Aroma lavender dan kertas pola yang familier—wangi yang dulu selalu berhasil menenangkan jiwa Anya Maheswari—kini terasa mencekik. Wangi itu adalah wangi kenangan, wangi ibunya, dan wangi sebuah mimpi yang perlahan mati di depan matanya.
Ia menatap sekeliling butik kecil itu, "Kainara," nama yang diberikan ibunya, yang berarti "cahaya dari dalam." Ironis. Saat ini, satu-satunya cahaya di dalam butik ini berasal dari lampu LED murah yang berkedip-kedip di atas tumpukan kain sutra yang belum terjual. Di luar, hujan bulan September tanpa ampun mengguyur jalanan Jakarta, seolah ikut meratapi nasibnya.
Di atas meja kasir kayu yang sudah usang, tergeletak musuh terbesarnya: setumpuk surat dengan stempel merah menyala. Surat peringatan dari bank, tagihan dari pemasok kain, tunggakan sewa ruko. Setiap amplop terasa seperti batu bata yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Anya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan warisan tunggal ini. Tapi perjuangan saja tidak cukup untuk membayar tagihan.
"Kita butuh keajaiban, Bu," bisiknya pada foto ibunya yang tersenyum di dinding, sebingkai kehangatan di tengah ruangan yang dingin.
Ponselnya yang tergeletak di samping tumpukan surat bergetar hebat, memecah keheningan. Nomor tak dikenal. Biasanya, Anya akan mengabaikannya—kemungkinan besar dari penagih utang yang lain. Tapi hari ini, entah kenapa, jarinya bergerak mengangkat panggilan itu.
"Selamat siang, dengan saudari Anya Maheswari?" Suara di seberang terdengar formal, dingin, dan berwibawa. Bukan suara debt collector yang biasa ia dengar.
"Iya, saya sendiri," jawab Anya, suaranya sedikit serak.
"Nama saya Bima, asisten pribadi Bapak Revan Adhitama dari Adhitama Corporation. Bapak Revan ingin bertemu dengan Anda besok pagi, pukul sepuluh tepat, di kantor pusat Adhitama Tower."
Anya mengerutkan kening. Adhitama Corporation? Revan Adhitama? Nama itu terdengar familier, seperti gema dari dunia lain yang sering ia lihat di majalah bisnis—dunia para konglomerat, menara-menara pencakar langit, dan kesepakatan bernilai triliunan. Apa urusannya orang seperti itu dengannya, seorang pemilik butik kecil yang nyaris bangkrut?
"Maaf, mungkin Anda salah orang," kata Anya. "Saya tidak punya urusan apa pun dengan... Bapak Revan Adhitama."
"Tidak ada kesalahan, Nona Maheswari. Ini mengenai butik Anda, Kainara."
Jantung Anya berdebar kencang. Kainara? Bagaimana mereka tahu?
"Tolong pastikan Anda datang tepat waktu," lanjut suara itu, tanpa memberi ruang untuk pertanyaan. "Lantai 50. Bapak Revan tidak suka menunggu."
Panggilan itu ditutup. Anya menatap layar ponselnya dengan nanar. Lantai 50. Bahkan untuk membayangkannya saja terasa mustahil. Dunianya hanya sebatas lantai satu ruko tua ini.
***
Keesokan paginya, dengan blazer terbaiknya yang sedikit pudar dan jantung yang berdebar tak karuan, Anya melangkah masuk ke lobi Adhitama Tower. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyergapnya, begitu kontras dengan panasnya jalanan Jakarta. Lobi itu lebih mirip galeri seni modern daripada kantor—lantai marmer mengilap, patung-patung abstrak, dan orang-orang berbusana mahal yang berjalan dengan langkah cepat dan penuh tujuan. Anya merasa seperti sebutir debu di tengah kemegahan itu.
Di meja resepsionis, seorang wanita dengan senyum profesional yang kaku mengarahkannya ke lift pribadi setelah mengonfirmasi namanya. Perjalanan ke lantai 50 terasa seperti meluncur ke dimensi lain. Pintu lift terbuka, menampakkan sebuah ruangan luas yang hanya berisi satu meja sekretaris dan pintu kayu raksasa di ujungnya. Seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Bima—pemilik suara di telepon kemarin—menyambutnya dan membukakan pintu itu untuknya.
