langsung memekik kecil dan semakin menutup telinganya, sementara Rafa spontan menutup wajahnya dengan buku.
Setelah bel istirahat berbunyi, satu per satu siswa keluar dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan untuk melihat siswa lain bermain basket. Tak lama, ruangan kelas menjadi jauh lebih sepi.Hanya tersisa El, Rafa, dan Tiara. Rafa dan Tiara duduk bersebelahan di barisan tengah, tampak serius membicarakan sesuatu, entah soal hobi atau sekadar hal kecil seperti warna seragam yang mereka pakai. Suara mereka pelan, namun tawa kecil sesekali pecah di antara percakapan itu.El duduk di kursinya dekat jendela, memainkan ujung pulpen sambil melirik sekilas ke arah mereka. Dalam hati, ia tersenyum tipis. Entah kenapa, suasana sederhana seperti ini terasa menyenangkan.Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.“Sendirian aja, bro?”El menoleh. Seorang siswa laki-laki berambut sedikit berantakan menatapnya sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat ramah dan santai.“Engga,” jawab El pelan. “Kan itu… ada anak cewe juga lagi ngobrol.”Anak itu tertawa kecil.“Gue Faqi
Keesokan harinya, El datang ke sekolah lebih awal. Udara pagi masih terasa dingin, embun menempel di daun-daun sekitar halaman sekolah. Ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara Tangerang, menatap bangunan itu dengan perasaan yang aneh, campuran antara semangat dan rasa penasaran.Masih terlintas senyum Tiara di bus kemarin sore.Entah kenapa, bayangan itu terus mengganggunya.“Ah, kenapa juga mikirin orang yang bahkan belum kenal,” gumam El pelan sambil tersenyum tipis.Ia berjalan ke ruang 7. Kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya, menyalakan ponsel dan memutar playlist favoritnya, lagu-lagu yang biasa ia dengar saat butuh ketenangan. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar. Satu per satu siswa baru masuk, membawa tas dan wajah-wajah canggung. El baru sadar kalau ruangan mulai ramai saat suara ketawa pelan terdengar dari pojok kelas.Tak lama, pintu terbuka. Dua orang berseragam OSIS masuk. Salah satunya El kenal, Bagas, ketua OSIS yang kemarin membantunya. Di s
Bel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.
Suasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku dulua
Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita







