“Adit, kamu masih belum juga mencuci mobil? Apa saja yang kamu lakukan dari tadi? Dasar menantu tak berguna!”
Hardikan ibu mertuanya itu mengagetkan Adit Winarta yang sedang bermeditasi.
Adit berdecak kesal. Beberapa detik lagi saja dia bermeditasi, dia sudah bisa mengaktifkan kembali sistem canggih yang terintegrasi ke otaknya.
Dengan begitu dia akan bisa menghubungkan sistem tersebut ke tubuh barunya ini.
Adit membuka matanya. Dia mendapati Julia, ibu mertuanya itu, baru saja memasuki kamarnya dan kini menatapnya dengan mata melotot.
“Cepat cuci mobil! Diana mau berangkat setengah jam lagi!” kata Julia. Diana adalah istrinya Adit, anak semata wayangnya Julia.
Menghela napas, Adit beranjak dari kasur dan berdiri, berjalan ke arah pintu.
“Dasar sampah kau ini, Adit! Setiap hari kerjamu hanya di rumah dan menghabiskan makanan saja. Menyesal aku membiarkanmu menikah dengan putriku! Harusnya orang secantik dia menikah dengan pria kaya-raya seperti Erkan, bukannya pria miskin tak berguna sepertimu!”
Adit yang baru saja akan keluar dari kamarnya itu berhenti sebentar, menoleh dan melirik Julia dengan dingin.
Erkan adalah CEO Bright Star Company, putra tunggal dari salah satu orang terkaya di Kota Parsha. Pria hidung belang itu telah mengincar Diana dari sejak istrinya Adit itu masih kuliah.
“Mulai hari ini aku akan cari kerja lagi,” ucap Adit, ketus.
“Oh, ya? Oke. Kita lihat nanti, apa kamu cuma membual atau memang sudah mulai waras. Sudah ada dua tahun kamu menganggur. Kalau bulan ini kamu tak dapat kerja juga, kamu harus menceraikan Diana! Aku tak mau tahu!” semprot Julia.
Adit menghela napas lagi. Ibu mertuanya ini memang telah berkali-kali memintanya bercerai dengan Diana sejak dia menganggur dua tahun lalu gara-gara pandemi. Tapi, entah karena alasan apa, Diana tak pernah mau bercerai dengan Adit.
Adit dan Diana sendiri menikah tiga tahun yang lalu. Ketika itu pernikahan mereka ditentang oleh hampir semua anggota keluarga besarnya Diana, Keluarga Purwatama.
Adit memang hanya pria biasa dari kalangan biasa, sedangkan saat itu ada banyak pria kaya-raya yang berminat meminang Diana, seperti Erkan.
Keluarga Purwatama sendiri adalah salah satu keluarga yang cukup disegani di kota itu, sehingga menikahnya Adit dengan Diana bagaikan aib buat mereka.
Akibatnya, sejak pernikahan yang menghebohkan itu, Julia dan Diana dikucilkan dan dicemooh oleh Keluarga Purwatama. Tak tahan, mereka pun akhirnya pindah ke rumah mereka yang kecil ini, meninggalkan semua kemewahan yang mereka miliki.
“Oke, Ma. Bulan ini aku akan dapat kerja,” kata Adit, lalu melengos pergi, menuju garasi di sebelah kanan rumah. Tanpa banyak bicara, dia mulai mencuci mobil yang akan digunakan istrinya.
Sebenarnya, Adit Winarta bukanlah namanya. Itu adalah nama orang yang saat ini tubuhnya diambil alih olehnya.
Namanya yang sebenarnya adalah Alvin Sanders. Dia berasal dari ratusan tahun di masa depan.
Di masa hidupnya Alvin Sanders, kecerdasan buatan sudah berkembang begitu pesatnya sehingga ada teknologi yang memungkinkan sebuah sistem canggih diintegrasikan ke otak seseorang.
Teknologi tersebut diadopsi oleh pemerintah dan diam-diam, secara acak, diterapkan ke warganya lewat suntikan vaksin palsu dengan dalih meningkatkan imunitas dan melawan virus.
Segelintir orang yang disuntik itu menjadi manusia super dalam arti kecerdasannya atau kekuatan fisiknya meningkat drastis, melampaui apa yang terpikirkan.
Sayangnya, kebanyakan tak seberuntung itu; mereka jadi sakit-sakitan dan kondisinya terus memburuk hingga akhirnya mati, termasuk Alvin.