Ruangan di baliknya membuat Anya menahan napas. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit menyuguhkan pemandangan seluruh kota Jakarta di bawahnya. Perabotannya minimalis, mahal, dan dingin. Dan di tengah semua itu, duduk di belakang meja mahoni hitam yang luas, adalah Revan Adhitama.
Pria itu tidak mendongak saat Anya masuk. Matanya terpaku pada layar tablet di tangannya. Foto-foto di majalah tidak mampu menangkap auranya yang sesungguhnya. Rahangnya tegas, tatapannya tajam, dan setelan yang ia kenakan tampak lebih mahal dari seluruh isi butik Anya. Ada aura arogansi dan kekuasaan mutlak yang menguar darinya, membuat ruangan yang luas itu terasa menyempit.
Setelah hampir satu menit hening yang menyiksa, Revan akhirnya meletakkan tabletnya dan menatap Anya. Matanya, setajam elang, memindai Anya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, seolah sedang menilai sebuah aset.
"Anya Maheswari," katanya. Suaranya dalam dan tanpa emosi. "Duduk."
Anya duduk di kursi di seberang meja, punggungnya tegak lurus.
Revan mendorong sebuah map tipis berwarna biru ke arahnya. "Saya sudah mempelajari situasi keuangan Anda. Butik Kainara. Utang 800 juta pada bank, tunggakan sewa enam bulan, tagihan pemasok yang belum dibayar. Dalam tiga bulan, tempat itu akan disita."
Setiap kata terasa seperti tamparan. Pria ini tahu segalanya. Rasa malu dan marah bergejolak di dalam diri Anya. "Apa mau Anda?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.
Revan menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya bertaut di depan dada. "Saya punya tawaran. Sebuah solusi untuk semua masalah Anda."
"Saya tidak butuh sedekah," desis Anya.
Sudut bibir Revan terangkat sedikit, membentuk senyum sinis yang tidak mencapai matanya. "Ini bukan sedekah. Ini transaksi bisnis. Saya butuh sesuatu dari Anda."
"Apa?"
"Seorang istri."
Anya terdiam, yakin ia salah dengar. "Maaf?"
"Saya butuh seorang istri. Selama satu tahun," Revan melanjutkan, seolah sedang membahas laporan cuaca. "Kakek saya, pemilik saham mayoritas perusahaan ini, tidak akan menyerahkan posisi CEO sepenuhnya kepada saya sampai saya menikah. Beliau ingin melihat saya 'mapan'." Ia mengucapkan kata 'mapan' dengan nada jijik.
Anya menatapnya tak percaya. Pria ini... gila. "Anda ingin saya... menikah dengan Anda?"
"Tepatnya, saya ingin Anda berpura-pura menikah dengan saya. Sebuah pernikahan kontrak. Kita akan tampil sebagai pasangan suami-istri di depan keluarga saya dan publik. Kita akan tinggal di rumah yang sama. Setelah satu tahun, atau setelah kakek saya meninggal—mana saja yang lebih dulu—kita akan bercerai dengan alasan 'perbedaan yang tidak dapat disatukan'. Anda akan mendapatkan kebebasan Anda kembali."
Anya menggelengkan kepalanya, mencoba menjernihkan pikirannya. Ini tidak nyata.
"Dan sebagai imbalannya?" tanyanya, lebih karena penasaran akan tingkat kegilaan pria ini.
"Saya akan melunasi seluruh utang butik Anda. Saya akan memberikan modal tak terbatas untuk mengembangkannya. Anggap saja itu gaji Anda." Revan menatapnya lekat. "Satu tahun hidup Anda untuk menyelamatkan mimpi ibu Anda. Penawaran yang adil, bukan?"
Anya merasakan amarah membakar pipinya. Harga dirinya menjerit. Menjual dirinya sendiri demi uang? Tidak akan pernah.
"Anda pikir semua orang bisa dibeli?" katanya tajam. "Anda pikir saya serendah itu?"
"Saya tidak berpikir. Saya tahu," jawab Revan dingin. "Setiap orang punya harga, Nona Maheswari. Pertanyaannya adalah, berapa harga mimpi ibu Anda?"
Pria itu berdiri, berjalan ke arah jendela kaca, membelakangi Anya. "Saya tidak punya banyak waktu. Ada syaratnya, tentu saja. Selama perjanjian berlangsung, tidak ada hubungan dengan pria lain. Tidak ada skandal. Dan yang paling penting," ia berbalik, matanya menusuk Anya, "tidak boleh ada perasaan yang terlibat. Ini murni bisnis."
Ia kembali ke mejanya dan mengambil sebuah pulpen mahal. "Saya beri Anda waktu 24 jam untuk berpikir. Jika Anda setuju, tanda tangani kontrak di dalam map itu dan Bima akan mengurus sisanya. Jika tidak..." ia mengangkat bahu. "Selamat menikmati kebangkrutan Anda."
Tanpa menunggu jawaban, Revan kembali duduk dan mengangkat tabletnya, menganggap percakapan mereka telah selesai.
Anya terpaku di kursinya, napasnya tercekat. Di satu sisi, ada harga dirinya yang terinjak-injak. Di sisi lain, ada wajah ibunya yang tersenyum, aroma lavender, dan sebuah butik kecil bernama "Kainara."
Ia berdiri, tangannya gemetar saat mengambil map biru itu dari atas meja. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan dingin itu, merasakan tatapan tajam Revan Adhitama di punggungnya.
Di tangannya, ia tidak hanya memegang sebuah kontrak. Ia memegang pilihan antara kehormatan dan keputusasaan. Dan ia hanya punya 24 jam untuk memutuskan mana yang akan ia korbankan.
Anya terbangun karena cahaya. Bukan cahaya matahari pagi yang hangat yang biasa menyelinap melalui jendela apartemennya, melainkan cahaya abu-abu yang dingin dan menyilaukan yang membanjiri ruangan melalui dinding kaca raksasa. Untuk sesaat, ia bingung. Seprai sutra terasa asing di kulitnya, dan keheningan di sekelilingnya begitu total hingga terdengar seperti desingan.Lalu ia ingat. Ini bukan kamarnya. Ini adalah kamar utama di penthouse Revan Adhitama. Sangkar emasnya.Ia meraih ponselnya di meja nakas marmer. Notifikasi dari bank masih ada di sana, deretan angka nol yang terasa seperti vonis. Dengan satu ketukan, ia mentransfer sejumlah uang untuk melunasi utang bank, lalu mengirim pesan kepada Bu Sari, sang penjahit, memberitahukan bahwa gaji yang tertunda akan segera dibayarkan. Seharusnya ia merasa lega, bahagia, bahkan menang. Tapi yang ada hanyalah kehampaan yang aneh.Dengan langkah gontai, ia menjelajahi apartemen itu. Ruang tamunya yang luas terasa seperti lobi hotel binta
Sisa perjalanan pulang diselimuti keheningan yang lebih dingin daripada AC mobil yang berembus kencang. Anya membuang muka ke arah jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berkelip menjadi sapuan warna yang kabur. Setiap kilatan cahaya terasa seperti menyoroti kebohongan yang baru saja mereka pentaskan. Di sampingnya, Revan kembali menjadi patung es, jari-jarinya mengetuk layar ponsel dengan ritme yang tajam dan tak sabar. Lengan jasnya sesekali menyentuh lengan Anya, dan setiap sentuhan terasa seperti sengatan listrik statis yang tidak menyenangkan.Tidak ada lagi "Sayang." Tidak ada lagi genggaman tangan yang protektif. Hanya ada dua orang asing yang terikat oleh sebuah kontrak, kembali ke peran mereka yang sesungguhnya.Mobil berhenti di basement gedung apartemen mewah yang menjulang ke langit malam. "Penthouse," kata Revan singkat saat mereka melangkah ke dalam lift pribadi yang langsung membawa mereka ke lantai teratas.Pintu lift terbuka langsung ke dalam sebuah ruangan yang m
Saat Revan menggenggam tangannya, Anya merasakan sengatan dingin yang menjalar, bukan karena sentuhan kulit mereka, melainkan karena kepalsuan yang begitu nyata. Senyum di wajah Revan adalah mahakarya seorang aktor; hangat, tulus, dan penuh puja. Itu adalah senyum yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan padanya saat mereka hanya berdua.Pintu mahoni raksasa terbuka, menampakkan ruang keluarga yang lebih luas dari seluruh butik Anya. Perapian marmer menyala lembut di satu sisi, dan sebuah piano besar berdiri megah di sudut lain. Di tengah ruangan, di atas sofa beludru berwarna krem, duduk seorang pria tua dengan rambut putih keperakan dan sepasang mata yang, meskipun dibingkai keriput, masih memancarkan ketajaman yang luar biasa. Di sampingnya, seorang wanita muda yang sangat cantik dengan gaun merah menyala menatap kedatangan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan."Revan, akhirnya kau datang juga," sapa pria tua itu, suaranya serak namun penuh wibawa. Ia bangkit perlahan, tat
Sabtu sore datang lebih cepat dari yang Anya harapkan. Tepat pukul empat, bel apartemennya berbunyi. Di depan pintu berdiri seorang kurir berjaket kulit, memegang kotak gaun berwarna hitam pekat yang begitu besar hingga nyaris menutupi tubuhnya. Tidak ada nama pengirim, hanya inisial "R.A." yang terukir elegan dengan tinta perak di sudut kotak.Di dalam, terbungkus kertas sutra, terbaring sebuah gaun. Anya menahan napas saat mengangkatnya. Gaun itu terbuat dari satin berwarna zamrud gelap, dengan potongan sederhana namun sempurna yang jatuh seperti air. Terasa dingin dan berat di tangannya—harga gaun ini mungkin bisa membayar sewa butiknya selama setahun. Di sampingnya, ada sebuah kotak beludru kecil berisi sepasang anting berlian dan sebuah catatan singkat yang ditulis dengan tulisan tangan yang tegas dan miring.Pakai ini. Jangan terlambat. R.Tidak ada kata "tolong" atau "semoga kamu suka." Hanya perintah. Gaun itu indah, tetapi terasa seperti seragam, sebuah kostum untuk peran yan
Lift yang membawanya turun dari lantai 50 terasa seperti mesin waktu yang bergerak terlalu cepat, mengembalikannya dari dunia fantasi yang dingin dan berkilauan ke realitasnya yang pahit. Begitu pintu lobi Adhitama Tower terbuka dan udara lembap Jakarta menyambutnya, kemegahan gedung itu seolah mencair di belakangnya, meninggalkan Anya sendirian dengan map biru di genggaman tangannya yang berkeringat.Perjalanan pulang terasa kabur. Pikirannya berputar, mengulang setiap kata yang diucapkan Revan Adhitama. Setiap orang punya harga. Kalimat itu menusuk harga dirinya, membuatnya merasa murah dan kotor. Namun, kalimat berikutnya lebih menyakitkan. Berapa harga mimpi ibu Anda?Anya tiba di butik dan langsung naik ke apartemen kecilnya di lantai dua. Ruangan itu, yang biasanya menjadi tempat perlindungannya, kini terasa sempit dan menyesakkan. Tumpukan sketsa desain gaun berserakan di meja, palet warna yang ceria seolah mengejek suasana hatinya yang kelabu. Ia melempar map biru itu ke atas
Aroma lavender dan kertas pola yang familier—wangi yang dulu selalu berhasil menenangkan jiwa Anya Maheswari—kini terasa mencekik. Wangi itu adalah wangi kenangan, wangi ibunya, dan wangi sebuah mimpi yang perlahan mati di depan matanya.Ia menatap sekeliling butik kecil itu, "Kainara," nama yang diberikan ibunya, yang berarti "cahaya dari dalam." Ironis. Saat ini, satu-satunya cahaya di dalam butik ini berasal dari lampu LED murah yang berkedip-kedip di atas tumpukan kain sutra yang belum terjual. Di luar, hujan bulan September tanpa ampun mengguyur jalanan Jakarta, seolah ikut meratapi nasibnya.Di atas meja kasir kayu yang sudah usang, tergeletak musuh terbesarnya: setumpuk surat dengan stempel merah menyala. Surat peringatan dari bank, tagihan dari pemasok kain, tunggakan sewa ruko. Setiap amplop terasa seperti batu bata yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Anya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan warisan tunggal ini.