Fania yang sudah sampai di kampus. Ia sedikit terkejut akan panggilan dari Alnando untuk pulang ke rumah.
Apalagi nada suara Alnando terdengar meninggi. Dan Fania sangat paham jika nada ayahnya seperti itu dipastikan ada masalah di rumah.
Fania sudah menjawab. Namun, karena ia ada pembekalan untuk sidang skripsi. Membuat Fania meminta kepada Alnando untuk datang ke rumah malam nanti.
Kini Fania sudah berada di dalam kelas. Ia membuka laptop untuk memeriksa skripsi yang sudah ia revisi semalam.
“Eh, pengantin baru!” sapa Karina yang baru datang lalu duduk kursi samping Fania.
“Apaan si!” sahut Fania bete karena Karina memanggil sebutan itu.
“Lho memang pengantin baru ‘kan?” ledek Karina lagi.
“Tau ah! Nggak usah nyebut-nyebut panggilan itu.” Fania mencebik.
Karina tertawa. “Gimana rasanya malam pertama enak nggak?” tanya Karina membisik di telinga Fania.
Fania melotot. “Nggak ada malam pertama, Rin. Gue aja tidur terpisah,” ucap Fania santai sambil melihat ke layar monitor.
“Apa?” Karina membelalak. “Serius, Fan. Lho tidur terpisah? Gimana ceritanya kok bisa kaya gitu? Kan kalian sudah menikah?” cecar Karina dengan banyak pertanyaan.
Fania memutar bola matanya. “Rin, lho tahu ‘kan, gue menerima om Devan karena hal lain. Dan asal lo tahu, kita sudah membuat kesepakatan perjanjian pernikahan 100 hari.”
Karina terkejut. “Perjanjian?”
Fania mengangguk.
“Wah, Fan. Parah lo! Pernikahan buat main-main.” Karina menggeleng.
“Gue bukannya main-main, Rin. Hanya saja, gue juga butuh waktu untuk bisa menerima om Devan,” ungkap Fania.
“Kalo lo belum bisa menerima pernikahan ini. Harus lo nggak usah terima.” Karina mempertegas.
“Ya benar si! Harusnya gue tolak saja waktu itu. Tapi mau gimana lagi semua sudah terjadi ‘kan!” Fania mulai menyadari sikapnya terlalu ceroboh mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu.
“Belajar membuka hati mulai sekarang. Harusnya lo bersyukur bisa terlepas dari hubungan toxic lo dengan Riko. Ingat itu!”
“Iya, Rin. Lo benar, akan gue coba!”
Perbincangan Fania dan Karina terhenti karena dosen sudah hadir di dalam kelas. Fania fokus mendengarkan arahan dosen. Meski sebenarnya pikiran Fania memikirkan hal lain. Terutama masalah pernikahannya.
***
Berbeda dengan suasana di tempat lain. Yakni perusahaan Devandra company. Devan sedang menatap bangunan gedung lain dari jendela kaca di ruang kerjanya.
Ia tersenyum mengingat wajah kesal Fania saat ia lancang mencium pipinya. Apalagi saat tadi pagi ia membersihkan bibir Fania. Devan merasakan sensasi hal lain di dalam hatinya.
“Fania ... Kamu bukan hanya cantik. Tapi kamu sudah membuatku menjadi gi—,”
“Pagi, Tuan!” sapa Reihan yang datang membawa beberapa berkas.
Ucapan Devan terhenti oleh suara Reihan yang datang. Ia juga tidak melanjutkan ucapannya.
“Iya, Pagi,” sahut Devan seraya berjalan ke arah kursinya.
Reihan duduk di kursi lalu memberikan dokumen yang ia bawa ke hadapan atasannya.
“Ini berkas yang harus ditanda tangani, Tuan.”
Devan membuka berkas lalu membacanya terlebih dahulu.
“Tuan, maaf kalo saya bertanya lancang. Bukankah sebenarnya yang harus menikah dengan anda itu Shanum. Kenapa malah Fania?”
Pertanyaan Reihan membuat Devan tersenyum. Ia meletakan dokumen di meja. Lalu berkata, “Karena, aku menginginkan Fania.”
Reihan belum paham maksud dari atasannya.
“Anda menyukai Fania?”
Devan mengangguk. “Tepatnya seperti itu.”
