Share

Bab 3

Bag 3

Pov Author

🌻 flash back, beberapa hari sebelum kepulangan Lastri.

Mbok Darsih adalah pemilik warung angkringan yang berada di samping pos kamling ujung jalan menuju ke arah rumah Lastri. Sedang rumah Mbok Darsih sendiri berjarak tiga rumah dari rumah Almarhumah Karisma atau dalam kata lain mereka ini bertetangga. 

Semasa hidupnya, Karisma merupakan salah satu langganan setianya. Setelah acara tahlilan yang di gelar di rumah Almarhumah yang dilaksanakan sehabis isya itu, seperti biasa ia akan membuka lapaknya guna mencari nafkah. Maklum, Mbok Darsih ini seorang janda, sementara ia harus mencukupi kebutuhan kedua anaknya yang masih sekolah. Sementara suami Mbok Darsih sudah lama meninggal juga di Karenakan gantung diri. 

Malam ini ia merasakan suasana yang lain. Jika biasanya, tak berselang lama ia membuka lapak. Para bapak-bapak yang biasanya berkumpul di pos kampling akan bermunculan satu persatu lalu mereka mengobrol bersama sambil memesan makanan di angkringannya. Akan tetapi, lain hal nya dengan malam ini. Kondisi desanya sangat sepi tak seperti biasanya. 

Ia hanya duduk sendiri sembari melihat jalanan yang terlihat kosong melompong. Entah kenapa, firasatnya tiba-tiba menjadi tidak enak.

Sejenak ia bersfikir, mungkin memang tidak seharusnya malam ini membuka lapak. Mengingat tadi pagi baru saja terjadi aksi gantung diri, di tambah lagi pelakunya dengar-dengar tengah hamil tiga bulan.

Meskipun aksi gantung diri ini bukan untuk yang pertama kali terjadi. Namun, apa yang menimpa Karisma, tetangganya itu merupakan pengecualian. Konon katanya, jika wanita yang sedang hamil lalu meninggal terlebih lagi karena aksi bunuh diri. Maka arwahnya akan bergentayangan. Membayangkan hal itu membuat Mbok Darsih seketika bergidig ngeri. 

Benar saja, setelah beberapa saat merasakan hati dan pikirannya tak tenang. Kini ia mencium aroma melati dan kembang kantil menyeruak kedalam indra penciumannya. Awalnya bau itu tidak begitu menyengat hingga lama kelamaan berubah menjadi bau busuk dan membuatnya mual. 

Sambil menahan gejolak di dalam perut yang meronta-ronta meminta untuk di keluarkan, Mbok Darsih celingukan kesana kemari mencari dari mana sumber bau menyengat itu muncul. Sementara udara menjadi lebih dingin dari biasnya, padahal baru pukul sepuluh malam, tapi serasa sepeti sudah pukul satu dini hari. 

"Darimana, sih ini baunya," gumam Mbok Darsih sembari terus menutup hidungnya.

Tiba-tiba terdengar suara lirih seseorang memanggil namanya dari arah belakang. 

"Mbok Darsih ...." 

Seketika ia tertegun ketika menyadari sang pemilik suara itu tak lain dan tak bukan merupakan tetangga yang sekaligus pelanggan setianya yang baru dikuburkan satu hari lalu. 

"Mbok, iki aku, Mbok," ujar suara itu yang membuat Mbok Darsih semakin merinding dan ragu untuk menoleh. 

Setelah melakuan perang batin, Mbok Darsih memilih untuk menoleh guna memastikan apakah benar suara itu milik Karisma atau bukan. 

Perlahan tapi pasti, kini tubuh Mbok Darsih sudah berbalik sempurna. Kini terlihat jelas sosok yang memanggilnya dengan suara lirih tadi adalah benar Karisma. Penampakannya berupa sosok pocong dengan tali yang melilit di lehernya, lidah terjulur panjang serta mata melotot. Raut wajah yang hancur serta menimbulkan bau busuk yang sangat menyengat. 

"Tulungi aku, Mbok. Leherku kecekik, aku juga gak bisa pulang, Mbok," ujar sosok itu berbicara dengan suara tercekat-cekat. 

Tubuh Mbok Darsih seketika gemetar, peluh kini membanjiri pakaian yang ia kenakan. Air matanya mengalir deras. Dengan sisa-sisa keberanian yang ia miliki. Mbok Darsih berujar. 

"Pulanglah, Ris. Kita sudah berbeda alam. Jangan saling ganggu, Mbok minta maaf kalau selama ini Mbok banyak salah sama kamu. Begitupun sebaliknya, Mbok sudah memaafkan semua kesalahan kamu. Sekarang tenanglah di alammu. Jangan ganggu kami yang masih hidup. Pulanglah, Nduk," ucap Mbok Darsih dengan bibir bergetar. 

"Tapi aku tertahan di sini, Mbok. Tolong bantu bebasin aku, Mbok," pintanya dengan nada memilukan. 

"Yo, wes. Sak iki mulio ndisik, Mbok janji akan membantu kamu," kata Mbok Darsih.

Ajaibnya, setelah mendengar perkataan Mbok Darsih yang terahir. Sosok pocong yang menyerupai Karisma Itupun seketika lenyap dari pandangan. Menyisakan asap tipis yang mengepul  lalu hilang terbawa angin. Kini Mbok Darsih dapat bernapas lega seraya mengucapkan hamdalah.

Setelah kepergian sosok itu, Mbik Darsih langsung mengemasi barang dagangannya dan bergegas pulang.

Flash back off.

***

Pov Dokter Adrian

Rasanya, malam ini hawanya agak sedikit berbeda, suasana mencekam ditemani rintik hujan yang sejak sore tadi turun. Mengakibatkan udara menjadi dingin, membuatku menggulungkan diri didalam selimut tebal menutupi seluruh tubuh.

Di rumah sendiri tengah malam seperti ini membuat pikiranku kacau, terlintas bayangan-bayangan seram yang membuat badanku gemetar.

Aku merubah posisi tidur, sekaligus berusaha membuang gelisah yang semakin menjadi-jadi. 

"Huft ... kenapa jadi enggak bisa tidur begini, sih?" Aku bangkit dan duduk, tapi masih di bawah selimut.

Kuraih ponsel untuk mencari hiburan. Namun ternyata itu tak cukup membantuku menghalau rasa takut yang melanda. Kuputuskan untuk bangun. Aku melangkah gontai menuju dapur, rencana mau menyeduh kopi yang baru aku beli kemarin.

Krek ... Krek ...!

Brak!

Hampir saja sendok yang  aku pegang terjatuh. 

"Siapa?" 

Aku beranikah diri bersuara, selain penasaran, itu sebagai cara mengusir rasa takut.

Hening, tidak ada jawaban. Kemungkinan daun jendela yang belum sempat ditutup. Aku berjalan menuju sumber suara untuk mengecek.  Memang ada satu jendela yang sering aku lupa menutupnya, letaknya di belakang, dekat tempat cucian. 

Sebelum melakukannya, aku menyalakan televisi dengan suara keras. Dialog dalam tayangan membuatku merasa tidak sendiri.

"Tolong ... Tolong ...."

Aku terkesiap, jelas sekali suara minta tolong. Meski tersamar suara televisi, aku jelas mendengarnya. Berasal dari rumah bagian samping. Persis di sebelah sumur yang baru tiga hari aku tutup. Rencana mau dibuatkan sumur bor agar lebih mudah mengambil air. Keberadaan sumur itu sudah ada sejak awal aku membeli rumah ini. 

Dulu, pertama datang kondisinya masih berantakan, terbengkalai. Timba dan ember plastik masih digunakan untuk mengambil air. Rumah ini, belum ada setahun aku tinggali. Sejak pertama pindah sama sekali tidak pernah mengalami hal aneh. Semua berjalan baik.

Akan tetapi, mulai merasa mencekam sejak sumur itu ditutup. Ada saja hal tidak masuk akal terjadi di rumah ini.

"Tolong ... tolong saya ...." 

Bisikan itu terdengar lagi bersama datangnya semilir angin dingin.

"Astaghfirullah, siapa?"

Aku berjalan mengendap-endap menuju sumber suara. Rasa takut aku coba lawan, meski tangan sejak tadi gemetar. 

Riuh suara hewan malam bahkan tidak terdengar, tidak seperti biasa. Senyap, hanya menyisakan suara televisi.

Dengan bermodalkan sebuah senter, aku berjalan menuju samping rumah. Cahaya lampunya bisa menjangkau tempat yang gelap. Di sebelah sumur itu terdapat pohon mangga besar dan sudah lapuk.

Saat kaki melangkah ke luar rumah. Aku hampir saja terjatuh karena tersandung batu yang secara tidak sengaja ditaruh di samping rumh. Netraku membelalak saat tahu apa yang membuat aku hampir terpelanting.

"Ya Allah." Spontan aku tutup kedua mata dengan tangan.

Saat tahu apa yang terjadi, kaki mendadak kaku. Netraku menangkap benda putih teronggok di depan pintu, salah satu ujung terlihat seperti ada ikatannya. Kain yang menutupi terlihat kotor penuh sisa tanah.

Aku membekap mulut dengan kedua tangan lebih kuat. Berusaha agar tidak berteriak, khawatir membuat heboh warga Kampung Damai.

"Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...."

Aku pejamkan mata kuat kuat, berharap sosok itu segera menghilang dari pandangan. Namun, saat aku buka mata, pemandangan menyeramkan kudapati.

Benda sebesar tubuh manusia itu berganti posisi, dan menghadap ke arahku. Memperlihatkan wajahnya yang pucat, hidungnya masih ditutup kapas dan terlihat cairan merah di sekitar bibirnya. Kakiku gemetaran, ingin berlari tapi tidak kuasa, seolah tertahan di tempat itu. Aku berusaha merapal doa sebisanya.

Sekian detik, tubuhku seperti patung. Berdiri tanpa bisa berbuat apapun. Setelah selesai membacanya ayat kursi, perlahan aku bisa menggerakkan tubuh. Aku berusaha melangkah meninggalkan tempat itu dengan perasaan takut yang berkecamuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status