Share

Bab 9. Tidak Diakui Anak

Devan datang ke rumah mertuanya dengan tergesa-gesa. Ia dikabari oleh Aris, saat Aris hendak memberikan tas Fania yang tertinggal di mobil. Ia tidak sengaja melihat secara langsung bagaimana Fania disudutkan dan juga dimarahi oleh Alnando. Meskipun Aris tidak paham permasalahannya apa.

Namun, ia merasa kasihan kepada Fania. Membuat ia langsung mengabari bosnya untuk datang kemari.

Dan benar saja ketika Devan sudah sampai di rumah mertuanya. Ia melihat secara langsung bagaimana sikap Alnando yang akan melayangkan tangan kanannya ke arah wajah istrinya.

“Jangan pukul istriku!” suara Devan membuyarkan semua dan Fania bahkan terkejut akan kehadiran Devan di sini.

“Seperti inikah perlakuan anda sebagai seorang ayah? Saya tidak menduga jika anda sebrutal ini terhadap putrimu!” ucap Devan menatap mertuanya secara tajam.

“Dev! Fania sudah mempermainkan pernikahan dengan membuat perjanjian yang konyol! Sebagai seorang ayah, saya kecewa!” ujar Alnando. Ia kini menatap tajam ke arah Devan. “Dan kamu Devan kenapa kamu mau saja terima hal konyol yang Fania buat?”

“Maaf, Pah. Ini semua salah Fania. Om Devan hanya menuruti kemauan Fania. Jangan salahkan om Devan!” sesal Fania pada Alnando.

Devan menatap Fania dengan iba. Hatinya ikut sakit melihat Fania menangis seperti ini.

“Papah kecewa Fania! Dan papah berharap kamu jangan pernah ke rumah ini lagi. Aku tidak mau mengakui kamu sebagai anakku lagi!” Alnando berkata tegas. Membuat Fania membelalak tak percaya.

Hatinya hancur seketika mendengar kalimat dari mulut ayahnya kali ini. Ia bahkan tidak percaya, perjanjian yang ia buat sendiri. Sekarang menjadi boomerang dihidupnya.

Devan geram melihat perlakuan Alnando kepada putrinya.

“Pah ... Tolong maafin Fania. Fania mengaku salah, Pah. Jangan berkata seperti itu, Pah. Fania hanya punya Papah!” Fania memohon kembali bahkan sampai berlutut di hadapan Alnando. Namun, sepertinya Alnando sudah benar-benar kecewa. Ia bahkan mengacuhkan Fania.

Devan langsung menarik Fania untuk berdiri. Ia kesal pada Alnando yang bersikap acuh pada Fania. Padahal Fania sudah menyesali semuanya. Fania bahkan sampai berlutut di hadapan Alnando. Namun, Alnando tidak menggubris sama sekali.

Angela yang melihat sikap Alnando acuh pada putri kandungnya ia merasa senang. Alnando benar-benar termakan omongannya pagi tadi saat Alnando tahu surat perjanjian itu. Dan benar saja, Alnando mau mengikuti hasutan yang ia ucapkan padanya.

Setelah Fania berdiri dibantu oleh Devan. Devan kini maju mendekat ke arah Alnando. Tangan kanan Devan seketika meremas kertas itu. Dan hal yang dilakukan Devan membuat semua orang tercengang. Terutama Fania.

“Aku kira anda seorang laki-laki penyayang dan lembut. Namun, dugaanku salah. Kenapa anda tidak bicarakan secara baik-baik saja pada putrimu! Apa selama ini perlakuan anda pada Fania seperti ini!” ucap Devan membuat Alnando bungkam.

“Padahal anda membaca, jika aku saja tidak mempermasalahkan perjanjian itu! Aku bahkan menandatangani, berarti sudah jelas aku terima dengan senang hati! Tapi kenapa anda malah  begini! Aku kecewa dengan sikap anda yang kasar! Dan perjanjian ini,” Devan mengulurkan kertas ke hadapan Alnando. “Perjanjian Ini tidak ada!” sambung Devan tegas dengan membuang secara asal ke lantai.

Devan menarik tangan Fania keluar dari rumah orang tuanya. Fania menatap Alnando dengan perasaan bersalah.

Maafkan Fania, Pah. Sudah membuat papah kecewa!” batin Fania saat berjalan keluar. Sedangkan Alnando, ia tetap bungkam tanpa menahan Fania sedikit pun. Dan hal itu membuat hati Fania sangat sedih.

Devan dan Fania, mereka bertemu dengan Shanum saat berjalan menuju pintu utama. Shanum memang baru sampai di rumahnya. Ia baru saja selesai melakukan pemotretan.

Shanum menatap Fania tak biasa. Bahkan Shanum sudah menduga jika di dalam rumahnya sudah terjadi badai besar. Karena ia melihat wajah Fania yang basah oleh air mata.