Reihan bersyukur jika Devan kini sudah bisa membuka hati untuk wanita lain. Itu hal yang sangat bahagia untuknya. Sudah bertahun-tahun semenjak ia ditinggal oleh mantan kekasihnya menikah. Devan mengalami keterpurukan yang panjang.
Bahkan, ayahnya—Samuel. Sudah berulang kali mengenalkan wanita pada Devan. Akan tetapi, hati Devan seakan-akan tertutup begitu rapat.
“Tapi pernikahan ini tidak seindah yang kamu lihat!” ungkap Devan. Membuat Reihan terkejut.
“Kenapa, Tuan?”
“Karena pernikahan ini terikat perjanjian.”
“Apa? Perjanjian?”
Devan mengangguk.
Akhirnya Devan menceritakan tentang perjanjian yang dibuat oleh Fania. Reihan bahkan tidak percaya, Fania melakukan hal itu. Namun, Reihan bisa menyimpulkan karena Fania memang baru saja putus dari Riko. Reihan tahu hal itu dari Karina—kekasihnya.
***
Hari dengan cepat berlalu. Fania kuliah dari pagi hingga sore. Setelah ia sampai di apartemen Devan. Ia teringat akan janjinya kepada Alnando untuk datang ke rumah.
Fania yang sudah selesai mandi dan berdandan. Ia turun ke bawah menemui pak Aris untuk mengantarkan ke rumah ayahnya.
“Ke rumahku ya, Pak.”
“Baik, Nyonya.”
Tidak lama kemudian. Sekitar 20 menit berkendara. Mobil kini sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Joko membuka pintu gerbang dan mobil hitam masuk lalu berhenti di tempat parkiran khusus tamu.
Fania keluar mobil lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya. Hatinya kini berdebar, ia merasakan hal yang tidak enak. Apalagi ia mendengar suara ayahnya yang meninggi. Membuat pikirannya bertanya-tanya.
Setelah sampai di ruang tengah. Ia disambut oleh tatapan Alnando dengan wajah yang tak biasa.
“Pah?” panggil Fania saat mendekat dan hendak bersalaman. Namun, Alnando mengacuhkan uluran tangan putrinya.
“Apa ini?” Alnando menunjukkan kertas putih di hadapan Fania. “Katakan, Fania!”
Fania membelalak saat melihat surat perjanjian pernikahannya di tangan Alnando. Wajah Fania memerah sekarang.
“Pah, Fania bisa je—,”
“Jelasin apa lagi? Sudah jelas-jelas kamu mempermainkan pernikahanmu. Dengan membuat perjanjian yang konyol seperti ini! Papah kecewa sama kamu, Fania!” bentak Alnando.
“Bagaimana jika mertuamu tahu. Ia pasti sangat kecewa, dan bahkan reputasi papah bakal terancam!” sambung Alnando dengan keras.
“Maafkan, Fania, Pah! Aku—,”
“Jika kamu sebenarnya tidak menginginkan pernikahan ini. Harusnya kamu tolak Fania. Shanum, bahkan sudah merelakan calon suaminya untuk kamu, kamu malah memainkan pernikahan ini. Apa kamu tidak kasihan dengan kakakmu yang rela melepaskan calon suaminya untukmu,” ungkap Angela menyudutkan Fania.
Fania tidak menggubris perkataan Angela. Ia hanya memikirkan Alnando sangat kecewa padanya.
“Fania minta maaf, Pah.” Fania memohon.
Alnando memijat keningnya. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya hancur dan sangat kecewa pada Fania.
“Asal papah tahu, Fania menerima pernikahan ini karena ada hal lain. Dan itu kaitannya dengan istri papah yang selalu papah bela.” Fania menatap tajam ke arah Angela.
“Apa maksudmu, Fania?”
“Istri kesayangan papah itu,” Fania menatap ke arah Angela. “Dia bukan wanita baik-baik. Dia hanya ingin mengincar harta papah.”
“Jangan membual kamu Fania!” hardik Angela tidak terima. “Ini tidak ada kaitannya dengan perjanjian pernikahan yang kamu buat. Itu hanya alasan kamu saja ‘kan?” Angela membela diri.
“Kamu yang membual!” teriak Fania. “Aku punya buktinya.”
“Stop, Fania! Kamu jangan bicara yang tidak-tidak tentang ibumu.”
