Share

Bab 5

Bab 5

Flash back. 

*Asal mula kerajaan pulung gantung*

Hujan lebat disertai guntur dan angin kencang seolah-olah menyambut kehadiran tiga bayi perempuan dari keluarga Kuncoro melihat dunia.

Namun, karena keluarga Kuncoro penganut ilmu kejawen yang sangat kental, ia pun menyuruh untuk memisahkan ketiga putrinya itu.

 Karena menurut mitos, jika bayi lahir kembar tiga perempuan itu dinamakan "gotong mayit". Selain itu juga sebenarnya keluarga Kuncoro telah melakukan perjanjian terkutuk  dengan bangsa lelembut guna mendapatkan kekayaan. 

Akhirnya, malam itu juga Pak Kuncoro menyuruh ajudan sekaligus orang kepercayaannya bernama Karsa untuk mengungsikan salah satu putrinya di sebuah desa yang sangat terpencil dan jauh dari kediaman keluarga Kuncoro. 

Ia juga menyuruh salah satu Asisten rumah tanganya bernama Mbok Asih yang tak lain adalah istri dari Karsa untuk ikut menemani dan juga merawat putrinya tersebut disana. Semua kebutuhan sehari-hari akan di tanggung oleh Pak Kuncoro namun dengan syarat istrinya Pak Kuncoro yakni Bu Wening tidak boleh sampai tau tentang hal ini. 

Berangkatlah mereka bertiga malam itu, juga menuju tempat yang telah disiapkan oleh Pak Kuncoro. Akan tetapi sebelum beranjak, Pak Kuncoro berpesan kepada sang ajudan untuk berhenti di setiap persimpangan yang mereka lalui guna menaruh satu Kantong kresek hitam yang entah apa isinya yang telah ia siapkan di dalam kardus. 

"Ojo sampek lali pesenku mau. Saben enek persimpangan awakmu mandeg, dokokno sak bungkus," ujar Pak Kuncoro mewanti-wanti. 

{ Jangan sampai lupa pesanku tadi. Setiap ada persimpangan kamu harus berhenti dan tarulahlah satu bungkus plastik disana}

"Sendiko dawuh, Juragan," jawab Karsa seraya mangangguk.

{ Baik, Juragan}

Mobil yang mereka tumpangi melaju membelah pekatnya malam, sepanjang jalan Mbok Asih dan Pak Karsa saling terdiam satu sama lain tanpa berani berkata apapun. Sang bayi pun terlihat anteng, tidur lelap dalam gendongan Mbok Asih. 

Seperti yang telah dipesan oleh juragannya, setiap ada persimpangan Karsa selalu turun menaruh sebuah bungkusan tepat di tengah-tengah jalan. Lalu masuk kembali kedalam mobil dan meneruskan perjalanan. Begitu seterusnya hingga ahirnya mereka sudah memasuki jalanan kampung lebih tepatnya hutan karena disini nyaris tak ada tetangga sama sekali. Ternyata, letak rumah yang Pak Kuncoro siapkan berada jauh di dalam hutan namun anehnya terdapat jalan yang bisa dilalui mobil.

Pada ahirnya mereka sampai di depan sebuah rumah besar nan megah namun terlihat seperti tak terawat.

Rumah dengan gaya bangunan kuno seperti peninggalan belanda. Semua ornamen pada bangunannya terlihat masih asli. Jujur saja, jika dilihat dari luar suasananya sudah sangat menyeramkan apalagi dalamnya. Membayangkan itu semua membuat Mbok Asih bergidig ngeri. 

Terlebih lagi Mbok asih mendengar banyak sekali suara burung gagak semenjak mereka datang disekitaran mereka. Tak hanya Itu, Mbok Asih juga merasa seperti tengah diawasi oleh seseorang tetapi ia tak tahu siapa. 

"Pak, apa ndak sebaiknya kita rawat non kecil ini dirumah kita saja di desa?" tanya Mbok Asih kepada suaminya, matanya sambil mengawasi sekeliling.

"Maunya bapak juga begitu, Mbok. Tapi sampeyan kan tahu sendiri kanjeng juragan itu orangnya seperti apa. Bisa-bisa nanti kita di pecat lalu kita mau kerja apa? Kita ini sudah berumur, nyari kerjaan juga susah, ya tho?" ujar Pak Karsa mencoba menasehati istrinya. 

"Iyo, Pak. Si Mbok, eroh. Tapi tenane, lho perasaanku ndak enak banget ambek omah iki. Opo yo ndak di coba dulu minta ijin sama juragan untuk membawa non kecil ke Jogja saja," usul Mbok Asih sedikit memaksa.

{Iya, Pak. Si Mbok, tau. Tapi benar lho, perasaanku gak enak banget sama rumah ini. Apa ya gak dicoba dulu aja minta ijin sama juragan untuk membawa non kecil ke Jogja?}

Pak Karsa nampak berfikir. Ucapan istrinya ada benarnya juga, memanglah sejak di perjalanan tadi ia sudah merasakan firasat tak mengenakkan tentang rumah ini. Akhirnya, dengan modal nekat. Pak Karsa pun mencoba untuk menghubungi juragannya. 

"Alhamdulilah, eneng sinyal meskipun sekarat," gumam Pak Karsa. 

{Alhamdulilah, ada sinyal meskipun sekarat}

Mbok Asih yang mendengar gumaman suaminya pun bertanya. 

"Sampean ki arak nyapo, tho, Pak?" 

{Kamu Itu mau ngapain, sih, Pak?}

"Menengo ta, Mbok. Aku ape nelfon Juragan Kuncoro sek. Tak wanekne jalok ijin muleh nok Jogja ae!" ujar Pak Karsa yang kemudian diangguki oleh Mbok Asih. 

{Kamu diam dulu, Mbok. Aku mau telepon Juragan Kuncoro dulu. Aku beranikan minta ijin untuk pulang ke Jogja saja}

"Halo, Juragan. Nyuwun ngapunten sak derenge menawi kulo sampun lancang. Anu, Juragan. Sepertinya istri saya ndak mau'e tinggal disini. Boleh ndak kalau non kecil kami bawa pulang saja ke kampung kami di Jogja?" 

{Halo, Juragan. Mohon Maaf sebelumnya kalau saya lancang. Anu, Juragan. Sepertinya istri saya gak mau tinggal di sini. Boleh tidak, kalau non kecil kami bawa pulang ke kampung kami di Jogja?}

" .... "

"Woo, njeh nek kados ngoten. Matur suwun sanget, Juragan," lalu telepon pun ditutup. 

{Oke kalau begitu, terima kasih banyak, Juragan}

"Piye, Pak. Oleh ora?" tanya Mbok Asih tak sabar.

{Gimana, Pak. Boleh tidak?}

Pak Karsa menoleh ke arah istrinya, tersenyum semringah menandakan sebuah kelegaan.

"Alhamdulilah ... boleh, Buk!"

Mereka bedua pun merasa senang sekali. Setidaknya, mereka tidak harus menempati rumah tua nan menyeramkan yang ada di depan mereka saat ini.

"Yo wes, ndang ayuh mangkat. Selak kewengen awake dewe tekan jogja."

Tanpa menunggu lama, mobil mereka pergi meninggalkan area itu. Tak henti-hentinya mulut Bu Asih merapalkan doa sepanjang jalan. Agar dimudahkan dalam perjalanan mereka dan bisa selamat sampai tujuan.

Pukul sembilan malam, mobil yang dikendarai Pak Karsa sudah sampai di halaman rumah mereka. Mbok Asih turun terlebih dahulu, membawa anak majikannya itu untuk dibaringkan di atas kasur miliknya.

"Kasihan sekali kamu, Nduk. Maafin si Mbok sama bapak, ya. Kami terpaksa melakukan semua ini karena perintah Tuan Juragan," ujar Mbok Asih membelai kepala bayi mungil yang tengah tidur terlelap di sampingnya.

Pak Karsa jalan tergopoh-gopoh menemui istrinya, ia mendapati firasat yang tidak enak mengenai keluarga Juragannya.

"Bu, Bapak lekasan ae yo. Soale perasaan bapak kok ndak enak, takut terjadi apa-apa di rumah keluarga tuan juragan," ujar Pak Karsa berterus terang.

"Woalah, jadi bapak ndak nginep dulu di sini? Yo, wes. Hati-hati yo, Pak. Nek ada apa-apa pulang ke sini. Jangan lupa berdoa," pesan sang istri.

"Iyo, Bu. Bapak tak mbudal sak iki, yo."

Setelah mendapat anggukan dari Mbok Asih. Pak Karsa pun pergi meninggalkan kampung halamannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status