Tabrakan itu sangatlah cepat hingga banyak yang masih terbengong-bengong ketika melihatnya.
Namun, begitu sadar apa yang sedang terjadi, orang-orang yang berada di sekitar area itu langsung menghampiri titik tempat terjadinya kecelakaan itu dan segera memberikan pertolongan pertama pada korban. Beberapa korban yang terlibat dalam kecelakaan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, salah satu dari korban itu adalah Ayleen Hazel. Sayangnya, pihak rumah sakit menyatakan Ayleen tidak bisa diselamatkan dan tewas akibat luka yang parah. Headline news pun dipenuhi oleh berita kecelakaan tragis yang merenggut nyawa penulis muda itu. Begitu banyak yang merasa kehilangan, termasuk seorang pria yang duduk dengan tangan memegang bunga putih sambil menatap jenazah Ayleen. “Maafkan aku, seharusnya … aku lebih cepat,” ucap pria itu. *** Sementara itu Ayleen Hazel yang di tahun 2025 dinyatakan meninggal dunia, tiba-tiba saja membuka matanya dan langsung merasa sinar matahari menyakiti matanya. Posisinya seolah tertidur di atas meja dengan salah satu tangan menyangga kepala. Dia pun menghalau cahaya terang itu dengan tangan kirinya dan mulai mencoba beradaptasi dengan area sekitarnya. Di mana aku? Apa di rumah sakit? pikir Ayleen. Namun, perlahan dia mulai mendengar suara-suara dari banyak orang yang membuatnya menegakkan dirinya dan duduk. Begitu mulai melihat-lihat sekelilingnya, alisnya mengerut bingung. “Ini … bukankah ini perpustakaan Stone Hill?” Ayleen yang teringat akan kecelakaan yang menyakitkan itu segera memeriksa tubuhnya. “Hah? Mengapa tidak ada luka apapun di tubuhku? Kecelakaan itu jelas-jelas ….” Tapi, rupanya tidak hanya itu yang membuatnya bingung. Saat dia menyentuh rambutnya, dia terkejut. “Rambutku. Kenapa rambutku jadi panjang?” ucap Ayleen mulai panik. Jelas-jelas rambutnya sudah dipotong menjadi potongan rambut sebahu. Dia menggelengkan kepala, “Pasti ini mimpi. Aku … pasti lagi bermimpi.” Tapi, ketika dia mencubit lengannya, rasa sakitnya terasa nyata. Wanita muda itu pun terhenyak. “Ini bukan mimpi, lalu … bagaimana bisa aku di sini? Dan kenapa rambutku jadi begini?” Ayleen menggigit bibir. Ayleen mencoba memperhatikan orang-orang yang berada di dalam perpustakaan itu. Dahinya langsung mengernyit heran. Tetapi, tiba-tiba saja dia membelalakkan mata ketika dia melihat salah satu dari mahasiswa memakai jas almamater berwarna hijau tua dengan model sangat mirip dengan jas. “Jas itu … bukannya ….” Jas almamater dengan warna itu adalah model terakhir di saat aku masuk universitas, Ayleen membatin.Angkatan selanjutnya, warna almamaternya sudah berganti lebih tua serta modelnya berubah dengan detail kancing yang lebih banyak, bukan hanya dua seperti miliknya.