“Dia bukan Ibuku!” tolak Fania dengan keras. “Pah, Fania membuat perjanjian pernikahan itu karena alasan Fania ingin menyelamatkan perusahaan papah. Dan perjanjian itu Fania buat untuk bisa meyakinkan hati Fania bisa menerima om Devan. Memang sampai detik ini Fania masih belum mencintai om Devan. Tapi, Fania akan mencoba dan Fania lakukan ini semua demi papah,” terang Fania.
“Jangan percaya dengan omongan Fania, Mas. Aku tidak mungkin sejahat itu padamu. Kamu jangan bicara yang tidak-tidak Fania! Kamu boleh membenciku tapi jangan menuduhku!” suara Angela menatap tajam Fania.
“Aku bicara sesuai fakta. Kenapa kamu takut terbongkar?”
“Cukup Fania!” Alnando melayangkan tangannya ke arah Fania. Namun, tangannya dicekal oleh seseorang yang baru datang.
“Jangan pukul istriku!”
Pagi ini sesuai rencana Fania untuk berpindah di kediaman ayahnya. Ia dan Elfina sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Alnando.“Bi Darmi, titip rumah ini, ya,” ucap Fania saat sudah di depan pintu apartemen.“Iya, Nyonya. Hati-hati di jalan,” kata Darmi dengan rasa haru. Sebab, setelah menginap di rumah Alnando. Fania dan Devan akan langsung berpindah ke Paris.“Kalo ada apa-apa atau butuh apa pun. Jangan sungkan hubungi aku atau ke istriku, ya, Bi,” pesan Devan.“Baik, Tuan.”“Kami pamit dulu, Bi Darmi.” Elfina ikut bersuara kali ini.Darmi hanya mengangguk dan tersenyum.Devan mengajak istri dan ibu mertuanya untuk berjalan ke arah lobi apartemen. Sementara di sana pak Aris sudah menunggu sedari tadi.Setelah masuk ke dalam mobil. Pak Aris melajukan mobilnya mengarah ke kediaman Alnando.Sesampainya di rumah Alnando. Mereka langsung di sambut oleh bi Iyas dan pak Joko yang sudah menunggu.“Selamat datang nyonya Elfina, non Fania dan den Devan,” kata Iyas dan Joko secara bersamaa
“Lo, tunggu sini, ya. Ingat! Jangan ke mana-mana!” Fania memberi peringatan kepada Karina. Lalu ia pergi keluar dari toko pelengkapan bayi.Fania menengok kanan kiri. Lalu netranya pun melihat ada seorang satpam mall yang sedang berjalan ke arahnya. Fania langsung mendekati satpam itu, untuk meminta bantuan.“Pak, bisa minta tolong?” tanya Fania langsung.“Iya, Mbak. Apa yang bisa saya bantu?”“Temanku mau lahiran, Pak. Apa Bapak, bisa bantuin saya siapkan mobilnya ke lobi?” titah Fania sopan.“Baik, Mbak. Akan saya bantu. Kalo boleh tahu berapa nomor plat mobilnya?” tanya Satpam itu.“Hayo, Pak. Ikut saya ke dalam, soalnya itu mobil teman saya,” sahut Fania sembari berjalan masuk ke tempat perlengkapan bayi.Satpam itu pun mengekori di belakang Fania yang masuk ke tempat di mana Karina berada. Setelah memberitahu kepada Satpam itu plat mobil Karina. Karina kini dirangkul oleh Fania untuk berjalan ke arah lobi. Untungnya tempat perlengkapan bayi ada di lantai dasar, membuat Fania tida
Setelah kepergian Elfina. Devan langsung menahan istrinya agar tidak memaksa kehendak sang ibu.“Sudah, tidak perlu kamu paksa Ibu agar mau tinggal di rumah Papah. Mungkin, ada hal yang tidak ingin Ibu beri tahu ke kamu, jadi kamu harus menjaga privasi Ibu, ya,” ucap Devan lirih. Berharap jika istrinya akan mengerti.Fania mengangguk pelan. “Iya, Mas. Kamu benar juga.”“Iya, sudah kamu mau ikut bareng aku ke toko atau mau diantar pak Aris?” tanya Devan saat sarapan selesai.“Aku ikut kamu saja, Mas.”Devan tersenyum. “Aku tunggu di bawah,” sahutnya dengan keluar ke arah pintu untuk mengambil mobil di basemen.Fania lebih dulu membereskan meja makan terlebih dahulu sebelum dia keluar. Setelah selesai, ia berjalan ke kamar ibunya untuk berpamitan.“Bu, Fania ke toko, ya,” ucapnya setelah mengetuk pintu.Tidak ada sahutan sama sekali dari kamar ibunya. Membuat hati Fania sedih kali ini. Ia merasa bersalah telah berbicara masalah untuk tinggal di rumah papahnya.Fania berjalan meninggalka