Namun, sesaat sebelum dia menemui ajalnya, sebuah layar hologram tiba-tiba muncul di hadapannya, dan di situ tertulis pertanyaan apakah dia ingin mencoba mengulangi semuanya dari awal.
Alvin menjawab pertanyaan itu dengan berkata ‘Ya’ di dalam hati, dan begitulah ketika dia terbangun dia mendapati dirinya berada di tubuh pria bernama Adit Winarta ini.
Tadi sambil bermeditasi, Alvin mencoba mengakses ingatan Adit Winarta semampu yang dia bisa.
“Adit, kau bisa mencuci mobilku lebih cepat? Aku sedang buru-buru,” kata Diana.
Istrinya Adit itu baru saja keluar dari rumah dan kini menatapnya.
Dengan setelan rok pendek di atas lutut yang dipadukan dengan blazer ketat yang warnanya sama, wanita itu tampak elegan.
Dengan wajahnya yang cantik itu, orang bisa mengira dia adalah aktris atau model papan atas.
Memang sungguh disayangkan wanita cantik seperti dia punya suami pengangguran seperti Adit.
Adit baru saja akan menjawab ketika tiba-tiba dua pria bermuka sangar muncul di depan pagar rumah.
Trang! Trang!
Salah satu pria itu, yang perutnya buncit dan kepalanya botak, baru saja memukul-mukulkan tongkat berukiran naga ke pagar rumah.
Adit menatap mereka dengan kesal. Dia tahu, dua orang ini datang untuk menagih cicilan utang sekaligus menebarkan teror.
Sementara Adit mencuci tangan dan berdiri, Diana cepat-cepat masuk ke rumah, mungkin memberitahu Julia soal kedatangan dua pria sangar itu.
“Heh, Menantu Sampah, mana ibu mertuamu? Suruh dia keluar! Cepat!” bentak Joni, si pria yang buncit dan botak, memandang rendah kepada Adit.
Joni adalah rentenir yang punya kuasa cukup besar di kawasan tempat Adit dan keluarganya tinggal.
Dia bisa sekurang ajar itu pada Adit sebab biasanya Adit akan langsung melipir memberitahu Julia setiap kali dia datang ditemani pengawalnya.
Tahun lalu, Juia nekat meminjam dua ratus juta kepada Joni dan menggunakan uang itu untuk membeli mobil. Tapi, di tiga bulan terakhir, dia belum bisa lanjut membayar cicilan.
Ini adalah kali kesebelas Joni dan pengawalnya itu datang dengan gestur intimidatif.
“Heh, Bos Joni bertanya padamu! Cepat jawab! Malah bengong kayak orang bego! Apa selain miskin kamu sekarang bisu juga, hah?!” kata pengawalnya Joni yang berambut gondrong.
Adit berdecak. Lama-lama dia jengah juga dengan tingkah mereka berdua.
Kalau saja sistem canggih itu telah terintegrasi ke tubuh barunya ini, mungkin dia bisa melakukan sesuatu terhadap Joni dan pengawalnya.
Dan mungkin saja, dia pun bisa melakukan sesuatu terhadap sisa utangnya Julia.
“Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?”
Julia akhirnya keluar, diikuti Diana di belakangnya.
“Heh, Julia, kapan kamu akan mulai membayar lagi cicilan utangmu lagi? Kalau kamu tak punya lagi uang untuk membayar cicilan, mobilmu ini akan kuambil sebagai jaminan!” gertak Joni, menunjuk mobil yang sedang dicuci Adit.
Mata Julia membulat. Mobil itu adalah satu-satunya kendaraan yang mereka miliki. Diana menggunakan mobil itu untuk menuju ke kantornya di pusat kota.
“Tolong jangan, Pak Joni! Tolong jangan ambil mobil ini! Kalau mobil ini diambil, justru aku tak akan bisa lagi melanjutkan pembayaran cicilan. Tolong beri aku waktu,” Julia memelas, menghampiri Joni dan pengawalnya yang masih berdiri di luar pagar.
“Kamu pikir aku peduli, hah? Itu masalahmu, Julia! Pokoknya kalau kamu tak membayar cicilan utangmu untuk tiga bulan terakhir itu hari ini, mobilmu ini akan kuambil paksa! Ingat, kamu juga harus membayar denda keterlambatan seperti tertulis di kontrak yang kamu tanda tangani!” kata Joni dengan mata membulat.
