Tetapi, begitu Ayleen selesai berbicara, dia langsung menyadari kecerobohannya.
Dengan sedikit agak panik dia membuka mulut, hendak berbicara lagi, namun rupanya dia kalah cepat dari Sea yang sudah berkata, “Kamu sudah lihat ke arah kursi itu begitu kamu masuk ke dalam bus.”
“Jadi, aku pikir kamu memang ingin duduk di situ,” Sea menambahkan dengan nada santai.
Ayleen mengerjap, seketika mengalihkan arah pandangnya ke arah lain. Dia pun tertawa canggung, “Oh, iya. Iya, kamu … benar.”
“Ma-maaf,” lanjutnya dengan nada suara yang pelan.
Sea tidak menanggapi dan kembali memakai earphone tanpa memperhatikan Ayleen lagi.
Ayleen ingin menepuk jidatnya karena rasa malu yang membuatnya tidak berani berkutik.
Ah, Ayleen. Kenapa kamu terlalu percaya diri? Sudahlah, semua ini hanya kebetulan. KEBETULAN, Ayleen berkata dalam hati.
Setelah mencoba keras untuk mengontrol diri, Ayleen pun berhasil membuang pikiran-pikiran mengenai Sea.
Tidak ada yang istimewa, semua yang terjadi yang melibatkan Sea hanyalah kebetulan semata, tidak ada yang perlu dipertanyakan.
Ayleen berulang kali meyakinkan diri sendiri agar bisa mengendalikan diri dan memperkecil kesalahan-kesalahan yang mungkin dia lakukan.
Beberapa menit berlalu, dia melihat Sea turun dari bus dan hal itu membuatnya menghela napas lega.
Dia jelas hanya terlalu banyak berpikir. Dia pun mulai semakin yakin jika Sea dan dirinya tidak memiliki hubungan di masa lalu sebelumnya.
“Oh, sebaiknya aku mulai mencoba mencatat apa saja yang terjadi di tahun ini,” gumamnya.
Dia mengeluarkan sebuah buku catatan dan juga pena, lalu mulai mencatat segala hal yang dia ingat.
“Pemberhentian terakhir, Miss. Apa kamu tidak ingin turun?” sang sopir bertanya sembari menatap sang penumpang melalui kaca spion.
Ayleen yang sedang asik menulis mengangkat kepala, langsung terkejut begitu melihat sudah tidak ada siapapun di dalam bus itu. Hanya dirinya yang masih duduk tanpa sadar jika bus telah tiba di halte terakhir.
Dengan sedikit terburu-buru dia segera memasukkan buku catatannya ke dalam tas lalu bangkit dari kursi penumpang.
“Maaf, Sir,” ucapnya tulus sebelum turun dari bus.
Sang sopir tidak menjawab dan langsung menancap gas lagi begitu Ayleen sudah berjalan agak jauh.
“Huh, kenapa dia kaku sekali?” gumam Ayleen seraya menggelengkan kepala.
Dia tiba-tiba teringat akan sikap Sea lagi, tapi dia segera membuang pikiran itu jauh-jauh.
Ayleen memperhatikan sekeliling tempat yang baru saja dia datangi dan mendapati sebuah cafe yang berukuran tidak terlalu besar yang hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari halte tempat dia turun dari bus tadi.
Dengan langkah ringan dia berjalan menuju ke arah cafe itu.
“Grande Cafe,” Ayleen membaca sebuah papan nama di bagian atas pintu masuk.
Ayleen mengambil napas dalam-dalam dan dengan cepat memegang gagang pintu lalu mendorongnya.
Begitu masuk ke dalam cafe itu, dia langsung disambut oleh seorang pelayan laki-laki yang dia ingat bernama Nick yang usianya sama dengannya.
Pria muda yang mengenakan seragam serba hitam dengan celemek yang juga berwarna hitam itu berdiri di belakang meja kasir.
“Selamat datang di Grande Cafe,” sapa Nick dengan senyuman lebar.
Ayleen balas tersenyum dengan agak gugup.
“Silakan, mau pesan apa?” Nick bertanya dengan ramah.
