Julia terkejut dengan apa yang dikatakan Adit.
Menantunya ini mau membayarkan utang cicilannya? Bagaimana bisa?
Dia saja tak bekerja selama hampir dua tahun ini.
“Kamu lanjut cuci mobil saja sana! Tak usah bertingkah!” semprot Julia.
“Biar aku yang atasi mereka, Ma. Mama ke dekat Diana saja,” kata Adit.
“Hah?!”
Julia menatap Adit dengan kesal. Apa kelamaan menganggur membuat menantunya ini jadi tak waras?
“Hahaha. Kocak sekali menantu sampahmu ini, Julia. Dia sok-sokan mau melunasi cicilan utangmu. Bekerja saja tidak. Hahaha…”
Si botak Joni tertawa keras. Adit menatapnya dengan jengah.
Julia sendiri menatap Adit dengan kemarahan yang tertahan. Nanti setelah berhasil meminta perpanjangan waktu kepada Joni, dia akan menampar menantu sampahnya ini.
“Sebutkan saja besarnya berapa, Botak! Kamu mau uangnya kubayar atau tidak?” tantang Adit.
“Heh, berani kamu bicara begitu pada Bos Joni, ya! Mau kurobek mulutmu, hah?!” bentak Bob, pengawalnya Joni, memelototi Adit.
Julia mematung menatap Adit. Bisa-bisanya menantunya ini menyebut Joni ‘Botak’ dan menantangnya. Itu hanya akan membuat situasi mereka makin sulit.
Joni sendiri mendengus, menatap Adit dengan bengis. Dia tak pernah mengira kalau menantu sampahnya Julia ini ternyata punya nyali juga.
“Ya sudah sini, 20 juta. Mana? Ada tidak uangnya? Tak ada, kan? Dasar payah!” pancing Joni, terkekeh.
“Kok 20 juta, Pak Joni? Cicilan bulananku kan hanya 3 juta,” Julia protes.
“Kan sudah kubilang tadi, Julia, kamu harus membayar juga denda keterlambatan. Harusnya yang kamu bayarkan hari ini bahkan 21 juta. Ini aku sudah berbaik hati padamu, makanya kukasih korting 1 juta. Cepat! Mana uangnya?” balas Joni.
Julia terdiam. Jika 20 juta, saat ini dia bahkan tidak punya. Lantas apa yang harus dia lakukan? Dia tak mungkin membiarkan mobilnya itu diambil.
Melihat tampang panik Julia, Joni tersenyum licik. Aslinya total yang harus dibayarkan Julia tak sebesar itu. Dia sengaja menaikkannya dengan maksud tertentu. Dia sudah punya rencana licik di benaknya.
Dan sejauh ini, semua berjalan sesuai rencananya. Dia kini melirik Diana, istrinya Adit Winarta yang cantik itu, dengan tatapan penuh nafsu.
“Kalau kamu memang belum bisa membayarkan 20 juta itu hari ini, Julia, aku punya sebuah tawaran untukmu,” kata Joni.
“Tawaran apa, Pak Joni?” tanya Julia, tampangnya penuh harap.
“Putrimu di sana itu… dia cantik juga. Bodinya juga cakep. Kalau kamu tak mau mobilmu kami ambil hari ini, suruh putrimu itu untuk menemaniku jalan-jalan nanti malam. Bagaimana?”
Joni mengatakannya dengan lantang, tentu saja agar Diana pun mendengarnya.
Dan langsung saja, muka Diana memerah padam.
Julia, di sisi lain, tampak memikirkan tawaran tersebut. Dia sudah putus asa sebab tak mungkin dia menyiapkan 20 juta hari ini juga.
“Hanya jalan-jalan saja, kan, Pak Joni? Pak Joni tak akan melakukan hal buruk padanya, kan?” ucap Julia.
“Mama!” sentak Diana, tak percaya pada apa yang didengarnya.
“Kamu diam saja, Diana! Ini demi kita juga!” tukas Julia, lalu kembali menatap Joni.
“Ya, hanya jalan-jalan saja. Putrimu cukup menemaniku berkendara mengitari kota nanti malam. Sesimpel itu,” ujar Joni.
“Dan Pak Joni tak akan mengambil mobil kami hari ini?” Julia memastikan.
“Tak akan. Kami baru akan datang menemuimu lagi bulan depan.”
“Kalau begitu…”
Julia sudah akan menerima tawaran dari Joni yang tengah menatap mesum ke arah Diana ketika tiba-tiba lap basah penuh busa sabun dilemparkan Adit ke muka Joni.
Plash!
Joni refleks mundur selangkah. Busa sabun itu kini memenuhi mukanya.
“Anjing! Berani kamu melempari Bos Joni, Sialan!” hardik Bob sambil menatap Adit murka.
