"Brenda?" ucap Adit, menatap wanita di mobil yang baru saja berhenti di hadapannya itu.
"Tenryata benar kau, Adit. Lama sekali kita tak bertemu. Kau sedang apa di sini?" tanya Brenda lagi.Brenda adalah teman Adit semasa SMA dulu. Mereka sekelas di tahun ketiga, dan mereka pernah berpacaran selama beberapa bulan.Mereka sepakat mengakhiri hubungan setelah lulus. Ketika itu Brenda harus melanjutkan kuliah di luar negeri."Emm... tak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan saja. Menghabiskan waktu," kata Adit.Tak mungkin dia mengatakan kepada Brenda kalau dia baru saja makan di The Divine Candle dan menghabiskan 202 juta dalam satu kali transaksi. Bisa-bisa Brenda akan berpikir kalau dia sedang menyombongkan diri.Lagi pula, agaknya tak mungkin Brenda percaya Adit benar-benar melakukan transkasi sebesar itu untuk sebuah makan siang."Sendirian saja?" tanya Brenda lagi."Ya," jawab Adit."Tak ada tujuan mau ke mana?"Adit menggeleng.Brenda mengernyitkan dahi. Dia lepas kacamata hitamnya dan kini Adit bisa melihat sepasang matanya yang sipit dan cantik itu."Naiklah. Biar kuantar," kata Brenda."Tapi aku belum tahu aku mau ke mana," balas Adit."Itu nanti saja kamu pikirkan. Kalaupun kamu tak tahu juga harus ke mana, kamu bisa temani aku ngobrol. Ayo naik."Adit ingin menolak tawaran Brenda itu, tapi wanita itu sudah membuka pintu mobil.Kata-katanya yang barusan itu pun bukan tawaran melainkan ajakan yang bersifat memaksa."Yuk!" kata Brenda.Adit menghela napas. Dia menyerah. Dia pun menaiki mobil sedan Brenda yang berwarna merah gelap itu.Sesaat kemudian, mobil itu melaju kencang di jalan raya yang lengang."Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita ngobrol-ngobrol, ya. Kapan itu? Tujuh tahun yang lalu?" Brenda memulai obrolan."Ya. Selama itulah kira-kira," tanggap Adit."Luar biasa, ya. Waktu berlalu begitu cepat. Tapi kamu seperti tak berubah, Adit. Aku bisa langsung mengenalimu di detik aku melihatmu tadi.""Oh, ya?""Ya. Kamu masih kelihatan muda dan bugar. Kamu sering workout gitu, ya?""Ah, ya."Lagi-lagi, Adit tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Brenda. Penampilannya yang tampak muda dan segar ini diakibatkan oleh si sistem canggih. Di detik dia meningkatkan kekuatan fisiknya, penampilannya pun ikut berubah.Saat ini Adit memang terlihat sepuluh tahun lebih muda daripada dirinya kemarin."Ngomong-ngomong, bagaimana kehidupanmu sekarang? Kamu bekerja atau...?"Brenda menoleh sebentar kepada Adit, seperti memeriksa apakah Adit terganggu dengan pertanyaannya itu.Adit memahami kekhawatiran Brenda, sehingga dia langsung menjawab, "Saat ini tidak. Aku masih mencari pekerjaan. Aku menganggur sejak pandemi.""Oh, ya? Dua tahun?""Begitulah.""Itu... lama sekali. Pasti sulit bagimu."Tanpa disadarinya, Adit tersenyum. Brenda memang orang yang sensitif dan pengertian. Ini jugalah salah satu hal yang disukai Adit dari Brenda.Adit lumayan terkesan, mendapati Brenda masih sosok yang sama meskipun secara penampilan dia sudah jauh berbeda.Brenda yang dulu selalu tampil sederhana nyaris tanpa make up, kali ini terlihat seperti seorang model atau aktris papan atas.Saat ini, misalkan, dia mengenakan gaun dengan dada rendah yang membuat belahan dadanya kelihatan. Di kakinya dia mengenakan high-heels yang membuat kakinya terlihat jenjang.Semuanya serbamerah. Hanya aksesoris-aksesorisnya saja yang tidak.Selain mengenakan kacamata hitam, di juga mengenakan kalung berwarna rosegold dan jam tangan kecil dengan warna serupa, tampak cantik sekali di pergelangan tangannya yang ramping itu.Dari tubuh Brenda, menguar aroma parfum yang mewah.Penampilan mereka sungguh kontras apabila dibandingkan. Brenda seakan mewakili orang-orang papan atas, sedangkan Adit mewakili kaum yang bisa hidup dengan layak saja sudah terhitung beruntung."Oh, ya, weekend ini ada reuni. Kamu juga diundang, kan?" Brenda memulai lagi obrolan."Reuni?" tanya Adit."Ya. Reuni SMA. Aku tak pernah bisa ikut karena selama ini aku di luar negeri. Tahun ini, rencananya aku mau ikut. Kamu pasti datang, kan?""Ah, ya."Sungguh itu jawaban yang ngasal. Adit mengatakannya lebih untuk mengakhiri obrolan saja.Reuni SMA. Memang dia selalu mendapatkan undangan elektronik yang masuk ke emailnya setiap tahunnya, tapi dia tak pernah sekali pun datang ke acara reuni.Tak ada alasan bagi dia untuk datang. Teman-teman SMA-nya itu pasti akan saling menyombongkan diri, entah itu soal kekayaan, jaringan, keluarga, atau apa pun. Hal seperti ini membuat Adit muak.Dan bukan hanya itu, banyak di antara teman-teman SMA-nya itu juga tahu soal pernikahan kontroversial Adit dengan Diana, dan banyak juga yang tahu kalau Adit hidup menumpang di rumah ibu mertuanya sebagai penganggur.Bisa dia bayangkan akan sebusuk apa gunjingan teman-teman SMA-nya itu. Dan jika dia menunjukkan batang hidungnya di hadapan mereka, entah bisa sebrutal apa mereka mencemoohnya.Seperti itulah Adit Winarta melihat acara reuni SMA yang diadakan sekali setahun itu. Adit yang lama, lebih tepatnya. Adapun sekarang, dengan terintegrasinya tubuhnya ke sistem canggih yang dibawa dari masa depan itu, dia tentu sudah jauh lebih percaya diri.Meskipun begitu, dia masih berpikir kalau mengikuti acara reuni seperti itu bukan hal yang menyenangkan."Bagaimana kalau hari Sabtu nanti kita ke acara reuni bersama?" cetus Brenda."Eh?" Adit kaget, sontak menoleh ke arah Brenda."Aku canggung soalnya. Aku sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan teman-teman SMA kita itu. Aku tak yakin aku akan nyaman mengobrol dengan mereka. Aku butuh ditemani seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman, seperti kamu."Entah ini perasaan Adit saja atau apa, tapi Brenda seperti salah tingkah setelah mengatakannya.Pipinya yang putih itu sedikit merona merah. Dia tersenyum tipis. Sekilas, Adit seperti melihat sosok Brenda di SMA dulu. Momen-momen saat mereka berpacaran dulu melintas di benaknya."Bagaimana? Mau kan kamu menemaniku, Adit? Please!"Brenda mengatakan itu sambil menatapnya sejenak. Kedua matanya, selain cantik, juga menenangkan.Adit sampai harus menghela napas, berusaha menyingkirkan momen-momen indah mereka dulu agar dia bisa menguasai diri."Tolonglah, Adit. Aku ingin sekali datang ke acara reuni itu, tapi kalau sendiri aku takut tak bisa menikmatinya. Tolonglah temani aku," pinta Brenda.Adit jadi tak enak untuk menolak. Sedari tadi dia sebenarnya sedang menunggu momen yang tepat untuk memberitahu Brenda kalau dia sudah beristri, tapi momen itu tak juga datang.Malahan kini dia jadi semakin sulit mengatakannya. Kalau dia mengatakan itu sekarang, dia khawatir, itu akan terdengar sangat jahat."Di mana reuni itu dilangsungkan? Jam berapa?""Di Hotel White Horizon, jam delapan malam. Temani aku ke sana, ya!"Semakin sulit saja bagi Adit untuk menolak, terlebih lagi baru saja Brenda menatapnya dengan memelas.Itu adalah salah satu hal lainnya yang dia suka dari Brenda dulu. Saat Brenda menatapnya seperti itu, dia terlihat begitu imut. Kawaii, kalau kata orang Jepang."Ya sudah. Nanti aku temani," kata Adit akhirnya."Yes!" Brenda bersorak. "Kalau begitu kita tukeran nomor, ya. Bisa kamu catat nomorku, habis itu kamu misscall?"Adit mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Saat mengecek layar ponselnya, dia mendapati ada pesan WA masuk. Dari istrinya.[Adit, bisa aku telepon kamu sekarang? Ada hal penting yang ingin kubicarakan.]...Adit terdiam memandangi layar ponselnya.Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil."Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda."Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya."Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan."Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana."Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa ha
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban
“Ya, boleh. Menjadi bodyguard sepertinya lebih menantang bagiku. Sekali lagi terima kasih, ya,” jawab Adit. “Sama-sama. Tapi untuk bisa menjadi bodyguard-ku, kamu harus menjalani tes dulu di kantorku. Bisa sih aku bicara dengannya nanti. Aku minta dia meloloskanmu kalaupun kamu tidak lolos tes fisik dan tes-tes lainnya.” Adit tersenyum miring. Dia tak perlu bantuan apa pun untuk lolos tes fisik dan tes-tes lainnya. Terlebih lagi saat ini dia menguasai pencak silat. Itu pastilah sebuah nilai lebih baginya. “Tak usah repot-repot, Brenda. Aku berusaha dengan kemampuanku sendiri saja. Paling aku minta tolong diberitahu saja apa-apa yang harus kusiapkan dan kubawa untuk mengikuti tes-tes nanti,” kata Adit. “Soal itu, kamu tenang saja. Nanti aku jelaskan semuanya lewat chat, ya. Oke?” “Oke.” Mereka masih bercakap-cakap beberapa menit lagi, tapi bahasan soal pekerjaan berakhir di situ. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, Adit menghela napas lega, tersenyum lebar. Syar
Hilman mengatakan dua kalimat terakhirnya itu dengan nada tinggi, hampir-hampir berteriak. Senyum mencemooh kembali ditunjukkan satpam-satpam di belakang Hilman itu. Adit menghela napas. Lagi-lagi dia harus berhadapan dengan orang-orang menyebalkan. “Kamu menantangku, hah? Apa maksud helaan napasmu barusan?!” Hilman mendekatkan wajahnya ke wajah Adit. Dengan jarak sedekat ini, semakin sulit bagi Adit untuk tak terganggu dengan bau tak sedap dari tubuh Hilman itu. “Saya belum menjalani tes sama sekali, Pak. Bagaimana kalau Pak Hilman menilai saya setelah saya menjalani tes-tes itu?” kata Adit. “Hoo, berani juga kamu menantangku. Oke. Kita lihat nanti hasil tesmu seperti apa. Sekarang buka bajumu!” “Eh? Buka baju?” “Iya, buka baju! Cepat lakukan! Itu bagian dari tes!” Tentu saja itu bohong. Di antara rentetan tes untuk menjadi seorang satpam saja seseorang tak pernah diminta buka baju. Adapun Hilman melakukan itu untuk mempermalukan Adit. Dari pengamatannya tadi, tubuh Adit bias
Satpam-satpam itu mengangkat pentungan dan mengayunkannya ke arah Adit. Mereka yakin sekali bisa memojokkan Adit dan menghajarnya hingga babak belur. Tapi apa yang kemudian terjadi? Keempat satpam itu tiba-tiba terkapar memegangi perut mereka, mengerang kesakitan. Rendi ternganga. Dia tak tahu kalau Adit baru saja memukul perut keempat satpam itu sekuat tenaga. Gerakannya begitu cepat sampai-sampai Rendi tak bisa meilhatnya. “Sekarang bagaimana? Masih mau cari masalah denganku?” tanya Adit. Rendi menatapnya dengan bengis. Mukanya memerah. Amarah yang busuk telah menguasainya. “Bangsat! Aku habisi kau!!” teriaknya sambil menerjang Adit, mengayunkan pentungannya ke kepala Adit. Mengingat badan Rendi yang tinggi besar, hantaman pentungannya itu bisa saja membuat tulang Adit retak jika mengenai sasaran. Tapi sayangnya, itu tak terjadi. Adit menahan pentungan tersebut, memeganginya kuat-kuat sampai-sampai Rendi tak bisa menariknya. Mata Rendi semakin membulat, tapi kini dia terlih
Adit memegangi tangan Tommy dengan begitu keras sampai-sampai pria tinggi-besar itu meringis kesakitan. Apa yang dilakukannya ini membuat Brenda terbelalak."Sialan! Lepaskan tanganku!" Hardik Tommy, berusaha menonjok Tommy dengan tangannya yang satu lagi.Tapi Adit dengan mudah menghindar. Selanjutnya dia pelintir tangan Tommy yang dipegangnya itu hingga pria itu terjengkang.Bunyi gedebuk yang keras terdengar, diikuti bunyi erangan dari Tommy.Di titik ini, Brenda berdiri dan memundurkan kursi. Dia menatap Tommy cemas. Ini membuat Adit bingung."Kamu baik-baik saja, Tommy?" tanya Brenda sambil memutari meja kerjanya, menghampiri Tommy.Tommy mengangguk meski tampak kesakitan. Dia mencoba bangkit terduduk, tapi malah meringis dan memegangi pinggangnya.Bantingan Adit barusan memang lumayan keras. Benar-benar di luar ekpektasinya.Adit yang masih berdiri itu menatap bingung kepada Brenda yang tiba-tiba menunjukkan perhatiannya pada Tommy.Bukankah tadi ajakan Tommy ditolak mentah-ment