Bab 4
Malam semakin merangkak naik, sementara Dokter Adrian tadi langsung pamit pulang dan menyisakanLastri sendiri. Lastri melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan sudah pukul satu malam. Entah Kenapa, ia tak kunjung bisa tidur hanya asik bergulang-guling kesana kemari.Diraihnya benda pipih di atas nakas. Sambil menunggu kantuk datang, Lastri memutuskan untuk berselancar di sosial media. Entah sejak kapan ia mulai tertidur, hingga tiba-tiba Terdengar suara cekikikan yang berasal dari luar kamarnya berhasil membuat Lastri terbangun. Dengan pelan, Lastri melangkah mendekati pintu dan keluar dari kamarnya untuk memeriksa. Baru saja Lastri membuka pintu, terlihat sebuah bayangan di ruang tamu. Seperti seorang perempuan yang tengah menimang bayi sambil berjalan wira-wiri. Kakinya berjalan mengendap-endap mendekati sosok tersebut. Untuk sesaat, tubuh Lastri terpaku di antara sekat lorong rumah dan ruang tamu. Sosok itu bertelanjang kaki dan berdiri membelakangi Lastri. Namun saat Lastri mengamatinya, sosok tersebut berhenti bergerak lalu membungkuk perlahan seraya menurunkan bayi yang ada di gendongannya ke atas lantai. Belum sempat Lastri menyambutnya, tiba-tiba sosok itu lenyap. Hilang begitu saja meninggalkan bau bangkai busuk bercampur anyir yang membuat perut Lastri terasa seperti di aduk-aduk. Tanpa melihat dengan seksama, Lastri meraih bayi yang di tinggalkan di atas lantai dan membawanya kedalam dekapan. Alangkah terkejutnya saat mendapati ternyata bayi yang kini ada di gendongannya tak memiliki wajah alias rata. Sontak Lastri melempar bayi itu begitu saja, tak dinyana ternyata sosok hantu perempuan itu kembali lagi. Ternyata sosok itu adalah Karisma. Dengan wajah remuk ia menyeringai ke arah Lastri lalu meraih sang bayi dan kembali lenyap tak berbekas. Seketika tubuh Lastri lunglai, tulang persendiannya bagai di lolosi satu persatu. Badan Lastri ambruk hingga tak sadarkan diri. "****"Matahari pagi menelusup masuk melalui celah jendela. Bias cahayanya menerpa wajah Lastri yang sejak malam tergeletak di ruang tamu. Membuat ia memicingkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. "Ternyata udah pagi rupanya," ujar Lastri sambil menyandarkan punggunnya pada tembok. Seketika ia mengingat kembali kejadian tadi malam dimana sosok Karisma mendatanginya hingga sebanyak dua kali dalam satu malam. "Sebenarnya ada apa? Kenapa hantu Karisma terus saja menerorku? Gak di dalam mimpi gak di dunia nyata. Sama-sama menyeramkan!' ucap Lastri bergidih ngeri. "Apa aku kerumah Mbah Bejo aja, ya. Siapa tau dia bisa menolong untuk menghentikan teror hantu Karisma," ujar Lastri bermonolog. Sementara itu di tempat lain, Dokter Adrian duduk terpekur di ruang prakteknya. Ia masih terngiang-ngiang akan perkataan Lastri soal Karisma. Ia mulai berfikir, apa mungkin Karisma yang dimaksud oleh Lastri sama dengan Karisma yang ia kenal? Sejujurnya, Dokter Adrian ingin menanyakan hal itu lebih jauh kepada Lastri. Namun, ia merasa itu kurang sopan. Bagaimanapun ia dan Lastri belum begitu lama saling mengenal, takutnya Lastri merasa tidak nyaman dan mengira yang bukan-bukan tentang dirinya. "Kamu dimana sih, Ris?" ujar Dokter Adrian sendu. Diusapnya sebuah bingkai foto seorang gadis manis nan ayu tengah tersenyum memperlihatnya dua lesung pipi di kiri dan kanan. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, matanya begitu teduh membuat siapa saja yang memandang pasti akan terpesona. Kulit putih bersih bak pualam, menandakan betapa cantiknya ia. Tok ... Tok ... Tok!"Dokter Adrian, apa anda di dalam?!"Sebuah ketukan pada pintu membuyarkan lamunan Dokter Adrian, di taruhnya kembali bingkai itu di atas meja kerjanya. Lalu memnyuruh sang empunya suara untuk masuk"Ada apa, Sus?" Kini Suster Neni sudah berada di hadapan Dokter Adrian."Ada yang ingin bertemu dengan dokter," "Siapa? Pasien?" tanya Dokter Adrian yang merasa aneh, pasalnya ia tahu jika sekarang belum saatnya jam praktek buka. "Bu--bukan, Dok. Ta--tapi ...." belum sempat Suster Neni melanjutkan kalimatnya, seorang wanita dengan mengenakan pakaian kurang bahan menerobos masuk begitu saja masuk kedalam ruangan Dokter Adrian."Karina?!" Mata Dokter Adrian seketika terbelalak sesaat, lalu raut wajahnya berubah bete. "Ngapain kamu kesini?" lanjut Dokter Adrian bertanya kepada perempuan yang tiba-tiba masuk bernama Karina. "Emangnya aku salah nyamperin calon suamiku sendiri?" ucapnya dengan nada manja lalu berjalan mendekati Dokter Adrian. Suster Neni yang mengerti akan situasi, seketika pamit undur diri lalu cepat-cepat keluar dari ruangan sang dokter. Kini tinggalah mereka berdua saja. Mendapati kesempatan emas, Karina tak ingin menyia-nyiakannya. Dia lalu memutar badan dan duduk dipangkuan Dokter Adrian. "Tolong, jangan seperti ini. Ini klinik, bukan area me5um!" bentak Dokter Adrian yang seketika bangkit membuat tubuh Karina tersungkur ke lantai.Karina menatap calon suaminya itu berang, giginya terdengar bergemeletuk menandakan jika emosinya mulai tersulut. Dokter Adrian yang tanggap akan tatapan sinis Karina, seketika berujar. "Maaf, bukan maksudku untuk bertindak kasar padamu. Aku hanya sedang ingin sendiri. Tolong, keluar lah," usir Dokter Adrian halus.Karina yang mendapati perlakuan demikian dari orang yang dicintai sepenuh hatinya pun murka. Ia lantas berdiri dan meraih figura diatas meja kerja Dokter Adrian lalu membantingnya ke lantai. Benda itupun pecah berkeping-keping. "Itu kan yang membuatmu tak pernah bisa untuk mencintaiku, heh?! Dia yang menghancurkan hubungan kita. Dia yang menciptakan jurang begitu dalam antara kau dan aku, semua karna dia! Mau sampai kapan kau terus saja berharapa padanya, Adrian Al Fahri? Sampai kapan?!" ucap Karina murka, suaranya menggelegar bagaikan petir yang menyambar. Emosi nya sudah berada di puncak tertinggi. "Lihat, apa yang akan aku lakukan pada foto ini!"Karina mengambil korek didalam tas selempangnya, lalu tangannya terulur meraih selembar foto yang telah terpisah dari rangkanya lalu membakarnya di depan Adrian.Api seketika melahap foto itu. Adrian yang baru menyadarinya langsung menyambar hingga benda itu jatuh ke lantai sedetik kemudian ia berusaha untuk memadamkan apinya dengan cara menginjak-injak. "Kamu sudah gila, Karina. Gila!" pekik Adrian tepat di depan muka Karina. "Ya, aku memang sudah gila! Dan Itu semua karenamu," pekik Karina tak mau kalah. Krumpyang!!!Tiba-tiba sebuah vas bunga besar yang berada pojok ruangan terjatuh dan pecah padahal tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Keduanya menoleh secara bersamaan, seketika bola mata Karina melotot seperti hendak keluar dari sarangnya. Ia melihat sesosok perempuan dengan gaun berwarna putih, dengan rambut acak-acakan, seutas tali telihat menjerat lehernya yang kini tengah menatap Karina penuh dendam. "Gak, gak mungkin. Elo udah mati. Pergi! Jangan terus-terusan ganggu hidup gue, pergi!" teriak Karina histeris. Kedua tangannya ia tangkupkan di wajah. Sementara Adrian menatapnya bingung. "Ada apa, Rin?" Karina tetap tak mau menjawab, ia terus saja mengusir sosok yang tak bisa Adrian lihat. "Karina, hei. Tenanglah, ada apa, hem?" Perlahan Karina melepaskan tangannya dari wajah. Dengan takut-takut ia mencoba mengintip dimana sosok menyeramkan tadi berada. Namun anehnya sosok itu kini menghilang, raib entah kemana.Karina celingukan kesana kemari mencari sosok tersebut. Setelah dipastikan tak ada. Ia