Ayleen menggigit bibir dan baru sadar jika ada sejumlah buku yang ada di atas meja tempat dia mengistirahatkan kepalanya. Dia mengambil salah satu buku berjudul “A View from the Bridge”, sebuah drama milik Arthur Miller, seorang penulis Amerika yang sangat populer. Buku itu jelas sekali menjadi buku yang berkali-kali dia pinjam karena buku itu salah satu sumber skripsinya saat menjadi mahasiswa sastra Inggris. Matanya sontak melotot ketika dia membalik halaman terakhir buku itu. Di bagian belakang terdapat kertas yang berisi nama peminjam dan namanya belum ada di sana. Kepalanya langsung pening. Karena Ayleen masih sangat bingung, dia segera mengambil buku-buku lain di atas meja itu dan mulai meneliti. “Ini tidak mungkin. Buku-buku ini semua harusnya aku pinjam dulu.” Selain buku-buku itu, dia melihat sebuah kartu berwarna merah. Cepat-cepat dia mengambilnya dan dia pun membatu membaca kartu ini. “Kartu perpustakaan. Ini … harusnya hilang setelah aku lulus kuliah, tapi kenapa-” “Astaga, kamu di sini ternyata!” Seseorang berjalan mendekat ke arah dirinya dengan wajah agak basah karena keringat. Gadis itu tersenyum dan dengan santai menyambar botol air minum yang baru saja disadari Ayleen adalah botol minumnya saat dia masih berkuliah di University of Stone Hill. “Oh, hausnya! Lega rasanya, di kantin penuh. Malas rasanya harus berdesakan,” kata gadis itu yang dengan santai duduk di sebelah Ayleen. Ayleen hanya terbengong-bengong menatap gadis muda berkacamata itu. Sadar sedang ditatap, gadis itu menoleh, “Heh, kenapa melihatku seperti itu?” Ayleen menggelengkan kepala dan tiba-tiba langsung memeluknya dengan air mata yang telah menetes, “Elizabeth. Eliza. Ini kamu.” Ayleen melepaskan pelukannya dan melihat kembali gadis itu, seakan ingin memastikan dia benar-benar sahabat baiknya, “Astaga! Ini benar-benar kamu.” “Ya Tuhan, aku rindu. Eliza, aku-” Elizabeth memberontak dan membebaskan diri dari Ayleen, “Kamu kenapa sih, Leen? Kenapa menangis? Apa maksudnya kamu bilang rindu?” Ayleen mengangguk, “Iya, aku rindu kamu. Kita sudah lama tidak bertemu.” Elizabeth menaikkan alis kanan, “Hah?” Tetapi, gadis itu cepat-cepat mengambil tissue dan membantu Ayleen membersihkan air matanya. “Leen, kamu sedang demam? Atau kenapa?” Elizabeth bertanya dengan nada cemas. Ayleen menatap Elizabeth dengan tatapan bingung. Elizabeth Freus adalah salah satu sahabat baiknya di universitas. Mereka tetap lanjut bersahabat meskipun telah lulus. Akan tetapi, satu tahun sebelum dia menikah dengan Liam, hubungan mereka memburuk. Ayleen sendiri sangat bingung saat Elizabeth tiba-tiba mulai menjauhi dirinya dan bahkan mereka juga hilang kontak. Meskipun masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ayleen tetap bertanya, “Kenapa memangnya?” “Kamu aneh. Kamu bilang kita sudah tidak lama bertemu, padahal kita tadi pagi baru ikut kelas Prof. Maxwell bersama,” jelas Elizabeth dengan nada bingung. Mendengar hal itu, Ayleen terdiam tapi itu hanya sesaat. Dia langsung bertanya dengan hati-hati, “Maksudmu mata kuliah ‘Poetry’?” Elizabeth menjentikkan jarinya, “Tentu saja. Ah, aku pikir kamu benar-benar sedang demam.” Ayleen kembali membisu, mulai memikirkan lebih jauh. Dia tidak mau bertanya pada Elizabeth karena dia tidak ingin sahabat baiknya itu menganggap dirinya aneh. Ayleen pun memutuskan untuk mencari jawaban sendiri dan berkata, “Eliza, aku ke depan sebentar.” “Ke mana?” “Loker,” jawab Ayleen yang sudah berdiri. Ketika dia melangkah ke luar, dia melihat dua