Lift yang membawanya turun dari lantai 50 terasa seperti mesin waktu yang bergerak terlalu cepat, mengembalikannya dari dunia fantasi yang dingin dan berkilauan ke realitasnya yang pahit. Begitu pintu lobi Adhitama Tower terbuka dan udara lembap Jakarta menyambutnya, kemegahan gedung itu seolah mencair di belakangnya, meninggalkan Anya sendirian dengan map biru di genggaman tangannya yang berkeringat.
Perjalanan pulang terasa kabur. Pikirannya berputar, mengulang setiap kata yang diucapkan Revan Adhitama. Setiap orang punya harga. Kalimat itu menusuk harga dirinya, membuatnya merasa murah dan kotor. Namun, kalimat berikutnya lebih menyakitkan. Berapa harga mimpi ibu Anda?
Anya tiba di butik dan langsung naik ke apartemen kecilnya di lantai dua. Ruangan itu, yang biasanya menjadi tempat perlindungannya, kini terasa sempit dan menyesakkan. Tumpukan sketsa desain gaun berserakan di meja, palet warna yang ceria seolah mengejek suasana hatinya yang kelabu. Ia melempar map biru itu ke atas sofa seolah benda itu beracun.
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia mondar-mandir di apartemennya, sesekali berhenti untuk menatap keluar jendela, memandangi papan nama "Kainara" yang catnya mulai terkelupas. Itu bukan sekadar nama. Itu adalah janji yang ia buat di sisi ranjang rumah sakit ibunya, janji untuk tidak akan pernah membiarkan cahaya di butik itu padam.
Ia akhirnya menyerah, mengambil map itu dan membukanya di bawah cahaya lampu meja. Kontrak itu tebal, penuh dengan pasal-pasal hukum yang dingin dan impersonal. Pasal 3.1: "Pihak Kedua (Anya Maheswari) setuju untuk menjalankan peran sebagai istri Pihak Pertama (Revan Adhitama) di depan umum dan dalam lingkup keluarga." Pasal 5.2: "Tidak ada tuntutan emosional atau hubungan fisik di luar kesepakatan yang diizinkan." Pasal 7.4: "Pihak Kedua dilarang menjalin hubungan romantis dengan pihak lain selama masa kontrak."
Setiap klausul adalah belenggu. Ini bukan pernikahan, ini perbudakan modern yang dibungkus dengan kertas mahal. Ia membanting map itu hingga tertutup. Tidak. Ia tidak akan melakukannya. Ada cara lain. Pasti ada.
Ponselnya berdering keesokan paginya. Kali ini, nama yang muncul di layar membuatnya mual: "BANK - BPK. HARTONO."
"Selamat pagi, Bu Anya," sapa suara di seberang dengan nada ramah yang dibuat-buat. "Hanya mengingatkan, Bu, jatuh tempo terakhir untuk pembayaran cicilan pokok adalah lusa. Jika tidak, dengan sangat menyesal, kami harus memulai proses penyitaan aset sesuai prosedur."
"Saya... saya akan usahakan, Pak," jawab Anya, suaranya bergetar.
"Kami harap begitu. Sayang sekali jika butik peninggalan ibu Anda harus berakhir seperti ini."
Panggilan itu berakhir, meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga. Kata-kata "berakhir seperti ini" bergema di kepalanya. Ia teringat wajah Bu Sari, penjahit senior yang sudah bekerja dengan ibunya sejak butik itu pertama kali buka. Ia teringat Rina, gadis magang yang selalu bersemangat belajar. Mereka semua bergantung padanya.
Harga dirinya terasa begitu egois sekarang. Apakah mempertahankan kebanggaan sesaat lebih penting daripada menyelamatkan mata pencaharian orang-orang yang ia sayangi? Daripada menepati janjinya pada sang ibu?
Perlahan, dengan tangan yang terasa berat seperti timah, Anya meraih ponselnya. Ia tidak mencari nomor Bima. Ia menekan nomor Revan Adhitama, yang tertera di kartu nama yang terselip di dalam map. Ia tidak akan bersembunyi di balik asisten. Jika ia akan menjual jiwanya, ia akan melakukannya sambil menatap langsung sang iblis.
Panggilan itu dijawab pada dering kedua. "Ya." Hanya satu kata, singkat dan dingin.
Anya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. "Ini Anya Maheswari."
Hening sejenak di seberang. "Waktu Anda hampir habis," kata Revan, tanpa basa-basi.