pun kini bisa bernapas lega. Berbeda dengan Adrian yang justru malah kebingungan menyaksikan tingkah laku Karina yang menurutnya sedikit aneh. "Kamu belum menjawab pertanyaanku, Rin. Ada apa ini sebenarnya?" Adrian menatap Karina serius, ia benar-benar ingin Karina menjawab semuanya dengan jujur."Gak ada apa-apa, kok, Sayang," jawab Karina berbohong. "Yakin?" tekan Adrian. "I--iya, lah. Masa aku bohong, dah lah aku mau pulang aja. Kamu bikin aku bete!" ketus Karina yang kemudian pergi dengan tergesa-gesa. Adrian memandang kepergian tunangannya itu dengan tatapan penuh curiga. -----Kini Karina sudah berada di dalam mobilnya. Tubuhnya masih terasa gemetar akibat kemunculan mahluk yang ahir-ahir ini gencar menerornya."Sial, gue harus ke tempat Mbah Bejo lagi, nih. Buat ngusir itu 53tan biar gak neror gue mulu. Dasar gak tau di untung, udah m4ti aja hantunya masih aja ngerepotin gue!" umpatnya kesal.Bab 5Flash back. *Asal mula kerajaan pulung gantung*Hujan lebat disertai guntur dan angin kencang seolah-olah menyambut kehadiran tiga bayi perempuan dari keluarga Kuncoro melihat dunia.Namun, karena keluarga Kuncoro penganut ilmu kejawen yang sangat kental, ia pun menyuruh untuk memisahkan ketiga putrinya itu. Karena menurut mitos, jika bayi lahir kembar tiga perempuan itu dinamakan "gotong mayit". Selain itu juga sebenarnya keluarga Kuncoro telah melakukan perjanjian terkutuk dengan bangsa lelembut guna mendapatkan kekayaan. Akhirnya, malam itu juga Pak Kuncoro menyuruh ajudan sekaligus orang kepercayaannya bernama Karsa untuk mengungsikan salah satu putrinya di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari kediaman keluarga Kuncoro. Ia juga menyuruh salah satu Asisten rumah tanganya bernama Mbok Asih yang tak lain adalah istri dari Karsa untuk ikut menemani dan juga merawat putrinya tersebut disana
Bag 6Pak Karsa tidak bisa berlama-lama di Jogja. Setelah ia mengantarkan istri dan juga bayi majikannya, ia langsung kembali lagi ke rumah Keluarga Kuncoro. Waktu sudah menjelang dini hari ketika Pak Karsa sampai di Desa Wingit. Mobil yang ia kendarai mulai memasuki gapura desa. Pak karsa melihat warga berjalan berbondong-bondong ke arah Barat. Laju mobilnya sengaja ia pelankan dan kacanya sedikit dibuka. "Ayo kita usir mereka!" terdengar orasi dari beberapa warga yang terlihat memimpin barisan paling belakang. 'Usir? Siapa yang akan mereka usir?' ujar Pak Karsa membatin namun sungguh ia tak berani untuk bertanya. Semakin Pak Karsa melajukan mobilnya semakin terlihat panjang barisan para warga. Jumlah mereka semakin banyak, hingga sampai pada ujung depan. Alangkah terkejutnya, ternyata mereka menuju ke sebuah rumah mewah bercat putih dengan temboknya yang menjulang tinggi, terlihat kontras dibandingkan dengan
Bab 7Pak karsa beserta rombongan pergi meninggalkan desa. Meskipun jujur hatinya mereka merasa tak tenang karena memikirkan kelanjutan nasib Juragan Kuncoro. Semua yang ada di dalam mobil itu diam membisu, hanya terdengar suara sesenggukan dari Bu Wening yang terus memikirkan suaminya. Tiga jam telah berlalu, mobil yang mereka tumpangi kini melewati jalur yang berkelok-kelok dan menanjak. Semakin melaju, mobil yang di kemudikan oleh Pak Karsa semakin masuk ke dalam hutan belantara.Tujuan mereka tentu saja rumah yang kemarin sempat Mbok Asih dan Pak Karsa datangi. Karena hanya rumah itulah satu-satunya rumah tersisa yang di miliki oleh Keluarga Kuncoro, disamping itu juga tak akan ada yang tahu letak rumah tersebut terkecuali Pak Karsa, Mbok Asih dan juga Juragan Kuncoro itu sendiri. Awalnya, jalan yang mereka lewati berupa cor-coran, namun semakin masuk kedalam jalur itu semakin sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja.
Bab 8Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, manun Pak Karsa masih belum bisa memejamkan matanya. Entah kenapa perasaannya begitu gelisah memikirkan majikan laki-lakinya. Pak Karsa memutuskan keluar dari kamarnya untuk sekedar merokok di depan teras. Selain itu juga untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang datang, Juragan Kuncoro misalnya. Setelah sampai di teras rumah, ia duduk sambil memandangi area sekitar yang tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu dari balik pohon. Seperti siluet seseorang yang tengah mengintai. Pak Karsa yang menyadari itu langsung berteriak."Sopo ndok kono? Metuo, ojo dadi pengecut!" { Siapa disitu? Keluarlah, jangan jadi pengecut! }Lalu sosok itu pun melesat dengan kecepatan kilat, dalam sekejap saja. Sosok tersebut kini sudah berada persis di hadapannya. "Mbah Bejo?" gumam Pak Karsa lirih."Iyo, Ngger. Iki aku, Bejo. Hehehe ...," ucapn
Bab 9Ditengah pekatnya malam, Lastri dan Nunik berlari tunggang langgang. Mereka menyusuri hutan jati yang gelap gulita. Beruntung tengah padang bulan, cukup membantu mereka yang sedikit kesulitan melihat jalan. Bayi bernama Lastri itupun sangat anteng dalam gendongan Resti."Sek, Res. Nafasku koyok wes arak kendat iki," kata Nunik ngos-ngosan. { sebentar, Res. nafasku sudah seperti mau putus ini rasanya.}"Lah, mbok kiro gor awakmu thok. Aku loh iyo, podo," sahut Resti tak kalah ngos-ngosan dari Nunik. { Emangnya kamu pikir cuma kamu sendiri, aku juga.}"Seandainya awak'e dewe nduwe ilmu ngilang, beuh sakti tenan yo," ujar Nunik berkelakar.{ Coba aja kalau kita punya ilmu menghilang, pasti enak itu.}Bisa-bisanya di saat tengah genting begini, Nunik masih saja berkelakar. Anak itu memang ajaib."Ho'oh.""Tapi, Res. Nek tenan diijabah Ambek gusti Allah. Awakmu pengen ngilang ndok ndi?"
Bab 10Lastri terbangun dengan nafas ngos-ngosan dan pakaian yang basah kuyup akibat keringat membanjiri tubuhnya. "Keluarga Kuncoro?" gumam Lastri lirih. "Apa yang dimaksud dalam mimpi itu adalah Resti Ibuku? Lalu, kenapa selama ini ibuk ndak pernah bilang apa-apa sama aku?" Lastri bertanya pasa dirinya sendiri."Aku harus telepon ibu sekarang juga," imbuh nya.Cepat-cepat ia menyambar gawai lalu menekan nomor ibunya. Terdengar bunyi nada sambung, tak butuh waktu lama. Telepon pun tersambung. "Hallo, Assalamu'alaikum!" seru suara di seberang telefon yang tak lain adalah Resti. "Walaikum salam, Bu. Gimana kabare, sehat?" tanya Lastri berbasa-basi."Alhamdulilah, sehat, Nduk. Kalau kamu sendiri gimana kabare?" jawab dan tanya Resti terdengar semringah. "Alhamdulilah, Lastri baik, Bu," timpal Lastri. "Bu, Lastri boleh nanya ndak?" imbuhnya."Nanya apa, Nduk? Ibu jadi deg-degan
Bab 11Lastri yang terlihat sudah tak sabar, berkali-kali memanggil-manggil sang ibu di ujung telefon. "Bu, kok suwi tenan tho?"{Bu, kok lama banget?}Lalu terdengar suara Resti menyahut."Sek, Nduk. Iki lho, wes ketemu!"{Sebentar, Nak. Ini lho, sudah ketemu!}"Piye, Bu? Opo onok alamate seng mbok simpen ndok almarhum bapak?" cecar Lastri.{Gimana, Bu? Apa ada alamatnya yang disimpan oleh almarhum bapak?}"Alhamdulilah, eneng, Nduk! Alamate ndok Kota Gede Yogyakarta. Awakmu sak ini ijeh ndok Jogja, tho?" {Alhamdulilah, ada, Nak! Alamatnya ada di daerah Kota Gede Yogyakarta. Kamu sekarang masih tinggal di jogja, kan?}"Injeh, Bu. Tapi sak niki Lastri takseh teng Gunung Kidul. Nek ajeng teng alamat niku, butuh waktu sak jam lewih," ujar Lastri.{Iya, Bu. Tapi sekarang Lastri masih ada di Gunung Kidul. Kalau mau ke alamat itu, butuh waktu satu jam lebih.}"Ndak
Bab 12Mobil yang ditumpangi oleh Dokter Adrian dan Lastri melaju membelah jalanan. Pikiran Lastri terus melanglang buana memikirkan nasib sang adik dan mbaknya. "Las ...," suara Dokter Adrian seketika membuyarkan lamunan Lastri. Membuat gadis itu sedikit tersentak. "Maaf, bikin kamu kaget, ya? Sedari tadi aku perhatikan kamu melamun terus, kenapa?" tanya Dokter Adrian.Lastri menunduk dalam. Ia terus saja memainkan jari jemarinya yang ada di pangkuan saat ini."Bicaralah, siapa tau aku punya solusinya," sambung sang dokter. Lastri mendongakkan wajahnya, kini ia beralih menatap wajah laki-laki yang ada di sampingnya saat ini. 'Apa sebaiknya aku cerita aja sama Dokter Adrian, ya?' Lastri bertanya dalam hati. "Kenapa? Kalau kamu gak mau cerita, aku juga gak akan maksa, kok," ujar dokter tampan itu seraya tersenyum."Dok ...," ucap Lastri tercekat. "Ya, kalau memang tak siap tak apa. Us