Share

Membuktikan Diri, Menuntaskan Misi

Adit menatap si manajer restoran sambil mengerutkan kening. Beginikah pelayanan di salah satu restoran termewah di kota Parsha? Sungguh dia kecewa.

Langkah si manajer terhenti saat dilihatnya genangan air berbau pesing di dekat kaki Erkan. Matanya membulat. Dia lantas menatap Adit dengan penuh tanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada pelanggan kami ini?” tanyanya. Nada bicaranya tak bersahabat.

“Apa yang kulakukan? Aku hanya membela diri. Mereka yang memulai. Selain itu, aku juga pelanggan kalian. Apakah seburuk ini cara kalian memperlakukan pelanggan?” balas Adit.

Kini giliran si manajer restoran yang mengerutkan kening. Dia terganggu dengan apa yang baru saja dikatakan Adit.

Pelayanan memang salah satu hal terbaik yang ditawarkan The Divine Candle. Itulah kenapa mereka yang makan siang di situ bukan orang sembarangan.

Dan memang, mestinya, sebagai perwakilan dari pihak restoran, dia tak melabrak Adit seperti itu. Itu jika Adit memang benar-benar pelanggan mereka.

“Kenapa? Kamu tak percaya pada apa yang kukataan? Ya sudah, coba cek saja rekaman CCTV. Di situ juga kelihatan. Kalau perlu, tanyakan juga pada pelayan-pelayan itu. Mereka melihat apa yang terjadi tadi,” kata Adit.

Si manajer menatap mata Adit lurus, mencoba menemukan sesuatu yang janggal di sana. Tapi tak ada. Sepertinya Adit mengatakan yang sebenarnya.

“Apa benar yang dia katakan? Apa yang tadi kamu lihat sebelum kamu melapor?” Si manajer bertanya kepada pelayan di sampingnya.

Sambil menatap Adit, si pelayan menjawab dengan ragu-ragu, “Tadi, pengawal-pengawalnya Tuan Erkan masuk dan mengepung meja yang ditempati Tuan ini. Setelah itu saya tak tahu apa yang terjadi, Manajer.”

“Kenapa orang-orang ini sampai masuk dan mengepungnya?”

“Karena Tuan ini tak mau memberikan mejanya kepada Tuan Erkan, Manajer.”

Si manajer menatap si pelayan bingung. Pelayan ini tak mengatakan hal ini padanya tadi.

“Jadi, dia sudah menempati meja ini lebih dulu? Dan kamu meminta dia memberikan mejanya kepada pelanggan lain?” tanyanya.

“Iya, Manajer.”

“Kenapa?”

Si pelayan kembali menatap Adit, kemudian menatap Erkan yang masih terbaring menelungkup itu.

“Karena saya tak yakin orang ini akan bisa membayar tagihan, Manajer. Dia memesan menu-menu spesial yang harganya fantastis. Selain itu, yang meminta hal tersebut bukan pelanggan biasa melainkan Tuan Erkan, salah satu pelanggan tetap kita,” tutur si pelayan.

Si manajer mendengus. Dia tampak kesal dengan penjelasan si pelayan.

Dia lalu menatap Adit, kemudian balik badan dan melontarkan pertanyaan ini sambil memandangi wajah mereka bergantian:

“Apa yang kalian lihat tadi? Siapa yang memulai duluan? Apa benar pelanggan kita ini hanya membela diri?”

Si manajer sedang dalam mode serius. Pelayan-pelayan itu tahu, mereka harus mengatakan yang sesungguhnya.

“Benar, Manajer. Tuan ini tadi hanya membela diri. Orang-orang ini yang menyerangnya duluan,” kata salah satu pelayan.

Yang lain mengangguk-angguk membenarkan. Si manajer lalu melihat pengawal-pengawalnya Erkan itu satu persatu.

Orang-orang itu berbadan kekar. Apakah Adit melumpuhkan mereka semua, dengan tangan kosong?

“Panggil satpam ke sini. Mestinya mereka langsung sigap saat ada kejadian seperti ini,” perintah si manajer.

Pelayan-pelayan itu saling melihat satu sama lain. Salah satu dari mereka, yang paling dekat ke pintu masuk restoran, akhirnya keluar untuk memanggil satpam.

Sementara itu si manajer memutar tubuhnya dan kembali menatap Adit. Sesaat, tatapannya juga tertuju pada si wanita seksi yang ada di situ, yang tengah melipat tangan di dada dan menatap Erkan dengan jijik.

“Masih mau mengecek rekaman CCTV?” sindir Adit. “Kalau tidak, cepat bawakan semua pesananku. Aku sudah lapar.”

Dengan santai, Adit duduk kembali di kursinya. Meja yang ditempatinya ini memang masih rapi seperti semula, kontras sekali dengan meja-meja lain di sekitarnya yang posisinya sudah tak keruan.

“Manajer, satpam-satpam di luar tak sadarkan diri,” si pelayan yang tadi keluar itu mengatakannya lantang saat kembali masuk.

Si manajer kembali mengerutkan kening. Dia memutar badannya sembilan puluh derajat dan menatap pelayan itu heran. “Maksudmu?”

“Sepertinya… orang-orang ini menghajar mereka tadi saat memaksa masuk,” kata si pelayan, menunjuk pengawal-pengawalnya Erkan.

Memang tak semestinya orang-orang berbadan kekar itu bisa masuk ke restoran begitu saja. Tak peduli mereka pengawal-pengawalnya pelangan restoran atau apa, ada aturan yang harus mereka patuhi.

Sekarang, semuanya cenderung membenarkan pembelaan-pembelaan Adit tadi.

“Jadi, bagaimana? Kalian mau membawakan pesanan-pesananku itu atau tidak?” celetuk Adit.

Si manajer menoleh padanya. Sebagai seorang profesional, dia tentu saja harus memerintahkan agar Adit dilayani layaknya pelanggan.

Tapi, penampilan Adit memang mencurigakan. Akankah dia sanggup membayar tagihannya nanti?

Seakan bisa membaca pikiran si manajer, Adit berkata, “Bawakan saja mesin EDC kalian. Biar kubayar dulu, baru setelah itu aku makan.”

“Dan kalau boleh aku beri saran, cepat bersihkan genangan air kencing di lantai itu. Aku tak tahan dengan baunya. Meja-meja dan kursi-kursi ini juga perlu dirapikan,” sambungnya.

Si manajer menatap Adit kesal. Pelanggan restoran tak perlu mendikte apa-apa saja yang perlu dilakukan olehnya. Tapi, yang dikatakannya itu benar.

Dia sendiri sebenarnya sudah tak tahan dengan bau pesing itu.

Maka diperintahkannya si pelayan di dekatnya untuk membawakan mesin EDC dan memproses tagihan sesuai pesanan Adit tadi.

Pelayan-pelayan lain diperintahkannya untuk membersihkan genangan air kencingnya Erkan dan merapikan meja-meja dan kursi-kursi.

Sekitar satu dua menit kemudian, si pelayan yang diminta membawa mesin EDC itu kembali. Setelah memproses tagihan, dia tunjukkan dulu kepada si manajer total yang harus dibayar oleh Adit.

Si manajer memicingkan mata. Kembali dia menatap Adit curiga. Dia kemudian memberi isyarat kepada si pelayan untuk melanjutkan proses pembayaran.

“Totalnya 202 juta, Tuan. Silakan masukkan PIN Anda,” kata si pelayan.

Adit pun memasukkan PIN-nya. Dia menekan tombol-tombol di mesin EDC itu dengan santai. Nominal 202 juta itu seperti tak berarti apa pun baginya.

Dan sesaat kemudian, terdengarlah bunyi khas mesin EDC yang menandakan kalau transaksi pembayaran berhasil.

Si manajer terbelalak. Mulutnya terbuka membentuk huruf ‘o’.

“Sudah kubayar. Sekarang bawakan pesanan-pesananku,” ucap Adit.

Si manajer memandangi Adit lekat-lekat, memindainya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

‘Siapa orang ini sebenarnya? Apakah dia orang superkaya yang berpenampilan sederhana?’ pikirnya.

Selang satu jam kemudian, Adit keluar dari The Divine Candy.

“Terima kasih telah makan siang di restoran kami, Tuan. Semoga hari Anda menyenangkan!”

Yang mengucapkannya adalah si manajer restoran. Dia sengaja membukakan pintu dan mengantar Adit keluar untuk menebus kesalahannya.

Adit tak memberikan respons apa pun, hanya terus melangkah menuruni anak-anak tangga tanpa menoleh ke belakang.

Perutnya penuh. Makan siang barusan adalah makan siang terenak di dalam hidupnya.

Satpam-satpam yang tadi sempat pingsan itu telah kembali bertugas. Saat Adit melewati mereka, mereka membungkuk hormat padanya, padahal tadi Adit sempat dipersulit saat akan memasuki kawasan restoran.

Uang memang bisa mengubah sikap seseorang, secepat itu.

Adit kini berdiri di trotoar. Saat itulah, bunyi mekanis terdengar di dalam kepalanya, dan sebuah layar hologram muncul di depannya.

[Misi berhasil dituntaskan.]

[Hadiah berupa kalung berlian senilai 2 triliun rupiah sudah bisa diklaim.]

[Pilih ‘Ya’ untuk mengklaim sekarang.]

Adit mengatakan ‘Ya’ di dalam hati. Sekejap kemudian, dia merasakan sesuatu yang hangat di saku celananya.

Adit merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu yang ada di sana.

Tak salah lagi, itu adalah kalung berlian yang dimaksud. Kilaunya begitu indah sampai-sampai Adit terpana melihatnya.

Cekiiit!

Sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan Adit.

Saat kaca jendela mobil itu bergerak turun, Adit melihat sesosok wanita dengan wajah yang familier.

“Adit? Kamu Adit, kan?” tanya si wanita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status