“Bosmu ini yang sialan! Berani-beraninya dia meminta istriku menemaninya jalan-jalan di hadapanku! Aku suaminya! Tak akan kubiarkan orang mesum seperti si botak ini menyentuhnya!” tanggap Adit.
Julia terbelalak. Tak pernah terpikirkan olehnya kalau Adit akan berani menantang Joni sekeras itu.
Tidakkah menantunya itu tahu kalau orang yang sedang dihadapinya ini selain punya uang juga punya kuasa di wilayah ini?
Bukankah dengan begitu Adit justru malah menempatkan dia dan Diana dalam bahaya?
“20 juta, kan? Sebutkan nomor rekeningmu, Botak! Aku transfer sekarang!” ujar Adit, membuka lagi aplikasi M-banking di ponselnya.
“Kamu!”
Bob hendak menerobos pagar untuk menghajar Adit tetapi Joni menahannya.
Joni membersihkan busa-busa sabun dari mukanya, lalu menatap Adit dengan amarah yang siap meledak kapan saja.
“Oke. Akan kusebutkan nomor rekeningku. Tapi, kalau kamu tak mentransfer uang 20 juta itu seperti yang kamu katakan, istrimu yang cantik itu harus menemaniku dan temanku ini semalaman! Dan kamu harus berlutut di depanku dan memanggilku Bos! Bagaimana? Berani kamu?”
“Oke! Siapa takut! Tapi kalau aku benar-benar mentransfer uang 20 juta itu ke nomor rekeningmu, kamu harus membiarkanku menamparmu sesuka hatiku. Dan setelah itu, kalian harus pergi!”
Joni mendengus. Dia sudah mencoba menggertak Adit, tapi Adit malah balik mengertaknya, seakan-akan dia memang punya uang 20 juta di rekeningnya.
Sungguh menantu sampahnya Julia ini tak tahu diri. Ingin sekali dia menonjok-nonjok muka Adit sampai bonyok.
Tapi sesaat kemudian, dia tersenyum. Dia yakin Adit hanya membual. Itu artinya, dia bukan hanya akan mendapatkan Diana seperti rencananya, dia pun akan melihat Adit berlutut di hadapannya dan memanggilnya Bos.
Itu pasti akan sangat memuaskan. Dia akan merekamnya dengan kamera ponselnya dan akan menyebarkannya ke anak-anak buahnya.
Maka, dengan lantang, Joni pun menyebutkan nomor rekeningnya. Setelah itu dia kembali melirik Diana, terutama ke bagian dada wanita itu.
Di benaknya, Joni mulai membayangkan Diana duduk di jok penumpang di samping kirinya, lalu tangannya mulai menggerayangi buah dada Diana yang tampak kencang itu, dan meremasnya.
Air liurnya Joni sampai menetes saking terasa nyatanya apa yang dibayangkannya itu.
Tetapi kemudian….
“Sudah kutransfer uangnya! Cek!” kata Adit.
Joni mengerutkan kening, menatap Adit tanpa sekalipun berkedip.
‘Apa orang ini benar-benar tak waras?’ pikirnya.
“Kenapa malah diam seperti orang dungu begitu, hah? Cepat cek saldomu sekarang!” desak Adit.
“Jaga mulutmu, Keparat! Kalau kamu masih saja kurang ajar seperti itu ke Bos Joni, akan kubunuh kamu!” bentak Bob.
“Ya sudah bunuh saja kalau memang bisa!” tantang Adit.
“Kamu!”
Joni kembali memberi isyarat kepada Bob untuk menahan diri. Untuk beberapa saat dia menatap Adit sambil memicingkan matanya.
“Ayo cepat cek!” desak Adit lagi.
Akhirnya, Joni melakukan juga apa yang diminta Adit. Dan dia terbelalak.
“Ini… tidak mungkin!” ucapnya.
“Uangnya sudah masuk, kan?” tanya Adit, mendekat ke pagar.
“Kamu tak bisa mengibuliku. Aku menyimpan bukti screenshot-nya di ponselku,” sambungnya.
Joni menatap Adit lalu menatap layar ponselnya lagi. Pupil matanya membesar dan mulutnya terbuka lebar.
Adit benar-benar telah mentransfer 20 juta ke rekeningnya? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Adit yang hampir dua tahun menganggur itu punya uang 20 juta?
“Sekarang, karena aku sudah mentransfer uang itu ke rekeningmu, saatnya kamu memenuhi janjimu!” kata Adit, membuka pagar dan melangkah keluar.
Plak! Plak!
Adit menampar Joni dua kali sampai Joni terhuyung-huyung.
Julia dan Diana tercengang, menutup mulut mereka yang terbuka dengan satu tangan.