“Americano, regular,” jawab Ayleen yang dijawab dengan sebuah anggukan oleh Nick.
“Ada tambahan lagi?” Nick kembali bertanya dengan wajah cerah, terlihat begitu bersemangat melayani pelanggannya.
Ayleen mengernyitkan dahi dan kemudian melihat ke arah layar bagian atas lalu berkata, “Cheesecake.”
Nick mengangguk senang, “Baik, mohon ditunggu!”
Ayleen balas mengangguk segera berjalan ke bagian kanan, memilih meja yang dekat dengan jendela.
Gadis itu mengedarkan pandangan ke arah sekitarnya dan mulai mengingat banyak hal.
Di masa lalu, dia pertama kali datang ke cafe itu di tahun 2016. Dan itu juga terjadi secara tidak sengaja.
Saat itu dia ketiduran di bus dan terbangun di halte pemberhentian terakhir. Dikarenakan harus menunggu bus yang melewati jalur pulang, dia mulai berjalan-jalan di sekitar tempat itu dan menemukan cafe yang kala itu tidak memiliki terlalu banyak pengunjung.
Mengingat kejadian itu, tiba-tiba saja dia tertegun sejenak. Sebuah kilasan ingatan kembali muncul di benaknya.
Maret 2016, Gande Cafe“Maaf, apa saya boleh duduk di sini?”
Ayleen yang sedang melamun sambil menatap jalan menoleh ke arah orang yang sedang bertanya itu.
“Silakan!” jawab Ayleen tanpa ragu.
Gadis itu pun tersenyum manis dan berkata, “Terima kasih.”
Saat Ayleen benar-benar menatapnya, dia pun terpana melihat gadis yang baru saja duduk di depannya.
Cantik sekali! Apa dia mahasiswa di kampusku juga? Ayleen bertanya-tanya.
Tapi, begitu dia melihat tas ransel hitam milik gadis itu yang diletakkan di kursi kosong, Ayleen langsung tahu bahwa dia berasal dari universitas sebelah.
“Maaf harus mengganggumu di sini, aku … tidak nyaman jika harus berbagi meja dengan pria,” kata gadis itu dengan malu-malu.
Ayleen langsung menatap sekeliling dan cukup terkejut melihat suasana cafe itu sudah berubah dengan cepat.
Satu jam yang lalu, ketika dia memasuki cafe itu dia tidak melihat adanya pengunjung lain. Namun, sekarang cafe itu hampir penuh dengan pengunjung yang sebagian besar adalah laki-laki.
“Oh, tidak masalah,” kata Ayleen pada akhirnya.
Gadis itu kembali tersenyum lega, “Terima kasih. Aku … Natasha.”
“Ayleen.”
Mata Natasha berbinar cerah, “Wah! Nama kamu indah.”
Ayleen tersipu malu.
“Kamu dari kampus mana? Jurusan apa?” Natasha bertanya dengan penuh antusias.
Obrolan itu pun berlanjut sampai dia bertukar nomor dengan Natasha hingga pada akhirnya keduanya menjadi sahabat dekat, sangat dekat sampai Ayleen menganggap Natasha seperti saudara perempuannya.
September 2015, Gande Cafe“Silakan menikmati, Miss!”
Ayleen membuka mata begitu mendengar suara nyaring Nick. Pria muda itu tersenyum kepadanya usai meletakkan segelas Americano dingin dan sepotong cheesecake yang terlihat lezat.
“Terima kasih,” Ayleen berujar pelan.
Nick mengangguk dan segera berjalan kembali ke bagian kasir.
Ayleen mulai mengaduk es Americano yang telah dia pesan dan mulai mencicipinya. Tetapi, di saat dia sedang menikmati pahitnya kopi itu, dia mendengar suara pintu cafe terbuka.
“Selamat datang di Grande Cafe!” Nick menyapa seperti biasa.
Saat itu dia tidak tertarik untuk memperhatikan pengunjung baru itu dan lebih memilih menikmati kopinya.
Sebelum Nick sempat bertanya, seorang pengunjung baru itu sudah berujar, “Americano dingin, regular.”
“Uhuk. Uhuk. Uhuk!” Ayleen tersedak begitu mendengar suara yang dia kenal itu.
Dengan cepat dia menoleh ke arah pengunjung baru itu. Matanya pun terbelalak sempurna.
“Natasha,” Ayleen memanggil dengan nada lirih.
Gadis yang sedang berdiri di depan Nick itu seketika menoleh ke arah Ayleen yang menatapnya dengan tatapan bingung.
Ayleen terpaku dan bahkan tidak mengedipkan mata.
Kenapa dia bisa ada di sini sekarang? Bukankah aku pertama kali bertemu dengannya di sini di bulan Maret 2016? Ini baru bulan September 2015. Kenapa bisa berubah?
Ayleen Hazel yang sadar bila dia mungkin saja telah membuat Sea Finley tersinggung akan kata-katanya pun langsung mengulas sebuah senyuman penuh rasa bersalah. “Maaf, aku tidak bermaksud begitu,” kata Ayleen dengan sedikit agak tergagap. Sea menaikkan alis kanannya, seolah-olah meminta jawaban yang lebih panjang, “Lantas?”Ayleen menggigit bibir bawahnya dan berusaha untuk menjelaskan, “Hm, ini sebuah mall. Semua orang berhak berada di sini, termasuk kamu. Maaf, tadi kata-kataku ….”Sea mendesah pelan saat mendengarnya dan buru-buru menanggapi, “Sudahlah, lupakan saja.”Ayleen meringis, menjadi semakin tidak enak karena ternyata Sea dengan mudah memaafkannya seolah-olah apa yang dia lakukan tadi bukanlah masalah yang besar.“Dan … kenapa kamu sepertinya tidak nyaman dengan mereka? Bukankah mereka itu teman-temanmu?” Sea bertanya dengan tatapan datar. Ayleen mendesah pelan dan menjawab dengan jujur, “Bukan, bukan teman-temanku yang membuatku tidak nyaman. Tapi ….”Gadis itu tidak me
Elizabeth yang mendengar perkataan Liam pun menoleh ke arah pria itu dengan tatapan bingung serta kening yang mengkerut, “Lagi? Apa maksudnya itu?”Gadis itu terlihat tidak ingin melepaskan hal itu begitu saja dan menginginkan jawaban dari Liam ataupun Ayleen.Entah bagaimana dia seperti merasa dua orang itu memiliki keterikatan yang aneh. Dia juga agak bingung dengan perasaannya itu.Liam menjawab tanpa mengalihkan tatapan matanya pada Ayleen, “Kami pernah bertemu sebelumnya.”Jawaban Liam seketika membuat Elizabeth membelalakkan mata.Dia pun tidak bertele-tele dan langsung bertanya, “Apa? Kapan? Di mana kalian pernah bertemu?”“Astaga! Ini benar-benar tidak terduga!” Felicity ikut berkomentar, tampak begitu takjub dengan kebetulan yang tidak disangka-sangkanya itu. “Di mall ini. Tapi ….” Liam terlihat ragu-ragu melanjutkan ucapannya dan malah menggaruk bagian kepala belakangnya dengan gugup. Sungguh dia berharap Ayleen juga ikut membantunya untuk menjelaskan hal itu tapi tampakny
Elizabeth memutar mata memalas. Gadis itu melirik ke arah sahabat baiknya yang lain, seakan-akan tengah meminta pertolongan. Tetapi, Jasper malah berpura-pura seolah-olah dia tidak melihat tatapan itu dan menatap ke arah lain. Felicity yang sudah tidak tahan melihat ketiga sahabatnya mengabaikannya pun melotot kesal, “Hei, sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Jasper hanya mengangkat bahunya lalu berpura-pura membaca buku, mengabaikan Felicity. Sedangkan Ayleen yang masih terlihat kesal kembali bertanya, “Eliza, ayolah! Katakan padaku kenapa kamu berpikir aku harus dijauhkan dari Sea?”“Memang apa yang salah dengan dia? Dia … bukan seseorang yang berbahaya,” lanjut Ayleen.Oh, dia berkata seperti itu bukan karena dia sudah begitu mengenal Sea Finley.Dia hanya mengetahui beberapa hal saja tentang pria itu. Namun, dia sangat yakin bila pria tampan yang di masa depan menjadi seorang aktor ternama dengan bayaran yang begitu tinggi itu tidak memiliki catatan kriminal satupun. Sea Fin
Ayleen mengerutkan dahi dan sebanyak apapun dia berpikir, dia tetap tidak menemukan sebuah hal dari perbuatannya yang mungkin menyinggung Sea.Gadis muda itu pun menggaruk rambutnya yang tidak gatal karena bingung. Sea yang melihat sikap gadis itu pun mendesah lelah, “Sudahlah, jangan meminta maaf kalau kamu tidak tahu alasannya.”“Ta-tapi, aku-”“Sudah malam, sebaiknya kamu cepat pulang.”Ayleen mengedipkan matanya karena terkejut dengan reaksi Sea yang tergolong cepat untuk memotong perkataannya yang belum sempat dia selesaikan. Huh, dia ini benar-benar sangat aneh! Kenapa dia tidak katakan saja apa yang salah? pikir Ayleen yang mulai kesal pada sikap semena-mena Sea.“Hei, kenapa masih diam saja? Bukankah kamu bilang kamu memiliki tugas yang harus kamu selesaikan?” Sea bertanya dengan nada serius. Ayleen menelan ludah dan dengan masih diliputi rasa kesal gadis itu pun berujar, “Hm, kamu benar.”“Aku pulang dulu dan … sekali lagi terima kasih untuk malam ini,” kata Ayleen yang se
Sea Finley yang ditanya seperti itu ternyata tidak tersinggung sedikitpun. Pria muda tampan itu pun tersenyum misterius lalu hanya membalas, “Kamu mau membeli peralatan itu atau tidak?” Dia tidak memberi waktu Ayleen untuk berpikir jauh karena dia tahu waktu mereka sudah tidak banyak lagi di dalam mall yang akan segera tutup. “Hah? Aku … aku ….” Ayleen seketika tergagap ketika pria itu malah terkesan begitu sangat santai dan terlalu cuek dengan apa yang dia tanyakan. Sea berjalan dengan santai lalu kembali menoleh ke arah gadis yang masih terdiam itu, “Toko itu akan tutup pukul sembilan malam. Kamu tinggal memiliki waktu sekitar satu jam.” Mendengar hal itu Ayleen langsung terbelalak kaget. Dia pun teringat akan janjinya pada sang ibu bahwa dia akan kembali ke rumah sebelum pukul delapan malam. Maka, dia pun tak lagi berpikir panjang dan langsung bergerak menuju ke arah toko buku itu bersama dengan Sea. Sea menemaninya tanpa berbicara apapun dan bahkan mereka bergerak secara t
Sea Finley melihat air mata yang menetes-netes dari wajah gadis itu. Matanya terbelalak kaget.“Hei, kamu-”“Aku baik-baik saja,” kata Ayleen dengan cepat memotong perkataan pria itu.Jujur saja dia ingin segera pergi dari kawasan mall itu. Dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan siapapun di saat dirinya sedang kacau seperti saat ini, terutama Sea Finley. Bertemu dengan pria seperti Sea hanya akan membuat dirinya kesulitan, sebab dia tahu pria itu menurutnya salah seorang yang bisa membaca situasi yang terjadi di sekitarnya. Dia tidak ingin Sea berasumsi tentang apa yang sedang dialaminya sehingga hal yang terbaik yang bisa dilakukannya adalah segera menjauh dari pria itu.Akan tetapi, hanya beberapa detik setelahnya dia mendengar seseorang memanggilnya dari arah belakang, “Hei.”Sea yang masih memegang tangan Ayleen langsung menengok ke arah orang yang sepertinya sedang memanggil gadis muda yang berdiri di depannya. Ayleen ingin melepaskan tangan Sea dari lengannya tetapi gadis