Waktu terus merangkak. Satu jam berlalu. Dua jam. Akhirnya, efek alkohol dan kelelahan mulai menjangkiti rombongan Raja Wicaksana. Suara tawa dan jeritan cabul mulai mereda, digantikan oleh dengkuran kasar dan keheningan yang perlahan merayap.Tubuh-tubuh tergeletak tak berdaya di tenda-tenda maupun di rerumputan terbuka. Hanya beberapa penjaga yang masih terjaga, namun mata mereka tampak berat, sesekali menguap lebar."Sekarang!" bisik Dipa, matanya menyala dalam kegelapan.Layung mengangguk sambil berkata, “Baik! Ayo kita bergerak!”Dipa dan Layung merayap perlahan, bagai bayangan yang tak terlihat. Setiap gerakan mereka diperhitungkan, setiap dahan kering dihindari. Jantung mereka berdebar kencang, namun tekad mereka lebih kuat.Mereka bergerak mengelilingi perkemahan, mengidentifikasi tenda-tenda prajurit dan, yang terpenting, tenda utama Raja Wicaksana."Tenda itu," Layung menunjuk dengan dagunya, matanya menunjuk pada tenda berwarna ungu gelap yang paling mewah, terletak agak te
Ranjani panik, bercampur rasa malu yang kentara. Pipi yang semula hanya merona samar kini memerah padam, seolah panas membara.Kirana terkikik geli, senyum usil tak lekang dari bibirnya. "Tentu saja! Aku melihatnya sebentar, saat kalian akan selesai. Tapi jangan khawatir, aku hanya melihat sekilas kok. Jujur saja, ekspresimu tadi... sungguh tak ternilai!"Kirana menekan bibirnya, menahan tawa yang siap meledak."Ih, kamu kenapa lihat? Aku 'kan jadi malu!" kata Ranjani, wajahnya semakin merah padam. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seolah itu bisa menyembunyikan rasa malunya dari Kirana."Kenapa harus malu, Ranjani? Kita sudah pernah melihat hal seperti itu sebelumnya, bahkan kita juga pernah bermain bersama, kan?" Kirana berusaha menggoda, mencoba mencairkan suasana."Sudahlah, jangan dibahas lagi!" Ranjani memekik, nadanya frustrasi bercampur malu. "aku ngantuk, mau tidur! Jangan ganggu aku lagi!"Setelah itu, Ranjani langsung merebahkan tubuhnya di ranjang, memunggungi Kir
Rajendra menatap Layung dan Dipa, sorot matanya penuh harapan dan kepercayaan. Lalu dia berkata, suaranya tulus, "Aku minta tolong, ya. Kalian adalah mata dan telingaku. Kehidupan Ayana, dan mungkin juga masa depan kerajaan kita, ada di tangan kalian."Kedua pria itu, yang tadinya menerima perintah dengan ikhlas seperti memang seharusnya, kini malah bertambah senang. Permintaan tolong yang diucapkan oleh sang pangeran, seorang pemimpin yang mereka hormati dan kagumi, membuat mereka merasa spesial dan dihargai. Sebuah kehormatan tak terkira bagi mereka, dan mereka ingin melakukan yang terbaik bagi sang pangeran."Jangan khawatir, Yang Mulia!" ucap Layung, dadanya membusung. "kami akan menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya! Bahkan jika harus mempertaruhkan nyawa, kami tidak akan gentar!"Dipa mengangguk mantap, tekad membara di matanya. "Benar, Yang Mulia! Kami akan membawa informasi akurat, dan menemukan celah sekecil apa pun. Demi Putri Ayana dan demi Yang Mulia!"Setelah itu, k
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ujar Surapati, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. "kami sudah mencari ke segala penjuru, namun kedua sapi yang hilang itu tidak dapat ditemukan. Sepertinya para pencuri itu sangat profesional."Rajendra menghela napas. "Tidak apa-apa, Paman. Lalu, apakah ada petunjuk tentang siapa pelakunya?"Surapati mengangguk, matanya menatap tajam ke arah Rajendra. "Ada, Yang Mulia. Menurut pengamatan Layung, dan berdasarkan serbuk yang kami temukan di sekitar area kejadian, kami menduga kuat para pencuri itu berasal dari Kerajaan Lingga."Rajendra mengerutkan keningnya, bingung. "Serbuk? Serbuk apa yang Paman maksud?""Serbuk yang dapat membuat seseorang tertidur pulas, Yang Mulia," jelas Surapati. "kami menemukan jejak serbuk itu di beberapa tempat. Ini adalah teknik khas yang hanya dimiliki oleh Kerajaan Lingga."Rajendra terkejut. Alisnya terangkat tinggi. Di zaman yang masih mengandalkan kekuatan fisik dan senjata tajam, penggunaan serbuk tidur adalah sesuatu y
Dipa terkejut. Matanya sedikit melebar, terlihat jelas gurat ketakutan.Dipa buru-buru menggeleng. "T-tidak ada, Tuan Putri Ranjani. Saya tidak memikirkan apapun. Hanya mengingat pertarungan Yang Mulia Rajendra tadi. Pertarungan itu, sungguh mengejutkan."Dipa mencoba mengalihkan pandangan, menghindari tatapan tajam Ranjani.Namun, Ranjani masih menatap Dipa, matanya menyipit penuh kecurigaan. Sebagai seorang wanita yang peka dan adik ipar Rajendra, ia tahu betul gelagat Dipa. Dia tahu jika Dipa sedang berbohong karena dia melihat dari matanya, ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang besar."Jangan bohong padaku, Dipa," ucap Ranjani, suaranya lembut namun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "kamu tidak bisa menyembunyikannya dariku. Aku mengenalmu sudah lama. Ada apa? Katakan saja."Apa yang dikatakan oleh Ranjani membuat Dipa semakin takut. Ia tahu ia tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini.Akhirnya, dengan napas berat, dia pun memberanikan diri menceritakan apa yan
Ayana berdiri membeku di ambang tenda mewah, tatapannya terpaku pada siluet yang memudar di kejauhan. Dipa. Pria itu. Jika Dipa ada di sana, itu berarti Rajendra juga.Jantungnya berdebar kencang, perasaannya campur aduk antara kerinduan, ketakutan, dan secercah harapan yang baru saja menyala.Dia ingin sekali mengejar, memanggil nama Rajendra, berlari mendekapnya, atau setidaknya memastikan bahwa itu benar-benar dirinya. Namun, kakinya terpaku di tempat, seolah ada rantai tak terlihat yang mengikatnya.Ayana sadar akan bahaya yang bisa terjadi jika dia memaksa diri pergi kepada Rajendra di hadapan rombongan Raja Wicaksana. Sebuah skandal, atau bahkan hukuman mati, bisa menimpa mereka berdua. Sebagai permaisuri Raja Wicaksana, gerak-geriknya diawasi."Semoga saja Dipa melihatku," bisik Ayana dalam hati, matanya berkaca-kaca menatap punggung Dipa yang perlahan menghilang ditelan kegelapan malam."Semoga dia memberitahu tentang keberadaanku ini agar Pangeran Rajendra mau membawaku kemba