"Siapa yang akan kau buang hah!?" Reyna tersentak kaget saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Kepalanya menoleh cepat dimana tepat di ambang pintu sudah ada Gian dengan stelan Jaz nya berdiri di sana. Wanita itu berdiri dengan wajah pias menatap Gian yang terlihat marah. "Siapa yang akan kau buang sayang?" tanya Gian tajam. Tubuhnya perlahan mendekat pada sang istri hingga punggung Reyna menabrak dinding di belakangnya. "E-em, tidak ada," jawab Reyna gugup. Ia bahkan tak berani walaupun hanya untuk sekedar menatap mata Gian. "Lalu, siapa yang akan kau buang tadi hm?" Wajah Gian semakin mendekat pada wajah Reyna hingga membuat Reyna semakin memundurkan kepalanya. "Hei, kenapa dirimu sepertinya takut padaku? Kau kenapa sayang? Bukankah setelah suamimu ini pulang bekerja, kau harus melayani nya?" Gian menciumi area bawah telinga Reyna hingga leher belakangnya. Reyna memejamkan matanya merasakan sensasi yang di berikan oleh Gian. Ia menggigit bibirnya menahan hasrat yang ti
"Nyonya!" "Kakak!" Seluruh pengunjung dalam restoran panik melihat istri dari Kenzo itu seperti keracunan. "Benar! Nyonya terkena racun!" seru salah satu pengunjung yang merupakan seorang dokter. Kebetulan dokter wanita itu berada dalam restoran bersama keluarganya. "Siapa yang berani!?" teriak Kenzo tajam. Seketika semuanya mati kutu. Tak ada yang berani menatap apalagi menyahut ucapan Kenzo. Semua orang di dalam restoran ini tahu, siapa pria yang berteriak barusan. "Kakak ..." lirih Reyna. Lain di mulut lain di hati. Dalam hatinya, wanita hamil itu tengah merasa senang bukan main karena rencana yang telah ia susun berjalan dengan baik. Dokter itu dengan sigap memberikan pertolongan pertama kepada Nora. Dengan di bantu oleh beberapa orang, Nora pun di bawa menuju mobil milik Kenzo yang berada dalam parkiran. Kenzo masih menatap tajam pada semua orang di sini. "Panggil manager restoran ini!" perintahnya kepada salah satu pelayan yang menyaksikan kejadian tadi. Pelayan itu lan
"Bagaimana ini!?" "Apa yang telah kau lakukan!?" Reyna menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar teriakan Gian yang memekikkan telinga. "Kak Gian, aku," "Lihat ini!" Gian memperlihatkan sebuah vidio yang telah banyak beredar di media sosial. Yang tak lain adalah vidio klarifikasi dari wanita pelayan yang di duga adalah pelaku yang meracuni Nora. "Ak-aku-" "Seharusnya kau tak melakukan ini! Ini bukan hanya merugikan dirimu! Tetapi perusahaan ku juga mengalami kerugian karena orang-orang telah mengetahui jika kita telah menikah!" Reyna hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Air mata mengalir dari kedua matanya. 'Sialan! Sialan! Sialan!' Makinya dalam hati dengan kedua tangan mengepal erat. "Jika kau ingin melakukan sesuatu, beritahu aku dahulu! Jangan berbuat semena-mena! Aku adalah suamimu sekarang!" Bentak Gian dengan menunjuk wajah Reyna. Reyna tersentak kaget mendengar suara Gian yang menggelegar. "Kak, maafkan Reyna," "Jangan padaku! Mi
'Kenzo sialan!' maki Nora dalam hati. Tangan kenzo bergerak merambat pada punggung Nora dan mengusapnya lembut. Memberikan suatu sensasi yang asing bagi Nora. Nora mulai membalas ciuman sang suami dengan lembut. Namun tak lama, ia mendorong dada Kenzo agar ciumannya segera terlepas. Kenzo dengan terpaksa melepaskan bibir Nora. Ia menatap sang istri dalam. "Kenapa?" tanyanya dengan suara serak. "Aku ingin melakukan sesuatu," Kenzo menaikkan alisnya. "Apa itu?" "Ayo ikut aku," Nora meraih telapak tangan sang suami dan menggandengnya menuju dalam kamar. Setelah menutup pintu balkon, ia mengambil sesuatu di dalam lemari kecil yang berada di pojokan kamar. "Tunggu sebentar," ucap Nora saat tak menemukan benda yang ia cari. Gadis itu mendudukkan Kenzo di atas sofa dalam kamar dan ia berjalan keluar menuju dapur. Sesampainya di sana, ia mengambil dua gelas kaca bening dengan gagang panjang. Lalu mengambil minuman dari dalam lemari khusus untuk minuman beralk
