Share

Bab 8 Isolation

Setibanya di rumah, Hasan segera meletakkan wadah pakaian basah di atas dipan kemudian  menjemurnya. "Apa yang kau lakukan? Jika kau terlalu banyak bergerak, luka di kakimu akan terkena infeksi," teriak Hasan sambil melihat Nisha membawa kembali baskom yang berisi tumpukan cucian alat makan yang sudah dipakai.

“Paman, aku hanya terluka, bukan lumpuh. Berhentilah bereaksi berlebihan,” kata Nisha. Mendengar hal itu, Hasan hanya menghela nafas dan mendekati Nisha, merebut baskom itu dari tangannya.

“Tunggu di sini, biar aku saja,” ujar Hasan, kemudian menjauh dari gubuk. Nisha hanya menatap punggung Hasan yang pergi menuju sungai untuk membersihkan piring-piring tersebut.

“Aku ikut!” Nisha berlari mengejar Hasan. “Tidak, kau tinggal di sini saja,” ujar Hasan, mencoba mencegahnya.

“Tidak mau! Pokoknya aku ikut-aku ikut!” Nisha menghentakkan kakinya, meskipun kepala Nisha terasa pening karena gerakan tiba-tiba. Hasan memilih mengabaikan dan terus berjalan, dan Nisha terus mengikutinya.

“NISHA, BISAKAH KAU MENDENGARKAN? TOLONGLAH UNTUK SEDIKIT MENURUT,” tanpa sadar, Hasan telah membentak Nisha. Sayangnya, dia tidak menyadarinya dan meninggalkan Nisha begitu saja.

Nisha, yang pertama kali mendengar Hasan berteriak padanya, berdiri mematung, terpaku pada tempatnya. Tak lama kemudian, dia pergi dengan air mata yang berlinang, semakin menjauh dari Hasan.

Gadis itu terduduk di atas dipan sambil sesegukan, mengusap air matanya. Hasan melupakan sepenuhnya kehadiran istri di hadapannya saat ini. Mereka terpaut jauh, terpisah oleh waktu dan kedewasaan yang telah dikenal Hasan selama beberapa tahun ke depan.

Tanpa menyadarinya, Hasan telah menyakiti seorang anak kecil yang selalu percaya bahwa dia selalu berada di pihaknya. Dan orang itu adalah dia.

“Nisha?” panggil Neha, suaranya penuh dengan harapan, membuat Nisha tersentak dari lamunannya. Dengan cepat, Nisha menghapus air matanya, lalu mengangkat kepalanya untuk menatap wajah ibunya. Terlihat jelas bekas-bekas kelelahan dan beban hidup yang terpampang di wajah ibunya.

“Ibu?” balas Nisha, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Matanya masih mencerminkan riuh rendah emosinya.

Pandangan ibunya meluncur ke arah jemuran yang penuh dengan pakaian basah yang baru saja selesai dicuci. Kemudian, pandangannya beralih pada Nisha yang duduk di dipan.

“Kau sudah mengerti, rupanya. Baguslah,” ujar ibunya, meskipun nada acuh tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kelegaannya. Ia seakan telah mempersiapkan diri untuk hal ini.

“Bagaimana Nisham?” tanyanya. Namun, Neha tak segera memberi jawaban. Ia hanya terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela nafas dengan berat. Ia melangkah mendekati Nisha, lalu memegang lembut kedua bahu anaknya.

“Nisha, dengarkan aku… Apa kau menyayangi saudaramu?” suaranya lembut, mengandung kehangatan. Gadis itu hanya mengangguk, ekspresinya polos, namun penuh dengan rasa kasih dan kepedulian. Tentu saja, hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Nisha sangat mencintai Nisham.

Neha kemudian menyentuh dagu Nisha, mendongakkannya agar mata mereka bertatapan. Wajah polos anaknya itu memancarkan kecerahan, bahkan di tengah beratnya situasi.

“Nisha… Tuan Santo menawarkan bantuan. Dia akan membawa Nisham ke rumah sakit. Saudaramu akan mendapatkan pelayanan yang terbaik.” Suaranya penuh dengan harapan, mencoba menemukan titik terang dalam kegelapan yang menghimpit. Bagaimanapun juga, Nisha hanya seorang anak kecil yang berpikir bahwa dunia ini selalu berada di sisinya. Tentu saja, ia merasa sangat senang mendengar bahwa saudaranya akan sembuh.