…
“Itu baru dua tamparan. Masih butuh beberapa tamparan lagi sampai aku puas,” kata Adit.Dia lalu melancarkan tamparan lagi ke pipi kirinya Joni, tapi dengan cepat tangannya ditahan oleh Bob.“Keparat! Berani-beraninyna kamu menampar Bos Joni!” hardik Bob.“Hey, apa maksudnya ini, Botak? Kamu mau mengingkari janjimu sendiri, hah?!” kata Adit, memelototi Bob lalu Joni.“Lepaskan dia, Bob!” perintah Joni.“Tapi, Bos…”“Aku bilang lepaskan dia! Aku kalah bertaruh. Aku harus membiarkan dia menamparku. Itu bagian dari kesepakatan.”Bob tampak enggan melakukannya, tetapi dia tak punya pilihan sebab itu perintah langsung dari Joni.Joni sendiri kini sudah kembali berdiri tegak, menatap Adit dengan kesal.Meski otaknya mesum, Joni bukan tipe orang yang akan mengingkari janji. Tadi dia dan Adit telah bersepakat. Kini, dia harus menerima konsekuensi dari kekalahannya.Adit tersenyum meledek ke arah Joni, memutar-mutar sedikit tangan kanannya, bersiap kembali menampar Joni.Dan dia pun menampar b
Adit memutar bola matanya, kemudian menatap Erkan dengan malas.Dilihatnya sorot mata Erkan begitu tajam. Seakan-akan ada bola api yang menyala-nyala di mata tersebut.“Apa maumu, Erkan? Aku ke sini untuk makan, bukan untuk meladeni omong-kosongmu,” ucap Adit.Erkan mendengus kesal. Dia dan Adit memang tak pernah akur. Setiap kali mereka bertemu selalu saja mereka bentrok. Tapi, seingatnya, Adit tak pernah seberani ini menantangnya.“Pelayan, kamu dengar apa yang baru saja kukatakan?” kata Erkan, menegakkan punggunnya, menatap si pelayan.Pelayan itu mengangguk. Dia kemudian menghampiri Adit, berdiri di sebelah kanannya.“Tuan, silakan Anda tinggalkan meja ini. Tuan Erkan akan menempatinya,” ucapnya.Adit memicingkan matanya. Seperti inikah pelayanan di salah satu restoran termewah di Kota Parsha?“Kalau aku tidak mau? Lagian, aku yang menempati meja ini duluan. Kamu sendiri yang membawaku ke sini,” kata Adit.Pupil mata si pelayan membesar, tanda kalau dia tak senang dengan penolakan
Adit menatap si manajer restoran sambil mengerutkan kening. Beginikah pelayanan di salah satu restoran termewah di kota Parsha? Sungguh dia kecewa.Langkah si manajer terhenti saat dilihatnya genangan air berbau pesing di dekat kaki Erkan. Matanya membulat. Dia lantas menatap Adit dengan penuh tanya.“Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada pelanggan kami ini?” tanyanya. Nada bicaranya tak bersahabat.“Apa yang kulakukan? Aku hanya membela diri. Mereka yang memulai. Selain itu, aku juga pelanggan kalian. Apakah seburuk ini cara kalian memperlakukan pelanggan?” balas Adit.Kini giliran si manajer restoran yang mengerutkan kening. Dia terganggu dengan apa yang baru saja dikatakan Adit.Pelayanan memang salah satu hal terbaik yang ditawarkan The Divine Candle. Itulah kenapa mereka yang makan siang di situ bukan orang sembarangan.Dan memang, mestinya, sebagai perwakilan dari pihak restoran, dia tak melabrak Adit seperti itu. Itu jika Adit memang benar-bena
"Brenda?" ucap Adit, menatap wanita di mobil yang baru saja berhenti di hadapannya itu. "Tenryata benar kau, Adit. Lama sekali kita tak bertemu. Kau sedang apa di sini?" tanya Brenda lagi. Brenda adalah teman Adit semasa SMA dulu. Mereka sekelas di tahun ketiga, dan mereka pernah berpacaran selama beberapa bulan. Mereka sepakat mengakhiri hubungan setelah lulus. Ketika itu Brenda harus melanjutkan kuliah di luar negeri. "Emm... tak ada. Aku hanya sedang jalan-jalan saja. Menghabiskan waktu," kata Adit. Tak mungkin dia mengatakan kepada Brenda kalau dia baru saja makan di The Divine Candle dan menghabiskan 202 juta dalam satu kali transaksi. Bisa-bisa Brenda akan berpikir kalau dia sedang menyombongkan diri. Lagi pula, agaknya tak mungkin Brenda percaya Adit benar-benar melakukan transkasi sebesar itu untuk sebuah makan siang. "Sendirian saja?" tanya Brenda lagi. "Ya," jawab Adit. "Tak ada tujuan mau ke mana?" Adit menggeleng. Brenda mengernyitkan dahi. Dia lepas kacamata hit
Adit terdiam memandangi layar ponselnya.Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil."Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda."Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya."Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan."Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana."Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa ha
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban