Share

Bab 6 A Little Atmosphere

Malam kembali menjelang namun suasana di daerah itu masih benar-benar sibuk, meski bukan perkataan kehidupan disana tidak pernah berhenti. Para lelaki berkumpul di rumah makan langganan mereka, tempat mereka melepaskan penat sambil menghisap sisha dan meminum chai diatas dipan-dipan yang disiapkan si pemilik rumah makan.

Meski kumuh, daerah itu masih terbilang favorit bagi mereka karena itu merupakan satu-satunya tempat yang memiliki kapasitas besar untuk menampung banyak pelanggan. Kadang hingga hari semakin larut, mereka melanjutkannya dengan bermain judi dengan taruhan seadanya.

“Sepertinya aku akan menambah istri lagi,” celetuk seorang pria yang usianya sudah mendekati setengah abad. Giginya sudah mulai menguning karena sudah tidak terhitung begitu banyak sisha yang dia hisap dari pipanya. Suara tawanya disertai batuk, dengan rambut janggut yang sudah memulai memutih dan bagian tengah kepalanya yang sudah mulai terkikis karena sudah rontok.

Para orang-orang yang ada disana, yang masih saja bisa dibilang teman, walaupun mereka mendekati orang tua ini hanya untuk menjilat beberapa receh darinya. Mereka saling berpandangan seakan mengatakan, saling melempar tanda tanya ‘bukannya dia sudah memiliki 4 istri?’ Salah satunya hanya merespon dengan menegdikkan bahunya saja, tidak mau pusing, toh yang akan memberi nafkah juga bukan mereka, dan selama para istrinya tidak keberatan, juga tidak apa-apa bukan.

“Memangnya mau menikahi siapa lagi? Andakan sudah menikahi semua wanita cantik yang ada disini,” ucapnya sambil tertawa agar orang tua itu tidak tersinggung. Dia berusaha berhati-hati jika masih mau ingin bekerja di kebunnya.

“Aku ingin menikahi anaknya Rajan,” entah mereka hanya menganggap itu hanyalah bualan tuannya karena sudah mabuk, atau hal itu memang benar adanya, tidak ada yang tahu.

“Rajan? Dia tidak punya anak gadis yang dapat mengimbangimu,” celetuk salah satunya.

“Anak tertuanya, jika dirawat hingga besar, kan akan menjadi cantik dan aku tidak mau jika dia sampai menjadi milik orang. Intinya, semua gadis yang ada di desa ini adalah milikku,” kembali pria paruh baya itu menenggak anggurnya.

Sementara itu, di sudut lain tempat itu, di balik dinding-dinding kayu yang sudah mulai rapuh termakan rayap, mendengarkan racauan para pria itu. Entah sudah sejak kapan, namun dia sudah mendengar segalanya, bahkan dia menghapal setiap detail deru nafas orang tersebut.

Ingatannya melayang pada kejadian tadi siang, tepat saat anak itu berkeluh kesah tentang segalanya padanya.

“Benarkah? Lalu bagaimana jika aku memutuskan aku tidak ingin menikah?” mendengar perkataan anak itu, sontak membuat mulut Hasan terkunci. Senyumnya yang sedari tadi merekah, sekarang langsung menjadi pudar.

“Apa maksudmu… Nisha… kau ini masih kecil, mengapa membahas tentang hal ini? Nikmati saja waktumu dengan bermain dengan teman-temanmu, bukankah itu jauh lebih menyenangkan,” ujarnya dengan tawa yang kembali meledak. Namun, gadis kecil itu tidak ikut tertawa seperti biasanya, wajahnya menjadi semakin murung.

Nisha menggeleng pelan, “Masa kanak-kanakku tidak akan lama lagi. Ibu sedang mempersiapkanku untuk siap berumah tangga. Aku akan dinikahkan. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi aku mendengar jelas tentang semuanya di malam itu. Alasannya karena mereka sudah tidak sanggup lagi untuk menghidupi aku dan adikku. Biaya berobat sekarang mahal, Nisham sedang sakit, dan itu benar-benar menyakiti hati orang tuaku. Semenjak ayahku lumpuh karena dicelakai orang saat sedang mengumpulkan sampah, kami tidak bisa lagi berbuat banyak. Tidak ada yang menerimanya lagi sebagai pekerja, hingga orang itu datang dan menawarkan sesuatu… dia…” Nisha tidak melanjutkan kata-katanya karena air matanya telah jatuh mendahului perkataannya.

Tubuhnya bergetar dan sesenggukan, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Getaran yang melanda tubuhnya mengungkapkan betapa dalamnya kesedihan yang dirasakannya. Hasan dengan seketika merasakan dadanya sesak, seolah-olah diremas oleh kekuatan yang tak terlihat. Dalam keadaan yang penuh perhatian, Hasan pelan-pelan menarik Nisha ke dalam pelukannya, berusaha untuk menghiburnya dengan penuh kehati-hatian. Gadis itu kemudian pasrah, dan tangisnya semakin menjadi-jadi saat Hasan memeluknya dengan erat. Dia mengusap-usap lembut pundak gadis itu, memberikan dukungan dan kenyamanan yang dia butuhkan, berusaha menenangkannya hingga tangisnya mereda.

Sementara itu, di kediaman Rajan dan Neha sendiri, mereka seperti orang yang benar-benar kebingungan. Suhu tubuh Nisham meningkat, dan satu-satunya cara yang mereka bisa lakukan hanyalah mengompres tubuh anak itu yang semakin melemah.

Keduanya saling menatap dengan ekspresi cemas dan khawatir. Mereka merasa terjebak dalam situasi yang sulit, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Nisham yang terbaring lemah di tempat tidur, tampak semakin tak berdaya dengan setiap detik yang berlalu.

Rajan berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun dalam hatinya ia merasakan kepanikan yang semakin menguat. Ia merasa terbebani dengan tanggung jawab sebagai seorang ayah, yang harus melindungi dan merawat anaknya. Neha, ibu Nisham, juga tidak kalah gelisah. Ia berusaha mencari cara untuk mengatasi kenaikan suhu tubuh anaknya yang semakin mengkhawatirkan.

Mereka berdua merasa terbatas dalam pengetahuan dan keterampilan mereka dalam menghadapi situasi seperti ini. Namun, mereka tidak akan menyerah begitu saja. Dengan tekad yang kuat, mereka mencoba melakukan yang terbaik untuk membantu Nisham.

Rajan segera mengambil kain bersih dan menyiramkannya dengan air dingin. Ia dengan lembut menempelkan kain basah tersebut di dahi Nisham, berharap bisa menurunkan suhu tubuhnya. Neha juga berusaha membantu dengan mengusap-usap tangan dan kaki Nisham untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.

Namun, meskipun mereka berusaha sekuat tenaga, mereka merasa terbatas dalam upaya mereka. Mereka tidak memiliki peralatan medis yang memadai, dan tidak tahu apa penyebab pasti kenaikan suhu tubuh Nisham. Mereka merasa terisolasi dan tidak tahu harus meminta bantuan dari siapa.

Dalam kebingungan dan kekhawatiran, Rajan dan Neha berharap ada seseorang yang bisa memberikan petunjuk atau bantuan. Mereka berharap ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran mereka. Namun, saat ini, satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah tetap berada di samping Nisham, mencoba yang terbaik untuk merawatnya dan mengurangi penderitaannya.

“Ambilkan adikmu selimut  cepat," perintah Neha pada Nisha dengan nada yang cemas. Tanpa membuang waktu, anak itu segera berlari menuju sudut ruangan tempat mereka menyimpan satu-satunya selimut yang mereka miliki. Selimut itu usang, terbuat dari sisa-sisa kain goni yang dijahit dengan penuh upaya oleh ibunya.

Nisha menyerahkan selimut tersebut pada ibunya, dan dengan cepat tubuh kembarannya yang sedang mengalami menggigil yang hebat langsung ditutupi oleh selimut. Melihat ibu dan ayahnya yang mulai menggosok-gosok masing-masing telapak kaki adiknya itu, Nisha juga mengambil alih di bagian tangan kanan Nisham untuk menggosok telapak tangan sambil berharap rasa menggigil yang hebat yang sedang dialami adiknya itu berhenti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status