Nisha tahu bahwa Tuan Santo adalah orang kaya. Mata kecilnya berbinar gembira mendengar kabar itu. "Itu artinya Nisham akan sembuh dan bisa bermain denganku, bukan begitu, Bu? Kapan? Kapan Tuan Santo akan membawanya ke rumah sakit?"

Neha tersenyum getir melihat antusiasme anaknya namun dia hanya berusaha untuk menepisnya lagian anaknya ini akan memiliki hidup yang jauh lebih layak dan itu merupakan bentuk kasih sayangnya.Dia hanya perlu mempersiapkan Nisha lebih baik lagi. "Tidak hanya itu, dia juga akan menjamin hidupmu. Kau selalu menginginkan makan ayam panggang dan memiliki pakaian yang bagus-bagus, bukan?" Ibunya bertanya lagi, ingin memastikan bahwa Nisha benar-benar mendambakan semua itu.

Dengan polosnya, Nisha mengangguk dengan penuh semangat. "Aku sangat ingin itu semua, Bu, tapi sepertinya itu akan memakan waktu lama. Aku berjanji, ketika cita-citaku menjadi seorang guru tercapai, aku akan membelikan semua makanan yang ibu inginkan," ujarnya dengan senyum ceria.

Ibunya tersenyum lembut dan mencoba menjelaskan lebih lanjut, "Tidak, Nak, kau tidak perlu melakukan itu. Bahkan kau tidak perlu bekerja." Mendengar ini, Nisha mengernyitkan keningnya, penasaran.

"Mengapa, Bu?" Tanyanya dengan rasa ingin tahu yang menguat.

"Astaga Nisha, kau ini bodoh sekali! Kita ini orang miskin. Bahkan ayahmu dan aku hanya mampu memberi makan kalian hanya dua kali sehari. Pendidikan hanya untuk orang-orang kaya saja Nisha mengapa kau tidak menyadarinya. Kau harus menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa seperti mereka," Neha meluapkan keputusasaannya dengan kata-kata tajam.

"Lebih baik kau segera mengubur impianmu, karena tidak peduli seberapa lama, itu tidak akan pernah terwujud," bentaknya dengan keras. Nisha hanya bisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, hatinya hancur berkeping-keping.

"Lebih baik kau belajar lebih banyak tentang apa yang dihadapi dalam kehidupan berumah tangga. Kau akan dijodohkan dengan Tuan Santo, dan ingat, jangan pernah membuatku malu dengan membuatnya memulangkanmu padaku," Neha menambahkan dengan nada tegas, mencoba membuat anaknya memahami kenyataan yang keras, sementara hati Nisha terasa seperti remuk redam.

“Aku tidak mau menikah dengannya!” teriak Nisha.

“Nisha! Sejak kapan bicaramu menjadi seperti ini padaku? Sepertinya aku kurang mengajarimu ya, kemari,” Neha yang emosinya yang langsung memuncak tanpa memikirkan apa yang terjadi langsng menjambak anaknya dan menyeretnya ke tanah.

“Ibu, lepaskan, ini sakit,” keluh anak itu, berusaha untuk melepaskan cengkraman ibunya tak ada yang bisa dia lakukan kecuali hanya menggenggam tangan ibunya hanya untuk memohon agar ibunya berhenti menyakitinya.

Namun Neha sudah dibutakan oleh emosinya tidak peduli akan kesakitan yang dialami putrinya pikirannya saat ini hanyalah mengetahui jika Nisha anak yang membangkang dan tidak mau mendengarkan perkataannya.

“Sepertinya aku terlalu memanjakanmu selama ini sampai kau lupa siapa yang  merawatmu,” ujar Neha dengan suara parau,dan ekspresi wajahnya yang mencerminkan emosi dan kekesalan mendalam.Emosi telah mengambil alih pikirannya hingga dia tidak sadar dia sangat menyakiti anaknya saat itu.

Neha menghempaskan Nisha pada bagian belakang dapur pada kandang kosong bekas kambing.

“Selagi kau tidak mengiyakan pernikahan ini jangan harap kau bisa makan” tepat saat itu juga pintu kandang itu di tutup tangis Nisha semakin menjadi.

Kesakitan fisik dari kekerasan yang dilakukan ibunya bersanding dengan luka batin akibat kata-kata pedas yang baru saja didengarnya.Dia di kurung dalam kandang sambil meringkuk memeluk dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status