orang staf perpustakaan yang sangat akrab dengannya. Tidak lupa dia tersenyum pada dua orang itu sebelum lanjut berjalan. Namun, baru saja dia berjalan beberapa langkah dia berhenti lagi dan menoleh ke arah salah satu staf itu. Hugo. Dia masih ada di sini. Itu artinya …. Ayleen menelan ludah dan lanjut berjalan menuju loker depan. Sesaat dia terdiam di depan loker itu. Loker itu tidak dikunci, tapi yang dia ingat dia tidak pernah memakai loker lain. Maka, tanpa ragu dia membuka loker nomor 26. Ada sebuah tas ransel di dalamnya. Dia tidak sempat berpikir lagi dan segera membuka isinya. Dia melihat buku-buku miliknya dan menemukan sebuah kartu putih yang merupakan sebuah kartu bimbingan skripsi. Dia membacanya dengan cermat dan bergumam, “Jadi … ini benar tahun 2015. Di tahun ini aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir dan sedang mengajukan skripsi.” Dia menelan ludah dengan gugup dan bergumam dengan penuh kebingungan, "Ini ... sungguhan? Aku kembali ke masa lalu?"Pertanyaan Ayleen Hazel yang terdengar mirip seperti sebuah desakan itu langsung membuat Sea Finley tertegun. Pria itu tampak terkejut dengan pertanyaan itu seakan-akan dirinya pun juga merasa hal yang sedang dilakukannya itu cukup aneh. Dia pun hanya bisa terdiam, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan sikapnya itu.Ayleen melihat ekspresi wajah Sea pun langsung mengerjapkan mata. Gadis itu menepuk jidatnya dan segera berkata, “Oh, maaf. Aku tidak bermaksud bertanya seperti itu. Aku ….”“Maaf, seharusnya aku berpikir terlebih dulu sebelum bertanya,” lanjut Ayleen yang sungguh-sungguh merasa tidak nyaman setelah bertanya dengan seperti terlihat menekan itu. Sea yang mendengar ucapan permintaan yang dikatakan dengan tulus itupun tersenyum. “Hm, bukan masalah besar. Sebenarnya aku pun juga tidak tahu mengapa aku menjadi berani. Yah … anggap saja, Aku tidak ingin kehilangan kesempatan lagi,” jawab Sea.Lagi?Apa maksudnya dengan hal itu?Apakah dia pernah mencoba untuk mendekatiku ta
Percuma saja. Benar-benar sungguh percuma. Berapa kali pun dia berusaha keras mencoba untuk memikirkannya, dia tetap tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya tersebut. Gadis itu pun duduk lemas tanpa tenaga seakan-akan tenaganya telah terkuras habis. Di saat dia dia sedang melamun sembari tetap tidak mengubah arah pandangnya dari jalanan, Sea ternyata telah menyusulnya untuk duduk di depannya. “Sepertinya hujan akan turun lama. Apa kamu tidak keberatan jika kita berada di sini sedikit agak lama sampai menunggu hujan cukup reda?” Sea bertanya dengan tatapan cemas pada Ayleen. Ayleen menjawab, “Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin kepada orang tuaku, tidak masalah.”Sea mendesah lega, “Jangan khawatir. Nanti aku akan mengambil motorku lagi di minimarket untuk mengantarmu pulang.”Ayleen tercekat.Oh, pengalaman naik motor milik Sea masih begitu hangat dalam ingatan Ayleen.Pengalaman itu cukup menegangkan Tapi anehnya dia sangat menikmatinya. Hal itu terjadi mungkin karena
