共有

Bab 9: Milikku Malam Ini

作者: Fantashyt
last update 最終更新日: 2025-10-10 16:39:23

Pagi setelah malam soto ayam terasa aneh. Keheningan di penthouse itu tidak lagi terasa memusuhi, melainkan canggung dan penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan. Saat Anya keluar dari kamarnya, ia berpapasan dengan Revan yang baru saja selesai berolahraga, mengenakan kaus abu-abu yang memeluk tubuh atletisnya. Biasanya, mereka hanya akan bertukar anggukan singkat sebelum melanjutkan jalan masing-masing. Tapi pagi ini, Revan berhenti.

"Pagi," katanya, sebuah kata sederhana yang terdengar asing keluar dari mulutnya, seolah ia sedang mencoba sebuah bahasa baru.

"Pagi," balas Anya, sama canggungnya, sambil memeluk buku sketsanya lebih erat.

"Jumat malam ada acara penggalangan dana tahunan perusahaan. Kau harus ikut denganku," lanjut Revan, langsung kembali ke mode bisnis yang terasa lebih aman baginya. "Ini acara besar. Semua dewan direksi dan mitra penting akan ada di sana. Penampilan kita harus sempurna."

Anya menghela napas dalam hati. Kembali ke panggung sandiwara. "Baik," jawabnya singkat. "Ada naskah baru yang harus saya hafal? Mungkin tentang alergi makanan palsu atau kenangan liburan fiktif?"

Revan mengabaikan sindiran itu, tapi Anya melihat sudut bibirnya berkedut sedikit, menahan senyum. "Tidak ada naskah. Cukup jadi dirimu... versi yang ada di pesta kakekku. Elegan, tersenyum, dan terlihat seolah kau tidak bisa hidup tanpaku."

Lalu ia berlalu, meninggalkan Anya dengan perasaan campur aduk antara kesal dan geli yang aneh.

Jumat malam, Anya berdiri di depan walk-in closet-nya yang terasa seperti toko desainer. Deretan gaun "seragam kerja" tergantung rapi, semuanya pilihan Revan. Tapi malam ini, ia merasa sedikit memberontak. Ia tidak ingin menjadi boneka yang didandani. Matanya tertuju pada sebuah gaun yang ia beli sendiri beberapa waktu lalu dengan uang hasil kerja kerasnya di Kainara, sebelum perjanjian ini dimulai. Gaun berwarna merah marun yang elegan, dengan punggung sedikit terbuka. Itu adalah gaun miliknya, bukan milik Nyonya Adhitama palsu.

Saat ia keluar, Revan sudah menunggunya di ruang tamu, tampak luar biasa tampan dalam setelan tuksedo hitam yang dibuat khusus. Ia sedang memeriksa jam tangannya, tapi langsung mendongak saat mendengar langkah kaki Anya.

Kali ini, tatapannya saat melihat Anya bertahan lebih lama dari sepersekian detik. Matanya menyapu gaun itu, mengenali bahwa itu bukan salah satu dari pilihannya. Lalu tatapannya kembali ke wajah Anya, dan ada kilatan apresiasi yang tak terbantahkan di sana. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi keheningan itu terasa seperti pujian yang paling tulus.

"Kau siap?" tanyanya, mengulurkan lengannya.

Anya meletakkan tangannya di lengan Revan, merasakan otot yang keras di balik kain mahal itu. "Untuk pertunjukan?"

"Untuk pekerjaan," koreksi Revan, tapi matanya tidak sedingin biasanya saat mereka berjalan menuju lift.

Ballroom hotel bintang lima itu berkilauan dengan ribuan lampu kristal dan dipenuhi lautan manusia berbusana mahal. Begitu mereka melangkah masuk, Revan langsung berubah. Senyum menawan terpasang di wajahnya, dan ia menyapa para kolega dengan karisma yang mudah. Ia memperkenalkan Anya sebagai "tunangan saya yang cantik" dengan begitu mulus hingga Anya sendiri nyaris percaya. Ia memainkan perannya dengan sempurna, tertawa pada lelucon yang tidak lucu dan menjawab pertanyaan basa-basi dengan sopan, tangannya tak pernah lepas dari pinggang Anya.

Di tengah keramaian, seorang pria tampan dan karismatik dengan senyum yang terlalu lebar mendekati mereka. "Revan! Akhirnya kau menunjukkan harta karunmu. Tidak kusangka kau akan membawa pasangan secantik ini."

