แชร์

Bab 10: Rasa yang Tertinggal

ผู้เขียน: Fantashyt
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-10 18:00:32

Ciuman itu terasa seperti sambaran petir di tengah badai yang sunyi.

Itu bukan ciuman yang lembut dan penuh sandiwara untuk kamera. Itu dalam, menuntut, dan begitu mengejutkan hingga membuat lutut Anya lemas. Untuk beberapa detik yang terasa abadi, ia lupa di mana mereka berada. Ia lupa tentang ratusan pasang mata yang mengawasi, lupa tentang kontrak, tentang kebohongan. Yang ada hanyalah kehangatan bibir Revan di bibirnya, genggaman posesif tangannya di pinggang Anya yang menariknya begitu dekat hingga ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang berpacu cepat di dadanya, dan aroma maskulin parfumnya yang memabukkan. Bibirnya bergerak dengan keyakinan yang mengejutkan, sebuah campuran antara amarah dan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih liar dan lebih jujur. Anya, yang seharusnya mendorongnya pergi, malah mendapati dirinya membeku, tangannya secara naluriah mencengkeram lengan jas Revan. Ini bukan akting. Ini adalah sebuah klaim. Sebuah penegasan.

Sama cepatnya saat dimulai, ciuman itu berakhir. Revan menarik diri, tapi wajahnya masih begitu dekat hingga napas mereka yang memburu saling berbaur. Matanya yang gelap menatapnya dengan intensitas yang membakar, seolah mencari sesuatu di dalam mata Anya—mungkin sebuah jawaban, atau mungkin pengampunan. Di tengah riuh rendah suara musik dan percakapan ballroom, mereka terisolasi dalam gelembung ketegangan mereka sendiri, di mana satu-satunya suara adalah deru darah di telinga Anya.

Revan adalah yang pertama memecah mantra itu. Ia berkedip sekali, dan seolah sebuah saklar ditekan, topengnya kembali terpasang. Intensitas di matanya lenyap, digantikan oleh ketenangan yang terkalkulasi. Ia tersenyum lembut pada Anya—senyum untuk para penonton—lalu berbisik di telinganya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar, "Sudah waktunya pulang."

Perjalanan pulang adalah sebuah penyiksaan dalam keheningan. Mobil mewah itu terasa sesak, dipenuhi oleh hal-hal yang tidak terucapkan. Anya duduk terpaku di kursinya, menatap lurus ke depan pada lampu-lampu kota yang melesat menjadi garis-garis kabur. Bibirnya masih terasa panas dan kesemutan, sebuah pengingat fisik dari apa yang baru saja terjadi. Pikirannya berpacu, mencoba memproses. Itu bukan ciuman untuk Rania, bukan untuk para kolega. Itu adalah reaksi mentah terhadap Daniel. Sebuah ledakan emosi dari pria yang mengklaim tidak memilikinya.

Ia tidak berani menoleh ke arah Revan. Ia takut dengan apa yang akan ia lihat—atau lebih buruk lagi, apa yang tidak akan ia lihat. Apakah pria itu menyesalinya? Apakah ia sudah melupakannya dan kembali ke dunianya yang dingin? Anya mencuri pandang sekilas. Revan duduk dengan kaku, menatap lurus ke luar jendelanya sendiri, rahangnya mengeras. Jemarinya mengetuk-ngetuk pelan di atas lututnya, sebuah ritme gelisah yang mengkhianati ketenangan palsunya. Pria yang selalu memegang kendali itu tampak sedang berjuang keras untuk merebut kembali kendali atas dirinya sendiri.

Begitu pintu lift penthouse terbuka, Anya langsung melesat keluar. Ia butuh ruang. Ia butuh jarak. Ia butuh waktu untuk memahami detak jantungnya sendiri yang tak karuan. Kamarnya adalah satu-satunya tempat aman, satu-satunya benteng pertahanan di wilayah asing ini. Tapi suara Revan menghentikannya tepat saat tangannya hampir mencapai gagang pintu kamarnya.

"Anya."

Suara itu tidak keras, tapi membelah keheningan seperti pisau. Ia berhenti, punggungnya masih menghadap Revan, setiap otot di tubuhnya menegang.

"Jangan berjalan pergi dariku," kata Revan, suaranya terdengar lelah namun tegas. Ada nada perintah di dalamnya, tapi juga secercah permohonan yang aneh.

Perlahan, Anya berbalik. Revan berdiri di tengah ruang tamu yang remang-remang, sedang melepaskan dasi tuksedonya dengan satu gerakan kasar. Wajahnya kembali menjadi topeng dingin yang familier, tapi ada badai yang berkecamuk di matanya. Ia melemparkan dasinya ke sofa seolah benda itu mencekiknya.