"Nora!" seru Kenzo. "Ahh, Ken," Nora justru mendesah. Hal itu membuat Kenzo sedikit frustasi. Untung saja, pria itu masih bisa menahan gejolak yang kini kian bergelora. Baru saja mengalungkan tangannya pada leher Kenzo, Nora tiba-tiba saja memejamkan matanya tak sadarkan diri. Kenzo menghela nafas lega. Tangannya bergerak mengusap butiran keringat di dahi sang istri dengan lembut. "Kau membuatku gila," ucapnya. "Seperti ini lebih baik," Pria itu kemudian memasangkan baju tidur Nora kembali. Lalu menutup tubuhnya dengan selimut. Matanya menatap Nora sekali lagi. Setelahnya ia ikut membaringkan tubuhnya dan memutuskan untuk tidur. "Gadis nakal," gumamnya. Di pagi harinya, Nora terbangun dari tidurnya karena mendengar suara berisik dari bawah. Saat membuka matanya, seketika rasa pusing menyerang kepala bagian belakangnya. "Shh," Nora mendesis sembari mengusap kepalanya. Ia menolehkan kepalanya melihat ke samping dimana Kenzo masih memejamkan mata. "Ken," panggilnya. "Hm," Nor
"T-tapi kak-" "Sekarang!" potong Nora. Reyna terkesiap. 'Nora bangsat!' maki Reyna dalam hati. "Em-baiklah," "Begitu harusnya. Siapkan ponselmu, tunggu aku sebentar," perintah Nora. Reyna menganggukkan kepala mengiyakan. Lalu wanita itu bangun dan duduk di atas sofa. Ia mengambil ponsel miliknya dalam saku celana dan mengutak-atiknya sebentar. Lalu wanita hamil tersebut meletakkan ponselnya dengan di sandarkan pada sebuah toples berisi permen yang memang disediakan untuk tamu. Nora melirik Adenna dan Radhika. Mereka berdua yang memahami arti lirikan sang menantu pun ikut meninggalkan ruang tamu bersama Nora. "Mommy dan Daddy sarapan saja terlebih dahulu. Aku akan mengurus tikus pengganggu itu," kata Nora dengan senyuman. Adenna balas tersenyum. "Baiklah," Setelahnya, sepasang suami istri itu berlalu menuju ruang makan. Sedangkan Nora berjalan menuju kamarnya kembali. Sesampainya di sana, matanya menangkap sosok suaminya yang masih berbaring di atas ranjang d
"Ahh, sakit ..." Reyna rasanya sudah tak memiliki tenaga. Apalagi ia merasakan ada sesuatu yang keluar dari bawahnya. Saat ia melihat, telah benyak sekali noda darah yang merembes dari celana yang ia kenakan. "Tunggu ya Nona, sebentar lagi kita sampai," kata si supir. Tak lama kemudian, mereka telah sampai di unit gawat darurat. Si supir segera turun dan memanggil petugas kesehatan. Mereka muncul seraya membawa brankar. Salah satu petugas laki-laki membuka pintu taksi dan mengangkat Reyna di bantu rekannya untuk di letakkan di atas brankar. "Cepat!" seru salah satu dari mereka. Pria paruh baya itu meremas rambutnya merasa frustasi. "Ada apa denganku hari ini? Kenapa sial sekali?" Ia mengecek kursi tempat Reyna duduk tadi, apakah penumpangnya ini membawa barang atau tidak. Ternyata ada sebuah tas di sana. Supir itu mengambilnya. Matanya mengedar mengamati kursi. "Syukurlah, tidak ada darah yang tertinggal," katanya. Ia membuka tas tersebut dan mengambil ponsel mil
Gian menunggu dengan sedikit cemas. "Dengan berat hati saya mengatakan," Dokter itu menjeda. "Pasien mengalami keguguran." Hati Gian terasa mencelos mendengarnya. Meskipun ia sebenarnya sedikit tidak menginginkan janin dalam rahim Reyna, bagaimanapun itu adalah darah dagingnya sendiri. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi memang saat istri anda sampai sudah mengalami pendarahan yang parah. Janin tidak bisa di selamatkan." jelas Dokter tersebut. Gian merasakan lututnya lemas seketika. Pandangannya masih menatap sang Dokter dengan tidak percaya. "Bagaimana dengan istri saya?" "Istri anda kehilangan banyak darah, saat ini tengah menjalani perawatan dan masih tak sadarkan diri," Pria itu menganggukkan kepalanya. "Baiklah, terima kasih," "Setelah ini, kami akan pindahkan istri anda ke dalam ruang rawat inap," Dokter itu berlalu masuk ke dalam ruangan dan tak lama kemudian, ia kembali terlihat dengan para perawat lainnya. Mereka mendorong brankar yang di