“Ya?” Sea menjawabnya sambil mengerutkan kening. Pria muda yang tampan itu menatap lurus-lurus ke arah Ayleen.Ayleen menatap wajah menawan itu dan hanya terdiam tanpa menjawab perkataan Sea.Hanya dalam beberapa detik saja dia telah melihat dua wajah berbeda dari seorang Sea Finley, aktor terkenal yang memiliki kekayaan luar biasa itu.Wajah yang sebelumnya dia lihat adalah wajah seorang pria dewasa dengan pesona yang luar biasa. Sedangkan wajah Sea yang saat ini dilihatnya dari jarak yang begitu dekat itu adalah wajah pria awal 20 tahunan yang masih murni tanpa sentuhan perawatan.Jelas gaya rambut Sea di dua masa itu begitu jauh berbeda. Sea yang dewasa memiliki rambut potongan agak pendek dan tidak berponi. Hal itu membuatnya mempertegas fitur wajahnya dan memberikan kesan dewasa yang begitu memikat. Sementara gaya rambut Sea di usia dua puluh tahunan ini adalah rambut yang sedikit agak panjang dengan bagian depan yang memanjang seperti poni menutupi sebagian dahinya. Selain p
“Tapi, mengapa?” ucap Ayleen yang semakin pening karena terlalu banyak teka-teki yang belum bisa dipecahkan olehnya. Ayleen pun berjalan mendekat dan berdiri di antara Melody dan Liam yang sedang berbicara.Natasha terlihat menyingkir dan membawa Lunara pergi. Ayleen sesungguhnya masih begitu merindukan Lunara. Tapi, dia memilih untuk tetap berada di sana demi mendengarkan percakapan antara Melody dan Liam.“Mengapa kau tidak menjemputnya? Kalau saja kau menjemput dia waktu itu, dia tidak mungkin akan kecelakaan,” kata Melody.Liam masih terdiam dan Melody yang terlihat diliputi oleh amarah itu melanjutkan, “Mobil itu … Ayleen yang membelinya. Itu semua hasil dari kerja keras Ayleen. Tapi … aku bahkan tidak pernah melihatnya menggunakan mobil itu dan aku bahkan tidak pernah sekalipun melihatmu mengantar ataupun menjemput Ayleen.”“Kau … bagaimana bisa kau membiarkan istrimu yang bekerja keras demi keluargamu harus menggunakan taksi setiap saat?” Melody menambahkan.Liam yang semula
Sea yang terlihat khawatir hanya bisa dengan lembut menghapus air mata yang jatuh menetes di pipi gadis itu. Dia ingin sekali membangunkan Ayleen, tapi dia juga khawatir bila gadis itu malah terganggu. Maka, selama Ayleen tidak menunjukkan jika gadis itu terganggu di dalam mimpinya, Sea hanya akan diam saja. Sementara itu, Ayleen Hazel rupanya kembali ke mimpi yang sebelumnya. Gadis itu terbangun kembali di rumah miliknya yang dipenuhi oleh orang. Dia melihat ke sekelilingnya dan ternyata mimpinya itu terlihat seperti sebuah lanjutan dari mimpi yang sebelumnya. Dia yang jatuh terduduk itu segera bangkit dan berdiri, lalu memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Dia mengenali beberapa wajah. Dia hampir tidak menemukan keluarga Liam di sana. Seperti sebelumnya, begitu Elizabeth menampar wajah Natasha tepat di bagian pipi kanannya dan membuat pipi wanita itu memerah dengan cap telapak tangan, Liam terlihat melindungi Natasha.Pria itu berteriak marah pada Elizabeth, “Liz, apa
Melihat senyuman merekah di wajah sahabatnya itu, Sea sungguh ingin menghajar wajah tampan miliknya. Sebetulnya ada banyak sekali alasan mengapa orang-orang sampai berpikir bahwa dirinya tidak menyukai seorang wanita dan cenderung lebih dekat dengan sahabat baiknya itu. Gerrard juga luar biasa tampan atau bisa dibilang tidak kalah tampan juga darinya. Banyak sekali gadis yang begitu ingin menjadi kekasihnya.Menurut Sea, bahkan lebih banyak gadis yang mengantri menjadi kekasih Gerrard dibandingkan dengan dirinya. Gerrard juga merupakan seorang bintang lapangan basket. Sama seperti dirinya. Meskipun dia bukanlah seorang kapten, Gerrard tetaplah menjadi salah satu pemain basket favorit para gadis di universitas. Akan tetapi, Gerrard selalu menjauh dari para gadis sebab Sea tahu bahwa hati temannya itu telah menjadi milik seseorang. Bisa dikatakan Gerrad telah menyukai seseorang yang bukan berasal dari kampus itu. Tidak mengherankan jika gosip benar-benar beredar cepat setiap kali