***

Devan membukakan pintu mobil dan menyuruh Fania masuk. Fania menurut saja. Devan berjalan memutar mobil lalu duduk di kursi kemudi setelah membuka pintu. Pak Aris sudah pulang lebih dulu saat Devan sampai di kediaman mertuanya.

Di perjalanan, Fania sedari tadi terdiam dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Ia menatap ke arah kaca mobil, menatap jalanan yang gelap.

Devan yang melihat ia ikut prihatin. Devan mengulurkan tisu pada istrinya. Fania yang melamun kini terkejut akan sikap Devan padanya. Fania menatap Devan, lalu Devan mengangguk mengisyaratkan untuk menerima tisu pemberiannya.

“Makasih.” Fania dengan cepat mengelap pipinya dengan tisu. Setelah pipinya kering. Ia memejamkan matanya sebentar lalu menengok ke arah suaminya.

“Perjanjian sudah terbongkar. Sekarang terserah lo,  jika mau menyudahi. Gue sudah siap!” ucap Fania lirih.

Devan melolot. “Apa kamu bilang? Menyudahi?”

“Fania mengangguk. “Perjanjian itu sudah tidak ada, dan otomatis perjanjian 100 hari buat apa kita teruskan!” ujar Fania.

“Tidak, Fania. Aku tidak akan menceraikanmu!”

“Kenapa?” tanya Fania penasaran.

“Karena aku ... aku menyukaimu.”

Deg.

Fania syok. Ia bahkan kini tertawa. “Nggak usah bercanda, ih! Nggak lucu,” ujar Fania.

“Aku serius Fania.” Devan menghentikan mobilnya di bahu jalan yang sepi.

Devan menengok ke samping kemudi. Fania kaget mobil berhenti begitu saja.

“Kenapa berhenti?” tanya Fania.

“Fania ....,” panggil Devan lirih. Fania menengok ke arah Devan lalu mengatur duduknya biar enakkan.

“Ya. Ada apa? Yang lo bilang suka ke gue, itu bercanda ‘kan?” Fania bertanya kembali. Dan Devan langsung menggeleng.

Hati Fania seketika tidak karuan. Ungkapan dari Devan kepadanya membuat hatinya resah.

“Apa alasanmu menyukaiku? Sejak kapan?” cecar Fania.

Devan hanya tersenyum. “Itu rahasia.”

Fania mencebik.

“Jangan cemberut, dong! Cantikmu jadi luntur nanti,” ledek Devan.

“Udah, hayo kita jalan lagi.” Fania mengalihkan pembicaraan.

Devan mengangguk. Namun, sebelum ia menyalakan mobilnya kembali. Devan menatap ke arah Fania. Lalu dengan pelan ia mendekat ke arah wajahnya.

Fania terdiam, dia bahkan tidak menolak sama sekali saat bibir Devan kini menempel di bibirnya.

Devan tersenyum melihat Fania tidak menolak, dengan cepat ia membukakan bibirnya. Hingga akhirnya ia berhasil melumat bibir Fania yang terasa manis.

Devan memperdalam ciumannya. Bahkan Fania ikut membalas. Membuat Devan semakin bersemangat. Bibir Fania benar-benar membuat Devan menjadi candu.

Devan melepaskan pautan bibirnya. Ia membelai wajah Fania lalu berkata, “Terima kasih, istriku!”

Fania tersipu. Devan memperlakukan Fania dengan lembut bahkan dari cara berciuman saja sangat berbeda saat ia berciuman bersama Riko dahulu.

“Kamu sangat cantik!” puji Devan.

“Udah nyalakan mobilnya!” titah Fania.

Devan akhirnya mengangguk. Ia menyalakan mobil. Lalu mobil melaju meninggalkan tempat di mana ia dan Fania berciuman untuk yang pertama kali.

Hampir 20 menit perjalanan. Mobil akhirnya sampai di parkiran apartemen. Devan dan Fania berjalan menuju pintu nomer 24.

Setelah pintu di buka. Fania yang hendak masuk ke dalam. Tangannya dicegah oleh Devan. Mau tidak mau Fania menjadi membalikkan badan.

“Ada apa lagi?”

“Akan aku antar ke kamar!” Devan dengan cepat membopong tubuh Fania ke dalam dekapannya.

Fania sampai kaget akan tindakan Devan padanya. Setelah sampai di kamar. Devan menaruh tubuh Fania dengan pelan di atas Ranjang miliknya itu.

Tanpa permisi. Devan kembali melumatkan bibirnya ke bibir Fania. Fania bahkan dengan berani melingkarkan tangannya ke leher Devan.

“Aku mencintaimu!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dewi Oentari
bagus cerita y ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status