Revan sedikit menegang, senyumnya menjadi lebih kaku. "Daniel," sapanya dingin. "Kenalkan, ini Anya. Anya, ini Daniel Wiratama, dari Wiratama Group."

Anya langsung mengenali nama itu. Wiratama Group adalah saingan terbesar Adhitama Corporation. Daniel tersenyum lebar pada Anya, sama sekali mengabaikan Revan.

"Senang sekali bertemu denganmu, Anya. Aku tidak tahu Revan punya selera sebagus ini," kata Daniel, matanya menatap Anya dengan kekaguman yang terang-terangan. "Revan, teman lama, kau tidak keberatan kan kalau aku meminjam tunanganmu sebentar untuk berdansa? Lantai dansa terlihat sepi tanpanya."

Sebelum Revan sempat menjawab dengan penolakan yang sudah pasti, Daniel sudah mengulurkan tangannya pada Anya. Terjebak di antara dua raksasa bisnis, dan sedikit terdorong oleh keinginan jahil untuk memancing reaksi Revan, Anya menerima uluran tangan itu.

"Hanya satu lagu," kata Anya sambil tersenyum manis pada Revan, senyum yang menyiratkan tantangan.

Saat Daniel membawanya ke lantai dansa, Anya bisa merasakan tatapan tajam Revan membakar punggungnya.

"Jadi, bagaimana rasanya akan menikah dengan mesin seperti Revan?" tanya Daniel saat mereka mulai bergerak mengikuti irama musik yang lambat.

"Revan bukan mesin," jawab Anya, merasa perlu membela pria yang, suka atau tidak, adalah pasangannya malam ini.

"Oh, tentu saja. Dia lebih buruk. Setidaknya mesin bisa diprediksi," canda Daniel, tawanya ringan tapi matanya tajam. "Hati-hati, Anya. Pria seperti dia hanya melihat orang lain sebagai aset atau ancaman. Aku harap kau tahu di kategori mana kau berada."

Kata-kata Daniel menusuk tepat di sasaran, tapi Anya tetap memasang senyumnya. "Saya tahu persis di mana posisi saya."

Tiba-tiba, sebuah tangan dengan kuat namun lembut mendarat di pinggangnya, menariknya menjauh dari Daniel. "Maaf, Daniel. Waktu pinjammu sudah habis," kata Revan, suaranya terdengar ringan namun matanya berkilat berbahaya.

Daniel hanya tertawa dan mundur dengan anggun, seolah tujuannya telah tercapai. Revan langsung menarik Anya ke dalam pelukannya, melanjutkan dansa tanpa jeda. Genggamannya di pinggang Anya lebih erat dari yang seharusnya, dan tubuhnya terasa tegang karena amarah yang ditahan.

"Apa yang kau lakukan?" desis Anya pelan, senyum masih terpampang di wajahnya untuk penonton di sekitar mereka.

"Melakukan pekerjaanku," balas Revan, suaranya rendah dan serak di dekat telinga Anya, napasnya yang hangat membuat bulu kuduk Anya berdiri. "Melindungi aset perusahaan dari serigala."

"Aku bukan asetmu," bisik Anya marah.

"Oh, ya?" Revan menunduk, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Aroma parfumnya yang maskulin dan mahal membuat Anya sedikit pusing. "Kontrak di mejaku mengatakan sebaliknya. Dan malam ini, kau membawa namaku."

Mereka terus bergerak dalam diam, sebuah pulau ketegangan di tengah lautan tawa dan musik. Anya bisa merasakan detak jantung Revan yang cepat dan kuat di dadanya, atau mungkin itu detak jantungnya sendiri. Ia tidak tahu lagi.

Saat lagu hampir berakhir, Revan menariknya lebih dekat lagi, hingga tidak ada jarak sedikit pun di antara mereka. Ia menatap lurus ke mata Anya, tatapannya begitu intens hingga membuat Anya lupa cara bernapas.

"Kau milikku malam ini, Anya," bisiknya, setiap kata diucapkan dengan penekanan yang dalam dan posesif. "Jangan lupakan itu."

Lalu, di depan ratusan pasang mata, di bawah cahaya lampu kristal yang menyilaukan, ia menundukkan kepalanya dan mencium Anya.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 19: Jarak Setelah Nyaris

    Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 18: Gema yang Berbeda

    Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 17: Tanpa Naskah di Pulau Dewata

    Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 16: Keheningan Setelah Badai

    Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 15: Gema Masa Lalu

    Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 14: Kebenaran Emosional

    Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status