"Saya tidak butuh 24 jam," balas Anya, suaranya lebih mantap dari yang ia duga. "Saya setuju dengan tawaran Anda."
Tidak ada nada kemenangan dalam suara Revan, hanya efisiensi yang kejam. "Bagus. Bima akan mengirimkan detailnya. Kontrak yang sudah ditandatangani harus ada di meja saya sebelum jam makan siang."
"Ada satu syarat dari saya," potong Anya cepat, sebelum ia kehilangan keberaniannya.
Terdengar helaan napas tak sabar. "Apa?"
"Selama kita tinggal bersama, Anda tidak boleh membawa wanita lain ke rumah kita. Saya tidak peduli apa yang Anda lakukan di luar, tapi di dalam rumah itu, saya menuntut rasa hormat."
Untuk pertama kalinya, keheningan di seberang terasa berbeda. Bukan lagi keheningan karena arogansi, melainkan keterkejutan. Setelah beberapa detik, Revan menjawab dengan nada yang sedikit berubah, "Kesepakatan yang adil. Ada lagi?"
"Tidak. Itu saja."
"Baik. Saya tunggu kontraknya."
Panggilan terputus. Anya menjatuhkan ponselnya ke sofa dan menunduk, membiarkan air mata yang sejak semalam ia tahan akhirnya mengalir. Ia tidak menangis karena sedih. Ia menangis karena marah, karena merasa kalah, dan karena tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Satu jam kemudian, setelah menandatangani setiap halaman dengan pulpen murahan miliknya, Anya mengirim dokumen itu melalui kurir. Tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya dari Bima.
Nona Anya, Bapak Revan meminta Anda bersiap. Makan malam perkenalan dengan keluarga Adhitama akan diadakan hari Sabtu ini. Sebuah gaun dan pengantar akan dikirimkan ke alamat Anda. Mohon pastikan Anda siap memainkan peran Anda dengan baik.
Anya menatap pesan itu. Permainan telah dimulai. Dan ia bahkan belum tahu aturannya.
Anya terbangun karena cahaya. Bukan cahaya matahari pagi yang hangat yang biasa menyelinap melalui jendela apartemennya, melainkan cahaya abu-abu yang dingin dan menyilaukan yang membanjiri ruangan melalui dinding kaca raksasa. Untuk sesaat, ia bingung. Seprai sutra terasa asing di kulitnya, dan keheningan di sekelilingnya begitu total hingga terdengar seperti desingan.Lalu ia ingat. Ini bukan kamarnya. Ini adalah kamar utama di penthouse Revan Adhitama. Sangkar emasnya.Ia meraih ponselnya di meja nakas marmer. Notifikasi dari bank masih ada di sana, deretan angka nol yang terasa seperti vonis. Dengan satu ketukan, ia mentransfer sejumlah uang untuk melunasi utang bank, lalu mengirim pesan kepada Bu Sari, sang penjahit, memberitahukan bahwa gaji yang tertunda akan segera dibayarkan. Seharusnya ia merasa lega, bahagia, bahkan menang. Tapi yang ada hanyalah kehampaan yang aneh.Dengan langkah gontai, ia menjelajahi apartemen itu. Ruang tamunya yang luas terasa seperti lobi hotel binta
Sisa perjalanan pulang diselimuti keheningan yang lebih dingin daripada AC mobil yang berembus kencang. Anya membuang muka ke arah jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berkelip menjadi sapuan warna yang kabur. Setiap kilatan cahaya terasa seperti menyoroti kebohongan yang baru saja mereka pentaskan. Di sampingnya, Revan kembali menjadi patung es, jari-jarinya mengetuk layar ponsel dengan ritme yang tajam dan tak sabar. Lengan jasnya sesekali menyentuh lengan Anya, dan setiap sentuhan terasa seperti sengatan listrik statis yang tidak menyenangkan.Tidak ada lagi "Sayang." Tidak ada lagi genggaman tangan yang protektif. Hanya ada dua orang asing yang terikat oleh sebuah kontrak, kembali ke peran mereka yang sesungguhnya.Mobil berhenti di basement gedung apartemen mewah yang menjulang ke langit malam. "Penthouse," kata Revan singkat saat mereka melangkah ke dalam lift pribadi yang langsung membawa mereka ke lantai teratas.Pintu lift terbuka langsung ke dalam sebuah ruangan yang m