“Pak Devan?” sapa orang itu saat melihat ke arah Devan. Dia bahkan beranjak dari kursinya lalu mengulur tangan kanannya kepada Devan yang sedikit terkejut.“Anton?” panggil Devan singkat. “Kamu sudah di Jakarta berarti?” tanya Devan langsung. Karena setahu Devan, Anton waktu itu pindah ke Kalimantan.“Iya, Pak. Saya pindah ke sini lagi,” jawab Anton sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kerja apa kamu sekarang? Kalau belum kerja, kamu bisa balik ke kantor saya lagi,” ajak Devan. Namun, dengan cepat Anton menggeleng.“Maaf, pak Devan. Bukan saya menolak rezeki, tetapi saya sudah buka usaha sendiri di sini, Pak,” sahut Anton sopan.Devan tersenyum mendengarnya. “Wah, bagus itu. Apa usahamu?”“Warung nasi padang, Pak. Itu yang seberang sana,” unjuk Anton ke warung usahanya dekat minimarket.“Oh, ya, kapan-kapan aku mampir,” ucap Devan. Ia juga bertanya tujuannya ke sini. Lalu Anton pun memberitahu tempat Angkringan yang buka hingga pagi, tempatnya memang tidak jauh dari lokasi s
Seseorang yang datang ke kantor Devan hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari si empu ruangan yang terdengar sinis kepadanya.“Sebelumnya aku mau meminta maaf, karena sudah lancang duduk di sini. Dan tujuan kedatanganku, hanya ingin memberikan ini padamu,” kata orang itu dengan mengeluarkan satu lembar kertas undangan pernikahan ke hadapan Devan.Devan masih terdiam menatap undangan di atas mejanya. “Kau akan menikah?” tanyanya singkat.Alya mengangguk. Memang benar yang datang ke kantor saat ini adalah Alya mantan kekasihnya dulu. Orang yang dulu pernah merencanakan menjebak istrinya di apartemen milik Riko.“Ya, ada seseorang yang melamarku satu bulan yang lalu. Aku kira, tak ada salahnya aku membuka hatiku lagi untuk orang lain. Aku sudah sadar jika kita tak ditakdirkan untuk bersama,” sahut Alya.“Ya, kamu sadar juga,” ucap Devan.Alya hanya tersenyum kecut mendengar jawaban Devan padanya.“Aku minta maaf, jika aku banyak salah. Sepertinya hanya itu saja kedatanganku ke sini,” k
Satu minggu kemudian. Seusai mengikuti sidang seminggu yang lalu, Fania dan Devan seperti memulai kehidupan yang baru. Meski sebenarnya, Beni masih menjadi buronan, tetapi Devan sudah menyerahkan semua keputusan kepada pak Gunawan selaku kepala kepolisian Jakarta Selatan.Elfina sementara masih tinggal di apartemen Fania untuk sementara waktu. Dan pagi ini seperti yang sudah dijanjikan oleh Fania kepada ibu dan ibu mertuanya yaitu mengajak ke toko bunga serta keliling Jakarta. Membuat Fania dan Elfina kini dalam perjalanan menjemput Berliana di kediaman Sam.Setelah sampai, ternyata Berliana sudah menunggu di ruang tamu bersama dengan Sam yang sedang menikmati secangkir teh dengan membaca koran surat kabar.“Hai, Mami!” sapa Fania dengan mendekat ke arah ruang tamu. Lalu bersalaman dengan Sam dan juga Berliana yang kini berdiri.“Hai, Sayang. Kita langsung jalan atau kalian mau mampir di sini dulu?” tanya Berliana setelah bersalaman dengan Elfina.“Langsung jalan saja, ya, Mi. Karena