Asmaran berdiri, napasnya masih terasa sesak mengingat masa lalu yang menyakitkan. Ia mendongak ke langit senja yang mulai dihiasi semburat jingga dan ungu, seolah mencari kekuatan di sana."Saya sangat ingin sekali kembali bertemu dengan orang-orang yang saya kenal di Desa Tanara, Yang Mulia," ucap Asmaran, suaranya bergetar menahan emosi.“Melihat mereka, mengingat masa-masa indah itu. Tapi ketika saya mengingat kejadian memilukan di mana saya dibuang, diusir seperti binatang, dan dianggap sebagai iblis oleh mereka … itu sangat menyakitkan. Luka itu masih terlalu dalam,” kata Rajendra.Rajendra menatapnya dengan pengertian. Ia tahu, meskipun Asmaran telah menemukan kedamaian, trauma masa lalu tidak bisa begitu saja hilang.“Jadi, kamu menolak bertemu dengan Brajadipa?" tanya Rajendra, mencoba mengonfirmasi.Asmaran terdiam, pandangannya kosong menatap langit. Dalam benaknya, pertarungan batin antara kerinduan dan kepahitan berkecamuk.Rajendra melangkah maju, ia kini berada di sampi
"Permainan serulingmu tadi sungguh indah. Melodinya mengalir seperti sungai di pegunungan, penuh dengan emosi, namun juga menenangkan." Rajendra memuji dengan tulus, ia memang terkesima dengan bakat Asmaran yang satu ini.Asmaran tersipu malu mendengar pujian itu. Ia sudah lama tidak menerima sanjungan."Yang Mulia bisa saja," kata Rajendra sambil mendudukkan diri kembali. "ini hanyalah permainan seruling biasa saja, untuk menenangkan pikiran yang terkadang masih kacau."Rajendra hanya tersenyum tipis. Ia menatap ke arah rimbunnya hutan bambu di depan mereka sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang, seolah menunggu Asmaran meresapi pujiannya. Kemudian, ia menoleh kembali kepada Asmaran, tatapannya kini lebih dalam dan serius."Bagaimana dengan perasaan hatimu, Asmaran?" tanya Rajendra, sebuah pertanyaan yang tiba-tiba dan menusuk langsung ke inti. "apakah sudah ada perubahan yang berarti?"Asmaran terkejut mendengar pertanyaan itu. Ini bukan pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh
"Oh, begitu..." kata Brajadipa, meskipun ia tampak tenang, namun tidak bisa dipungkiri jika ia tersinggung dan merasa kompetensinya sebagai pemilik peternakan sapi dipertanyakan secara tidak langsung. Ia merasa seperti sedang diuji oleh pemuda ini.Brajadipa berdiri. Ia menatap Danu, lalu mengajak. "Danu, ayo ikut aku ke peternakan. Kita akan tunjukkan kepada Juragan Rajendra sapi-sapi terbaik kita!"Ada nada kompetitif dalam suaranya. Seperti ingin membuktikan jika dia memimpin peternakan dengan sangat baik.Brajadipa ingin memastikan sapi yang akan dibeli oleh Rajendra adalah sapi terbaik di peternakannya. Dengan begitu, dia tidak akan malu, dan nama baik peternakannya pun akan terjaga.Saat mereka tiba di kandang, Brajadipa langsung menunjuk sapi-sapi dengan kualitas paling tinggi, yang biasanya ia simpan untuk pembeli istimewa dengan harga selangit."Pilih yang itu saja, Danu. Yang itu juga. Dan itu..." kata Brajadipa sambil menunjuk ke arah sapi-sapi terbaiknya, yang memiliki bul
Rajendra mengangguk pelan, menatap Brajadipa yang masih bersimpuh di hadapannya. Ia merasakan gelombang emosi kuat yang terpancar dari saudagar itu. Ini bukan lagi sekadar transaksi bisnis, melainkan pertemuan takdir yang melibatkan hati."Saya tahu perasaan Anda, Juragan," kata Rajendra, suaranya lembut namun penuh ketegasan, "tapi, saat ini, Sundra sedang berusaha untuk pulih. Jiwanya baru saja menemukan ketenangan setelah sekian lama bersembunyi. Saya tidak bisa memutuskan sendiri pertemuan kalian. Itu harus menjadi keinginan Sundra sendiri."Brajadipa mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi harapan. "Lalu, apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia? Saya bersedia melakukan apa saja!”"Begini saja. Sepulang dari sini, saya akan sampaikan semua yang Anda katakan kepada Sundra. Saya akan menjelaskan kerinduan Anda, dan bagaimana Anda sangat ingin bertemu dengannya. Jika dia mau, nanti Danu akan datang kembali ke sini untuk menyampaikan kabar baik itu kepada Anda. Jika tidak, saya mohon A
Rajendra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh rahasia."Saya mengenal Sundra. Sekarang dia bernama Asmaran, putra dari Patih Wigraha,” ucap Rajendra.Brajadipa semakin syok mendengarnya. Ia menggelengkan kepalanya."Tidak mungkin! Kamu pasti bohong, 'kan?" katanya, suaranya naik beberapa oktaf. "Sundra... d-dia sudah lama... mati di hutan bambu! Kami semua melihatnya dibakar oleh para prajurit!"Rajendra tidak membantah. Ia menarik badannya dan bersandar di sandaran kursi, membiarkan kebohongan yang ia ciptakan menyebar di ruangan itu. "Saya tidak berbohong. Juragan. Selama ini, Sundra telah hidup kesepian. Kebahagiaannya direnggut oleh orang-orang yang tidak memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai manusia dan perbedaannya. Jiwanya mati saat saya bertemu dengannya, tapi hatinya masih terang. Dia hidup dalam bayang-bayang masa lalu, diburu dan dicap sebagai iblis hanya karena dia berbeda."Mendengar kata-kata itu, Brajadipa langsung merasa sedih. Ia menutup
Juragan Brajadipa menatap Danu dengan tatapan bingung dan meremehkan. Namun Rajendra mendengar semua ucapan itu dengan jelas. Ia tersenyum tipis, senyuman yang penuh arti dan tidak bisa dibaca oleh orang biasa.Rajendra mengisyaratkan Guntur dan Surapati untuk tetap diam. Kemudian, ia pun berjalan menghampiri Brajadipa dengan langkah santai namun penuh percaya diri."Juragan," sapa Rajendra, suaranya tenang dan ramah, "saya yakin ada salah paham di sini. Anda salah mengartikan ucapan Danu."Rajendra mengulurkan tangannya, isyarat perdamaian dan juga dominasi.Brajadipa mengerutkan kening, tidak mengerti. Namun, ia tidak menolak jabat tangan Rajendra yang terasa hangat dan kuat.Rajendra menatap lurus ke mata Brajadipa, senyumnya semakin lebar."Bukan belum punya, Juragan. Hanya ingin menambah saja," ucapnya dengan nada tenang. "aku merasa ingin menambah sapi meskipun sudah memiliki 20 ekor."Sontak saja, apa yang dikatakan oleh Rajendra bagaikan guntur di siang bolong bagi Brajadipa.