"Apa-apaan itu tadi?" tanya Anya, suaranya bergetar karena campuran amarah, kebingungan, dan sisa-sisa adrenalin.

"Itu namanya improvisasi," jawab Revan datar, berjalan ke arah bar dan menuang segelas air putih.

"Improvisasi?" Anya tertawa tak percaya, suaranya terdengar tajam. "Kau menciumku di depan semua orang tanpa peringatan! Itu tidak ada dalam perjanjian! Itu melanggar semua aturan yang kau buat sendiri!"

"Perjanjian juga tidak menyebutkan kau boleh berdansa mesra dengan Daniel Wiratama," balas Revan, berbalik dan menatapnya, gelas di tangannya tergenggam erat. "Kau tahu persis siapa dia. Kau sengaja melakukannya untuk memprovokasiku."

"Aku hanya mencoba memainkan peranku! Menjadi ramah pada tamu!" bantah Anya, melangkah maju. "Sesuatu yang sepertinya sulit kau pahami!"

"Ramah?" Revan tertawa sinis, tawa yang tidak mengandung humor sedikit pun. "Kau membiarkan dia menyentuhmu, tersenyum padanya seolah kau terpesona oleh setiap kata bodoh yang keluar dari mulutnya. Di depan semua orang, di depan mitra bisnisku, di depan Eyang. Kau mempermalukanku."

"Mempermalukanmu?" Anya tak percaya mendengarnya. Rasa sakit yang aneh menusuk hatinya, lebih tajam dari amarahnya. "Ini semua tentang citramu, bukan? Tentang bagaimana kau terlihat di mata orang lain. Bukan karena kau peduli padaku!"

"Tentu saja ini tentang citraku!" sergah Revan, suaranya meninggi saat ia meletakkan gelasnya dengan kasar. "Kau membawa namaku malam ini. Apa yang kau lakukan, merefleksikan diriku. Saat kau berdansa dengan saingan terbesarku, kau membuatku terlihat lemah. Kau membuatku terlihat seperti pria yang tidak bisa mengendalikan tunangannya sendiri!"

"Jadi ciuman itu... hanya untuk pamer kekuatan? Untuk menandai teritorimu seolah aku ini propertimu?" tanya Anya, suaranya bergetar.

"Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki kerusakan yang kau buat," kata Revan, tatapannya tajam dan menusuk. "Aku harus memastikan semua orang di ruangan itu, terutama Daniel, tahu persis di mana posisimu. Tahu siapa pemilikmu."

Kata-kata itu seharusnya membuat Anya marah. Seharusnya membuatnya merasa terhina dan kecil. Tapi saat ia menatap Revan, yang berdiri di sana dengan napas memburu dan mata berkilat liar, ia tidak melihat seorang CEO yang dingin dan penuh perhitungan. Ia melihat sesuatu yang lain.

Ia melihat kepanikan di balik kemarahan itu. Ia melihat ketakutan di balik topeng dingin itu. Pria yang selalu memegang kendali ini, baru saja kehilangan kendalinya sepenuhnya, dan kini ia mati-matian mencoba merasionalisasikan tindakannya dengan logika bisnis yang kejam. Tapi itu tidak berhasil. Emosinya terlalu mentah, terlalu jelas.

"Kau cemburu," bisik Anya, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Kata itu seolah menggantung di udara, menyerap semua oksigen di ruangan itu dan mengubah seluruh dinamika di antara mereka.

Revan membeku. Topengnya retak, memperlihatkan keterkejutan murni di baliknya. Ia membuka mulutnya untuk menyangkal, untuk melontarkan bantahan sinis lainnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Untuk pertama kalinya, Revan Adhitama kehabisan kata-kata.

Anya telah melihatnya. Kebenaran yang tak terbantahkan.

Tanpa menunggu jawaban yang ia tahu tidak akan datang, Anya berbalik dan berjalan menuju kamarnya, kali ini dengan langkah yang mantap dan kepala tegak. Ia tidak lari. Ia tidak bersembunyi.

Ia menutup pintu kamarnya, menyandarkan punggungnya di sana, dan membiarkan napas yang sejak tadi ia tahan akhirnya terlepas. Ia menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya. Rasa ciuman itu masih tertinggal, sebuah hantu hangat yang terasa begitu nyata.

Revan Adhitama, pria yang membangun tembok es di sekeliling hatinya, pria yang hidup berdasarkan aturan dan kontrak, baru saja cemburu. Karena dirinya.

Dan kesadaran itu, entah bagaimana, terasa jauh lebih berbahaya daripada perjanjian apa pun yang pernah ia tanda tangani.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 19: Jarak Setelah Nyaris

    Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 18: Gema yang Berbeda

    Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 17: Tanpa Naskah di Pulau Dewata

    Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 16: Keheningan Setelah Badai

    Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 15: Gema Masa Lalu

    Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 14: Kebenaran Emosional

    Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status