Beranda / Romansa / Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan / Bab 1: Surat Merah dan Panggilan Tak Terduga

Share

Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan
Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan
Penulis: Fantashyt

Bab 1: Surat Merah dan Panggilan Tak Terduga

Penulis: Fantashyt
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-05 03:48:01

Aroma lavender dan kertas pola yang familier—wangi yang dulu selalu berhasil menenangkan jiwa Anya Maheswari—kini terasa mencekik. Wangi itu adalah wangi kenangan, wangi ibunya, dan wangi sebuah mimpi yang perlahan mati di depan matanya.

Ia menatap sekeliling butik kecil itu, "Kainara," nama yang diberikan ibunya, yang berarti "cahaya dari dalam." Ironis. Saat ini, satu-satunya cahaya di dalam butik ini berasal dari lampu LED murah yang berkedip-kedip di atas tumpukan kain sutra yang belum terjual. Di luar, hujan bulan September tanpa ampun mengguyur jalanan Jakarta, seolah ikut meratapi nasibnya.

Di atas meja kasir kayu yang sudah usang, tergeletak musuh terbesarnya: setumpuk surat dengan stempel merah menyala. Surat peringatan dari bank, tagihan dari pemasok kain, tunggakan sewa ruko. Setiap amplop terasa seperti batu bata yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Anya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan warisan tunggal ini. Tapi perjuangan saja tidak cukup untuk membayar tagihan.

"Kita butuh keajaiban, Bu," bisiknya pada foto ibunya yang tersenyum di dinding, sebingkai kehangatan di tengah ruangan yang dingin.

Ponselnya yang tergeletak di samping tumpukan surat bergetar hebat, memecah keheningan. Nomor tak dikenal. Biasanya, Anya akan mengabaikannya—kemungkinan besar dari penagih utang yang lain. Tapi hari ini, entah kenapa, jarinya bergerak mengangkat panggilan itu.

"Selamat siang, dengan saudari Anya Maheswari?" Suara di seberang terdengar formal, dingin, dan berwibawa. Bukan suara debt collector yang biasa ia dengar.

"Iya, saya sendiri," jawab Anya, suaranya sedikit serak.

"Nama saya Bima, asisten pribadi Bapak Revan Adhitama dari Adhitama Corporation. Bapak Revan ingin bertemu dengan Anda besok pagi, pukul sepuluh tepat, di kantor pusat Adhitama Tower."

Anya mengerutkan kening. Adhitama Corporation? Revan Adhitama? Nama itu terdengar familier, seperti gema dari dunia lain yang sering ia lihat di majalah bisnis—dunia para konglomerat, menara-menara pencakar langit, dan kesepakatan bernilai triliunan. Apa urusannya orang seperti itu dengannya, seorang pemilik butik kecil yang nyaris bangkrut?

"Maaf, mungkin Anda salah orang," kata Anya. "Saya tidak punya urusan apa pun dengan... Bapak Revan Adhitama."

"Tidak ada kesalahan, Nona Maheswari. Ini mengenai butik Anda, Kainara."

Jantung Anya berdebar kencang. Kainara? Bagaimana mereka tahu?

"Tolong pastikan Anda datang tepat waktu," lanjut suara itu, tanpa memberi ruang untuk pertanyaan. "Lantai 50. Bapak Revan tidak suka menunggu."

Panggilan itu ditutup. Anya menatap layar ponselnya dengan nanar. Lantai 50. Bahkan untuk membayangkannya saja terasa mustahil. Dunianya hanya sebatas lantai satu ruko tua ini.

***

Keesokan paginya, dengan blazer terbaiknya yang sedikit pudar dan jantung yang berdebar tak karuan, Anya melangkah masuk ke lobi Adhitama Tower. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyergapnya, begitu kontras dengan panasnya jalanan Jakarta. Lobi itu lebih mirip galeri seni modern daripada kantor—lantai marmer mengilap, patung-patung abstrak, dan orang-orang berbusana mahal yang berjalan dengan langkah cepat dan penuh tujuan. Anya merasa seperti sebutir debu di tengah kemegahan itu.

Di meja resepsionis, seorang wanita dengan senyum profesional yang kaku mengarahkannya ke lift pribadi setelah mengonfirmasi namanya. Perjalanan ke lantai 50 terasa seperti meluncur ke dimensi lain. Pintu lift terbuka, menampakkan sebuah ruangan luas yang hanya berisi satu meja sekretaris dan pintu kayu raksasa di ujungnya. Seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Bima—pemilik suara di telepon kemarin—menyambutnya dan membukakan pintu itu untuknya.

Ruangan di baliknya membuat Anya menahan napas. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit menyuguhkan pemandangan seluruh kota Jakarta di bawahnya. Perabotannya minimalis, mahal, dan dingin. Dan di tengah semua itu, duduk di belakang meja mahoni hitam yang luas, adalah Revan Adhitama.

Pria itu tidak mendongak saat Anya masuk. Matanya terpaku pada layar tablet di tangannya. Foto-foto di majalah tidak mampu menangkap auranya yang sesungguhnya. Rahangnya tegas, tatapannya tajam, dan setelan yang ia kenakan tampak lebih mahal dari seluruh isi butik Anya. Ada aura arogansi dan kekuasaan mutlak yang menguar darinya, membuat ruangan yang luas itu terasa menyempit.

Setelah hampir satu menit hening yang menyiksa, Revan akhirnya meletakkan tabletnya dan menatap Anya. Matanya, setajam elang, memindai Anya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, seolah sedang menilai sebuah aset.

"Anya Maheswari," katanya. Suaranya dalam dan tanpa emosi. "Duduk."

Anya duduk di kursi di seberang meja, punggungnya tegak lurus.

Revan mendorong sebuah map tipis berwarna biru ke arahnya. "Saya sudah mempelajari situasi keuangan Anda. Butik Kainara. Utang 800 juta pada bank, tunggakan sewa enam bulan, tagihan pemasok yang belum dibayar. Dalam tiga bulan, tempat itu akan disita."

Setiap kata terasa seperti tamparan. Pria ini tahu segalanya. Rasa malu dan marah bergejolak di dalam diri Anya. "Apa mau Anda?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.

Revan menyandarkan punggungnya ke kursi, jemarinya bertaut di depan dada. "Saya punya tawaran. Sebuah solusi untuk semua masalah Anda."

"Saya tidak butuh sedekah," desis Anya.

Sudut bibir Revan terangkat sedikit, membentuk senyum sinis yang tidak mencapai matanya. "Ini bukan sedekah. Ini transaksi bisnis. Saya butuh sesuatu dari Anda."

"Apa?"

"Seorang istri."

Anya terdiam, yakin ia salah dengar. "Maaf?"

"Saya butuh seorang istri. Selama satu tahun," Revan melanjutkan, seolah sedang membahas laporan cuaca. "Kakek saya, pemilik saham mayoritas perusahaan ini, tidak akan menyerahkan posisi CEO sepenuhnya kepada saya sampai saya menikah. Beliau ingin melihat saya 'mapan'." Ia mengucapkan kata 'mapan' dengan nada jijik.

Anya menatapnya tak percaya. Pria ini... gila. "Anda ingin saya... menikah dengan Anda?"

"Tepatnya, saya ingin Anda berpura-pura menikah dengan saya. Sebuah pernikahan kontrak. Kita akan tampil sebagai pasangan suami-istri di depan keluarga saya dan publik. Kita akan tinggal di rumah yang sama. Setelah satu tahun, atau setelah kakek saya meninggal—mana saja yang lebih dulu—kita akan bercerai dengan alasan 'perbedaan yang tidak dapat disatukan'. Anda akan mendapatkan kebebasan Anda kembali."

Anya menggelengkan kepalanya, mencoba menjernihkan pikirannya. Ini tidak nyata.

"Dan sebagai imbalannya?" tanyanya, lebih karena penasaran akan tingkat kegilaan pria ini.

"Saya akan melunasi seluruh utang butik Anda. Saya akan memberikan modal tak terbatas untuk mengembangkannya. Anggap saja itu gaji Anda." Revan menatapnya lekat. "Satu tahun hidup Anda untuk menyelamatkan mimpi ibu Anda. Penawaran yang adil, bukan?"

Anya merasakan amarah membakar pipinya. Harga dirinya menjerit. Menjual dirinya sendiri demi uang? Tidak akan pernah.

"Anda pikir semua orang bisa dibeli?" katanya tajam. "Anda pikir saya serendah itu?"

"Saya tidak berpikir. Saya tahu," jawab Revan dingin. "Setiap orang punya harga, Nona Maheswari. Pertanyaannya adalah, berapa harga mimpi ibu Anda?"

Pria itu berdiri, berjalan ke arah jendela kaca, membelakangi Anya. "Saya tidak punya banyak waktu. Ada syaratnya, tentu saja. Selama perjanjian berlangsung, tidak ada hubungan dengan pria lain. Tidak ada skandal. Dan yang paling penting," ia berbalik, matanya menusuk Anya, "tidak boleh ada perasaan yang terlibat. Ini murni bisnis."

Ia kembali ke mejanya dan mengambil sebuah pulpen mahal. "Saya beri Anda waktu 24 jam untuk berpikir. Jika Anda setuju, tanda tangani kontrak di dalam map itu dan Bima akan mengurus sisanya. Jika tidak..." ia mengangkat bahu. "Selamat menikmati kebangkrutan Anda."

Tanpa menunggu jawaban, Revan kembali duduk dan mengangkat tabletnya, menganggap percakapan mereka telah selesai.

Anya terpaku di kursinya, napasnya tercekat. Di satu sisi, ada harga dirinya yang terinjak-injak. Di sisi lain, ada wajah ibunya yang tersenyum, aroma lavender, dan sebuah butik kecil bernama "Kainara."

Ia berdiri, tangannya gemetar saat mengambil map biru itu dari atas meja. Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan dingin itu, merasakan tatapan tajam Revan Adhitama di punggungnya.

Di tangannya, ia tidak hanya memegang sebuah kontrak. Ia memegang pilihan antara kehormatan dan keputusasaan. Dan ia hanya punya 24 jam untuk memutuskan mana yang akan ia korbankan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 19: Jarak Setelah Nyaris

    Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 18: Gema yang Berbeda

    Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 17: Tanpa Naskah di Pulau Dewata

    Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 16: Keheningan Setelah Badai

    Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 15: Gema Masa Lalu

    Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 14: Kebenaran Emosional

    Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status