Julia tampak kebingungan. Mukanya mendadak pucat. Sebenarnya uang itu ada saja kalau dikumpulkan. Tapi, kalau dia memberikannya kepada Joni sekarang, nanti dia dan Diana mau makan apa?
Adit menyadari kebingungan yang tengah mendera Julia. Sayangnya, saat ini dia pun tak punya solusi. Akan berbeda kalau saja meditasinya tadi itu tuntas dan sistem canggih itu sekarang sudah terhubung ke tubuhnya.
Saat itulah...
[Ting!]
Sebuah layar hologram muncul di depan Adit. Di situ tertulis:
[Sistem sudah terintegrasi dengan tubuh baru user.]
[User mendapatkan bonus awal sebesar 100 triliun.]
[Pilih ‘Ya’ untuk memindahkan uang ke rekening user.]
Adit mengerutkan kening. Benarkah apa yang dilihatnya ini? Sistem canggih itu sudah terintegrasi ke tubuhnya?
Untuk membuktikannya, dia mengatakan ‘Ya’ di dalam hati.
[Ting!]
[Transaksi berhasil.]
Adit langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana pendeknya dan mengecek saldo rekeningnya dengan M-banking. Matanya terbelalak.
Benar saja, uang 100 triliun itu baru saja ditambahkan ke saldo tabungannya!
‘Jadi, meditasiku tadi itu sebenarnya tuntas?’ pikirnya.
Di masa hidupnya Alvin Sanders, uang 100 triliun terbilang kecil. Tapi di masa hidupnya Adit Winarta, itu sangatlah besar.
Ini benar-benar sebuah keuntungan baginya!
Adit mengangkat wajahnya. Dia mendapati Julia sedang memelas meminta tambahan waktu kepada Joni yang berdiri di luar pagar.
Adit tersenyum tipis. Ini saatnya memutarbalikkan keadaan. Dia pun melangkah maju.
“Adit, mau ngapain kamu?” tanya Diana yang mash berdiri di teras, menatap Adit dengan cemas.
Adit hanya menoleh sebentar sambil melebarkan senyumnya, lalu lanjut melangkah.
“Berapa yang harus dibayar ibu mertuaku hari ini? Sebutkan! Biar aku yang bayar,” ucap Adit.
“Hah?!”
…
Julia terkejut dengan apa yang dikatakan Adit.Menantunya ini mau membayarkan utang cicilannya? Bagaimana bisa?Dia saja tak bekerja selama hampir dua tahun ini.“Kamu lanjut cuci mobil saja sana! Tak usah bertingkah!” semprot Julia.“Biar aku yang atasi mereka, Ma. Mama ke dekat Diana saja,” kata Adit.“Hah?!”Julia menatap Adit dengan kesal. Apa kelamaan menganggur membuat menantunya ini jadi tak waras?“Hahaha. Kocak sekali menantu sampahmu ini, Julia. Dia sok-sokan mau melunasi cicilan utangmu. Bekerja saja tidak. Hahaha…”Si botak Joni tertawa keras. Adit menatapnya dengan jengah.Julia sendiri menatap Adit dengan kemarahan yang tertahan. Nanti setelah berhasil meminta perpanjangan waktu kepada Joni, dia akan menampar menantu sampahnya ini.“Sebutkan saja besarnya berapa, Botak! Kamu mau uangnya kubayar atau tidak?” tantang Adit.“Heh, berani kamu bicara begitu pada Bos Joni, ya! Mau kurobek mulutmu, hah?!” bentak Bob, pengawalnya Joni, memelototi Adit.Julia mematung menatap Adi
“Itu baru dua tamparan. Masih butuh beberapa tamparan lagi sampai aku puas,” kata Adit.Dia lalu melancarkan tamparan lagi ke pipi kirinya Joni, tapi dengan cepat tangannya ditahan oleh Bob.“Keparat! Berani-beraninyna kamu menampar Bos Joni!” hardik Bob.“Hey, apa maksudnya ini, Botak? Kamu mau mengingkari janjimu sendiri, hah?!” kata Adit, memelototi Bob lalu Joni.“Lepaskan dia, Bob!” perintah Joni.“Tapi, Bos…”“Aku bilang lepaskan dia! Aku kalah bertaruh. Aku harus membiarkan dia menamparku. Itu bagian dari kesepakatan.”Bob tampak enggan melakukannya, tetapi dia tak punya pilihan sebab itu perintah langsung dari Joni.Joni sendiri kini sudah kembali berdiri tegak, menatap Adit dengan kesal.Meski otaknya mesum, Joni bukan tipe orang yang akan mengingkari janji. Tadi dia dan Adit telah bersepakat. Kini, dia harus menerima konsekuensi dari kekalahannya.Adit tersenyum meledek ke arah Joni, memutar-mutar sedikit tangan kanannya, bersiap kembali menampar Joni.Dan dia pun menampar b
