Share

BAB 4 Mysterious Epiphany

Laki laki itu kembali menjelajahi kamar miliknya bersama dengan Nisha perlahan dia membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian milik Nisha dadanya kembali menjadi sesak melihat pakaian yang baunya masih menguarkan aroma Nisha disana.

Sesuatu kemudian membuyarkan fokusnya ketika sebuah kotak hitam terjatuh dari atas lemari terdorong dengan rasa penasarannya Hasan membuka kotak itu yang berisi berkas-berkas tentang Nisha namun pandangannya lebih menarik pada rekap rekam medis milik Nisha.

Hasan mulai merenungkan hasil tes dan catatan medis Nisha. Dia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Pada akhirnya, dia menemukan jawaban yang membuatnya semakin terpuruk. Rasa bersalah dan penyesalan kembali membanjiri hatinya.

Saat pandangannya jatuh pada patung Dewa Siwa yang diletakkan di atas meja nakas Nisha, Hasan merasa adanya perasaan marah yang mulai memuncak. Patung itu terlihat begitu tenang, seperti menggambarkan ketenangan yang jauh dari perasaannya saat ini. Tapi tanpa ragu, dia mengumpulkan beberapa pakaian dengan cepat, seakan ingin segera menjauh dari segala kenangan yang terus menghantuinya.

Dengan langkah terburu-buru, dia merapikan barang-barangnya dan segera mengepak beberapa pakaian malam itu juga. Dia memutuskan untuk terbang ke Mumbai, meskipun dia tahu dengan pasti bahwa kota itu hanya akan memicu kenangan-kenangan pahit tentang pertemuan pertamanya dengan Nisha. Namun, dalam momen ini, dia mengabaikan semua itu, terlalu terbebani oleh emosi yang memenuhi pikirannya.Segera, dia meninggalkan rumahnya dan menuju bandara.

Malam itu ketika Sonia baru saja menyelesaikan shiftnya dia kembali lagi mengunjungi kakaknya tak peduli sehebat apapun pertengkaran hebat mereka dia tetap tidak mau membuat Hasan merasa terpuruk sendiri.

Sonia keluar dari mobilnya begitu sampai di depan rumah Hasan dia sudah tidak kaget laggi jika rumah itu sudah terasa sepi semenjak kepergian Nisha.

“Hasan?”panggil Sonia sambil mengetuk daun pintu tersebut beberapa kali.

Tak ada jawaban kembali dia melakukan hal yang sama sambil memutar mutar Grendel pintu rumah tersebut Sonia sedikit tersentak begitu tahu rumahnya tidak terkunci.

Dia masuk begitu saja kemudian pandangannya tertuju pada kamar milik Hasan yang sudah tampak berantakan dengan lemari yang terbuka.

Matanya membulat hatinya sesuatu telah terjadi padanya kemudian dengan cepat menyimpulkan jika seseorang telah berbuat jahat pada kakaknya.

….

Hujan deras langsung menyambar begitu Hasan berada di ruang tunggu. Namun, dia tidak peduli. Dia menahan taksi yang sedang menunggu penumpang, kemudian langsung menyuruh sopirnya membawanya ke suatu tempat.

Hingga akhirnya, dia tiba dengan terburu-buru. Dia membanting pintu taksi tersebut dan memberikan sejumlah uang pada sopir. Sopir itu berteriak, memanggilnya untuk memberikan uang kembaliannya, namun dia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.

"Hei, kau ingin kemana? Terlalu berbahaya untuk naik kesana. Tunggulah setelah badai reda," seru  seseorang yang menjaga gerbang tempat tersebut.

Namun, siapa yang mampu menahan laki-laki yang sedang berduka ini? Hasan begitu saja menyerobot untuk masuk.

Tempat itu begitu jauh. Dia mendongak, menatap tempat yang berada di puncak yang jauh. Dari kejauhan, dia dapat mendengar suara loncengnya berbunyi, ditiup oleh angin. Tangga itu terlihat seperti membela hutan yang lebat.

Jika akalnya sedang mengambil alih, dia tidak akan mau mengambil risiko ini. Tangga-tangganya terbuat dari batuan yang disusun sehingga membentuk tangga. Kini, tangga-tangganya mulai diselimuti oleh lumut-lumut. Hal ini bisa berakibat fatal jika seseorang tidak berhati-hati.

Hasan hanya membawa lampu lentera yang dengan susah payah dia nyalakan di bawah hujan dan angin yang menerpa. Dengan perlahan, dia mulai menapaki tangga-tangga itu. Dia berpegangan erat pada penyangga tangga yang terbuat dari bambu yang sudah mulai dimakan oleh rayap. Tangga ini mulai terguncang ketika dia memegangnya terlalu erat.

Semakin dia mendaki, semakin dia mendekati tempat itu. Suara loncengnya semakin terdengar jelas di telinganya. Namun, tepat saat dia mencoba melangkah lagi, kakinya terpeleset dan lenteranya terjatuh. Dia berpegangan pada akar pohon yang sudah menjalar dekat tangga.

Dia meringis dengan ngeri, menatap turunan yang curam. Tubuhnya bisa saja hancur jika dia tidak berpegangan dengan cepat. Dengan susah payah, dia mengangkat badannya agar bisa naik. Hatinya berteriak, mencemooh pada sesuatu yang sedang menunggu di sana, "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?"

Dalam hati Hasan, ada semangat yang membara yang tak terduga. Matanya memancarkan api perjuangan ketika dia menatap puncak bukit yang hampir tercapai. Dia bisa merasakan denyut adrenalin mengalir dengan deras dalam darahnya, mengingatkannya bahwa saat ini adalah pertempuran antara dirinya dan takdir yang memanggilnya.

Langkahnya naik semakin perlahan, tetapi penuh ketetapan. Meskipun lututnya gemetar dan tangan berpegangan erat pada penyangga bambu yang semakin rapuh, dia tak mundur. Setiap anak tangga yang dia taklukkan, dia rasakan sebagai kemenangan atas ketidaksempurnaannya.

Kian mendekati puncak, suara lonceng semakin keras menggema di telinganya. Angin yang semakin deras berusaha merobohkan tekadnya, tetapi dia tetap berdiri teguh. Dia telah menyatu dengan tekad terdalamnya, mengabaikan segala rintangan dan ketakutan yang mencoba mengepungnya.

Tanpa peringatan, kakinya terpeleset lagi. Namun kali ini, naluri bertahan hidupnya bekerja cepat. Dengan refleks yang tajam, dia meraih tepi batu dengan jari-jarinya, kukunya mencengkeram kuat pada permukaan yang kasar. Napasnya terengah-engah, sementara matanya tetap fokus pada tujuan yang begitu dekat.

Dengan upaya terakhir yang tak terhitung, akhirnya dia berhasil mencapai anak tangga terakhir. Tubuhnya terkulai lelah, tetapi dalam hatinya berkobar kepuasan yang mendalam. Matanya tertuju pada lonceng besar yang berdiri di hadapannya, menjadi simbol pengorbanan dan perjuangannya.

Dengan kekuatan yang tersisa, Hasan meraih tali lonceng dan menariknya dengan sepenuh tenaga. Suara lonceng bergemuruh di seluruh hutan, seolah-olah menyampaikan kemenangan dan tekadnya kepada seluruh alam semesta.

Dengan hati yang penuh dengan rasa sakit dan kemarahan, Hasan menatap Dewa Siwa dengan tatapan tajam. Perasaan yang berkobar dalam dirinya melepaskan ikatan yang selama ini dia sembunyikan. Kemudian dengan suara yang gemetar namun penuh amarah  dengan penuh tuntutan yang sudah dia pendam sebelum datang kesini,"bagaimana mungkin kau bisa membiarkan ini terjadi? Bagaimana mungkin kau bisa merenggut istriku dariku, saat aku sedang berjuang untuk menyelamatkannya?"

“Nisha orang baik bagaimana bisa kau melakukan ini padanya apa yang dia lakukan sampai kau melakukan ini padanya…mengapa haruss dia? mengapa kau tidak timpakan saja padaku?dia begitu mempercayaimu namun yang kau perbuat padanya hanyalah menyiksanya”

Hasan yang awalnya tidak percaya pada hal-hal demikian tentang keberadaan Tuhan menjadikan hal ini adalah usaha terakhirnya meruntuhkan harga dirinya.Dia mencemooh dirinya sendiri yang awalnya tidak pernah percayapada sesuatu yang di Tuhankan semenjak keluarganya di renggut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status