Saat Revan menggenggam tangannya, Anya merasakan sengatan dingin yang menjalar, bukan karena sentuhan kulit mereka, melainkan karena kepalsuan yang begitu nyata. Senyum di wajah Revan adalah mahakarya seorang aktor; hangat, tulus, dan penuh puja. Itu adalah senyum yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan padanya saat mereka hanya berdua.Pintu mahoni raksasa terbuka, menampakkan ruang keluarga yang lebih luas dari seluruh butik Anya. Perapian marmer menyala lembut di satu sisi, dan sebuah piano besar berdiri megah di sudut lain. Di tengah ruangan, di atas sofa beludru berwarna krem, duduk seorang pria tua dengan rambut putih keperakan dan sepasang mata yang, meskipun dibingkai keriput, masih memancarkan ketajaman yang luar biasa. Di sampingnya, seorang wanita muda yang sangat cantik dengan gaun merah menyala menatap kedatangan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan."Revan, akhirnya kau datang juga," sapa pria tua itu, suaranya serak namun penuh wibawa. Ia bangkit perlahan, tat
Sabtu sore datang lebih cepat dari yang Anya harapkan. Tepat pukul empat, bel apartemennya berbunyi. Di depan pintu berdiri seorang kurir berjaket kulit, memegang kotak gaun berwarna hitam pekat yang begitu besar hingga nyaris menutupi tubuhnya. Tidak ada nama pengirim, hanya inisial "R.A." yang terukir elegan dengan tinta perak di sudut kotak.Di dalam, terbungkus kertas sutra, terbaring sebuah gaun. Anya menahan napas saat mengangkatnya. Gaun itu terbuat dari satin berwarna zamrud gelap, dengan potongan sederhana namun sempurna yang jatuh seperti air. Terasa dingin dan berat di tangannya—harga gaun ini mungkin bisa membayar sewa butiknya selama setahun. Di sampingnya, ada sebuah kotak beludru kecil berisi sepasang anting berlian dan sebuah catatan singkat yang ditulis dengan tulisan tangan yang tegas dan miring.Pakai ini. Jangan terlambat. R.Tidak ada kata "tolong" atau "semoga kamu suka." Hanya perintah. Gaun itu indah, tetapi terasa seperti seragam, sebuah kostum untuk peran yan
Lift yang membawanya turun dari lantai 50 terasa seperti mesin waktu yang bergerak terlalu cepat, mengembalikannya dari dunia fantasi yang dingin dan berkilauan ke realitasnya yang pahit. Begitu pintu lobi Adhitama Tower terbuka dan udara lembap Jakarta menyambutnya, kemegahan gedung itu seolah mencair di belakangnya, meninggalkan Anya sendirian dengan map biru di genggaman tangannya yang berkeringat.Perjalanan pulang terasa kabur. Pikirannya berputar, mengulang setiap kata yang diucapkan Revan Adhitama. Setiap orang punya harga. Kalimat itu menusuk harga dirinya, membuatnya merasa murah dan kotor. Namun, kalimat berikutnya lebih menyakitkan. Berapa harga mimpi ibu Anda?Anya tiba di butik dan langsung naik ke apartemen kecilnya di lantai dua. Ruangan itu, yang biasanya menjadi tempat perlindungannya, kini terasa sempit dan menyesakkan. Tumpukan sketsa desain gaun berserakan di meja, palet warna yang ceria seolah mengejek suasana hatinya yang kelabu. Ia melempar map biru itu ke atas
Aroma lavender dan kertas pola yang familier—wangi yang dulu selalu berhasil menenangkan jiwa Anya Maheswari—kini terasa mencekik. Wangi itu adalah wangi kenangan, wangi ibunya, dan wangi sebuah mimpi yang perlahan mati di depan matanya.Ia menatap sekeliling butik kecil itu, "Kainara," nama yang diberikan ibunya, yang berarti "cahaya dari dalam." Ironis. Saat ini, satu-satunya cahaya di dalam butik ini berasal dari lampu LED murah yang berkedip-kedip di atas tumpukan kain sutra yang belum terjual. Di luar, hujan bulan September tanpa ampun mengguyur jalanan Jakarta, seolah ikut meratapi nasibnya.Di atas meja kasir kayu yang sudah usang, tergeletak musuh terbesarnya: setumpuk surat dengan stempel merah menyala. Surat peringatan dari bank, tagihan dari pemasok kain, tunggakan sewa ruko. Setiap amplop terasa seperti batu bata yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Anya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan warisan tunggal ini.