Adit memutar bola matanya, kemudian menatap Erkan dengan malas.Dilihatnya sorot mata Erkan begitu tajam. Seakan-akan ada bola api yang menyala-nyala di mata tersebut.“Apa maumu, Erkan? Aku ke sini untuk makan, bukan untuk meladeni omong-kosongmu,” ucap Adit.Erkan mendengus kesal. Dia dan Adit memang tak pernah akur. Setiap kali mereka bertemu selalu saja mereka bentrok. Tapi, seingatnya, Adit tak pernah seberani ini menantangnya.“Pelayan, kamu dengar apa yang baru saja kukatakan?” kata Erkan, menegakkan punggunnya, menatap si pelayan.Pelayan itu mengangguk. Dia kemudian menghampiri Adit, berdiri di sebelah kanannya.“Tuan, silakan Anda tinggalkan meja ini. Tuan Erkan akan menempatinya,” ucapnya.Adit memicingkan matanya. Seperti inikah pelayanan di salah satu restoran termewah di Kota Parsha?“Kalau aku tidak mau? Lagian, aku yang menempati meja ini duluan. Kamu sendiri yang membawaku ke sini,” kata Adit.Pupil mata si pelayan membesar, tanda kalau dia tak senang dengan penolakan
Adit menatap si manajer restoran sambil mengerutkan kening. Beginikah pelayanan di salah satu restoran termewah di kota Parsha? Sungguh dia kecewa.Langkah si manajer terhenti saat dilihatnya genangan air berbau pesing di dekat kaki Erkan. Matanya membulat. Dia lantas menatap Adit dengan penuh tanya.“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada pelanggan kami ini?” tanyanya. Nada bicaranya tak bersahabat.“Apa yang kulakukan? Aku hanya membela diri. Mereka yang memulai. Selain itu, aku juga pelanggan kalian. Apakah seburuk ini cara kalian memperlakukan pelanggan?” balas Adit.Kini giliran si manajer restoran yang mengerutkan kening. Dia terganggu dengan apa yang baru saja dikatakan Adit.Pelayanan memang salah satu hal terbaik yang ditawarkan The Divine Candle. Itulah kenapa mereka yang makan siang di situ bukan orang sembarangan.Dan memang, mestinya, sebagai perwakilan dari pihak restoran, dia tak melabrak Adit seperti itu. Itu jika Adit memang benar-bena
"Brenda?" ucap Adit, menatap wanita di mobil yang baru saja berhenti di hadapannya itu. "Tenryata benar kau, Adit. Lama sekali kita tak bertemu. Kau sedang apa di sini?" tanya Brenda lagi. Brenda adalah teman Adit semasa SMA dulu. Mereka sekelas di tahun ketiga, dan mereka pernah berpacaran selama beberapa bulan. Mereka sepakat mengakhiri hubungan setelah lulus. Ketika itu Brenda harus melanjutkan kuliah di luar negeri. "Emm... tak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan saja. Menghabiskan waktu," kata Adit. Tak mungkin dia mengatakan kepada Brenda kalau dia baru saja makan di The Divine Candle dan menghabiskan 202 juta dalam satu kali transaksi. Bisa-bisa Brenda akan berpikir kalau dia sedang menyombongkan diri. Lagi pula, agaknya tak mungkin Brenda percaya Adit benar-benar melakukan transkasi sebesar itu untuk sebuah makan siang. "Sendirian saja?" tanya Brenda lagi. "Ya," jawab Adit. "Tak ada tujuan mau ke mana?" Adit menggeleng. Brenda mengernyitkan dahi. Dia lepas kacamata hit
Adit terdiam memandangi layar ponselnya.Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil."Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda."Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya."Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan."Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana."Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa ha
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit