Acara pernikahan Fania dan Devan sudah selesai tiga jam yang lalu. Banyak sekali teman Fania yang tidak percaya ia menikah secepat ini. Bahkan banyak teman kampusnya yang memuji ketampanan Devan dan membandingkannya dengan Riko—mantan kekasihnya.
Kini Fania dan Devan sudah berada di kamar hotel. Devan bahkan meminta pihak hotel untuk menghias kamarnya.
“Mau aku bantuin?” tanya Devan saat melihat Fania kesusahan membuka resleting baju gaunnya.
“Nggak perlu.” Fania menolak dengan nada ketus. Ia tetap berusaha membuka resleting bajunya sendiri.
Namun, Devan langsung mendekat. Tangannya dengan cepat membuka resleting gaun Fania secara perlahan. Fania tidak memberontak sama sekali. Karena ia memang tidak bisa membuka resleting bajunya.
Jantung Devan berdebar saat melihat punggung Fania yang putih mulus. Meski ia sering melihat punggung wanita terbuka saat berada di club malam.
Namun, kali ini berbeda. Apalagi ia pria normal yang memiliki h****t.
Fania langsung membalikkan badannya saat merasa resleting itu sudah turun ke bawah. Membuat kesadaran Devan kembali meski ia sedikit terkejut.
“Terima kasih,” ucap Fania. Dan ia berlari ke masuk ke dalam kamar mandi.
Devan mengusap wajahnya dengan kasar.
“Apa yang aku pikirkan!” ia menggeleng keras. Menepis pikirannya yang tidak-tidak.
Devan membuka jas dan juga kemeja putihnya. Ia berganti memakai kaos biasa dan celana pendek.
Bahkan Devan kini merebahkan tubuhnya di ranjang hotel yang dihiasi kelopak mawar mewah.
Fania keluar kamar mandi lalu menuju meja cermin untuk mengeringkan rambut. Untung saja ia tidak lupa membawa hair dryer.
Ia menatap ke arah ranjang di mana Devan sedang tertidur pulas. Rasanya ia benar-benar seperti mimpi berada di satu kamar bersama pria asing yang sudah menjadi suaminya.
“Ini nyata ‘kan? Apa gue berhalusinasi ya!” Fania menepuk pipinya saat menatap ke cermin. Lalu ia mencubit pipinya. “Aww ... Sakit! Ini nyata berarti! Astaga konyol sekali pernikahan ini,” ucap Fania sendiri. Ia juga menggeleng pelan merasa tidak percaya.
Saat Fania sudah selesai mengeringkan rambut. Devan terbangun dari tidurnya. Devan menatap Fania yang sedang sibuk memoles wajahnya.
“Kamu sudah mandi?” tanya Devan. Membuat Fania menghentikan riasannya.
Ia memutar tubuhnya ke arah Devan yang masih duduk di ranjang.
“Sudah. Jam tujuh malam. Papah mengajak makan bersama dengan ayahmu. Jadi, lo buruan siap-siap, kalo nggak mau gue tinggal!” ucap Fania membuat Devan mengangguk.
Devan turun dari ranjang lalu mendekat ke arah Fania.
Fania tampak gugup saat Devan kini berdiri di hadapannya.
“Apa kamu serius dengan perjanjian seratus hari itu?” tanya Devan memastikan.
Fania mengangguk cepat. “Seriuslah! Kenapa memangnya? Bukannya lo sudah menyetujui?” kini Fania berbalik tanya.
“Memang alasanmu apa membuat perjanjian seratus hari? Padahal kita menikah secara resmi bukan main-main!” ungkap Devan serius.
“Ada satu hal yang membuat gue menerima lo. Jadi lo jangan kegeeran jadi orang—,” Fania menjeda bicaranya. “Dan satu lagi. Gue sama sekali nggak cinta sama lo! Lo nggak usah berharap lebih dari gue. Karena gue sulit jatuh cinta!” tegas Fania menatap ke arah Devan dengan tajam.
Devan tertawa terbahak-bahak. Membuat Fania semakin kesal. Padahal ia bicara serius.
“Baik, terserah kamu. Aku juga tidak ada perasaan apa pun ke kamu. Jadi kamu juga jangan kepedean aku ajak menikah!” Devan berkata kepada Fania. Ia langsung berjalan menuju kamar mandi.
“Tolong! Perjanjian ini menjadi rahasia kita berdua. Jangan sampai papahku tahu tentang hal ini!” Fania berkata membuat langkah Devan terhenti.
“Oke. Aku akan jaga rahasia ini! Namun, ada satu syarat!”
“Apa?”
“Aku minta jika di depan umum, kamu bisa berperan sebagai istri yang baik, penurut dan penuh kasih sayang!” ucap Devan, lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Fania belum juga sempat menjawab. Namun, pintu kamar mandi sudah tertutup. Fania menutup matanya dengan mengeluarkan napas secara kasar.
“Berperan sebagai istri yang baik?” gumam Fania. Ia menggeleng keras. “Itu sulit bagi gue!”
***
Fania dan Devan kini sudah bersiap-siap menghadiri acara makan malam bersama dengan keluarga.
Fania memakai gaun berwarna hitam selutut dengan hiasan pita putih di pinggang. Rambutnya ia sengaja digerai lalu ia pakaikan bando dengan hiasan permata kecil.
Devan menatap Fania dengan tatapan yang berbeda. Entahlah di matanya Fania memang cantik. Namun, Fania sedikit bar-bar. Membuat ia merasa tertantang untuk memilikinya.
Devan mengulurkan tangannya kepada Fania. Karena ia sudah sampai di restoran yang berada di hotel bintang lima yang mereka tempati.
“Halo, Mantu. Kamu cantik sekali malam ini!” puji Sam kepada Fania saat bersalaman.
“Terima kasih, Om—maksudku, Pah.” Fania yang gugup sampai ia salah menyebut panggilan.
“Tidak masalah.”
Kini Fania bersalaman dengan Alnando, lalu berganti ke Angela.
“Kamu nggak usah senang dulu atas pernikahanmu ini. Aku akan buat kamu menderita—bukan, menghancurkan lebih tepatnya!” ancam Angela yang berbisik di telinga Fania.
Fania bahkan membelalak saat mendengar ancaman ibu tirinya. Namun, ia tidak membalas. Fania mencoba menahan amarahnya. Apalagi di sini ada keluarga dari pihak Devan. Ia tidak ingin mengacaukan hari bahagia Alnando dan juga Sam—mertuanya.
“Wah, pengantin baru sepertinya bahagia sekali!” ucap Angela saat mengurai pelukannya. Bahkan Angela menatap Fania dengan senyuman yang lebar. Membuat Fania muak melihat sikap ibu tirinya yang bermuka dua.
“Bahagia sekali. Ternyata menikah itu enak. Ya ‘kan, Sayang?” Fania berkata sambil mengarah ke arah Devan yang sudah duduk di sebelah Sam.
Devan terkejut saat mendengar panggilan Fania menyebut nama ‘Sayang’.
Namun, Devan hanya membalas anggukan dan senyuman.
Alnando dan Sam yang mendengar mereka berdua tertawa bahagia. Akan tetapi, berbeda dengan Shanum. Ia menatap Fania dengan kebencian.
“Harusnya gue yang bahagia. Tapi, lo merampas kebahagiaan gue. Bahkan lo merampas calon suami gue! Lihat aja Fania, gue akan rebut Devan! Dan pernikahan lo bakalan hancur!” ancam Shanum dalam hati.
Makan malam keluarga berjalan dengan kehangatan. Alnando bahkan memesan hidangan makanan terbaik di hotel bintang lima ini.
“Apa rencanamu setelah wisuda nanti?” tanya Sam mengarah ke arah Fania.
Fania mendongak. Ia menghentikan sendok serta garpu. Lalu menelan terlebih dahulu makanannya. Dan berkata, “Belum kepikiran, Pah,” sahut Fania gugup.
“Harusnya sudah kepikiran dong. Dulu aja Shanum pas mau wisuda ia sudah memikirkan untuk menjadi model. Masa kamu belum kepikiran?” tanya Angela seakan-akan ia membanggakan anak kandungnya.
Fania terdiam. Ia merasa dirinya di permalukan oleh ibu tirinya. Akan tetapi, ia memang belum menemukan tujuan selanjutnya setelah kuliah selesai.
“Kalo belum ada tujuan tidak apa. Toh kamu sudah menjadi istri aku. Mau lanjut karir, silakan. Tidak juga tidak masalah,” timpal Devan membuat Fania terkejut.
Fania tidak menyangka Devan akan membela dirinya di hadapan semua. Angela bahkan membuang muka tidak suka atas pembelaan Devan pada Fania.
“Wah, terima kasih, suamiku!” ucap Fania senang.
Alnando yang mendengar ia tersenyum. Ia merasa bahagia melihat putrinya ternyata sangat di perhatikan oleh Devan. Dugaan hatinya yang merasa putrinya terpaksa menerima penikahan ini. Kini mulai menghilang. Dan ia juga yakin. Devan bisa membahagiakan Fania.
Sam mengangguk senang mendengar ucapan putranya. “Papah, bangga padamu!” ucap Sam seraya menepuk pundak Devan.
Angela dan Shanum pamit untuk ke toilet. Mereka berdua pergi dengan tatapan amarah di wajahnya.
“Mah, aku nggak sudi lihat Fania bahagia seperti sekarang. Harusnya aku yang bahagia saat ini,” decak Shanum mengarah pada Angela.
“Tenang, Sayang.” Angela mencoba menghibur putrinya.
“Aku cemburu, Mah. Sudah sejak lama aku menginginkan Devan. Tapi malah semua kacau karena anak sialan itu!” geram Shanum.
Angela paham dan mengerti apa yang dirasakan putrinya. “Kamu tidak perlu cemas, ya, Sayang. Mamah yakin sebentar lagi Devan akan menjadi milikmu! Karena mamah punya rencana untuk memisahkan mereka berdua!”
Shanum tersenyum mendengarnya. “Apa itu, Mah?”
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena