MasukKeesokan siangnya, Anya mendapati dirinya duduk di dalam mobil yang sama, di samping pria yang sama, menuju ke neraka versi lain: sebuah pusat perbelanjaan paling mewah di Jakarta. Jika kemarin ia merasa seperti debu di lobi Adhitama Tower, hari ini ia merasa seperti barang palsu di tengah etalase barang-barang asli.
Revan tidak membawanya ke toko-toko biasa. Sopir mengantar mereka ke pintu masuk VVIP, di mana seorang wanita berpenampilan sempurna yang memperkenalkan diri sebagai personal shopper sudah menunggu.
"Selamat siang, Bapak Revan, Nona Anya. Saya sudah menyiapkan beberapa pilihan di butik sesuai arahan Bapak," sapanya dengan senyum terlatih.
Anya hanya bisa mengikuti dalam diam saat mereka diantar ke sebuah butik privat yang pintunya tertutup untuk umum. Di dalamnya, rak-rak pakaian, deretan sepatu, dan lemari-lemari tas tangan tampak seperti instalasi seni. Harganya pun pasti setara dengan karya seni.
"Silakan duduk, Nona. Biarkan kami yang bekerja," kata sang shopper.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah dua jam paling memalukan dalam hidup Anya. Ia diperlakukan seperti manekin hidup. Gaun, blus, rok, dan celana silih berganti dipakaikan padanya. Revan duduk di sofa beludru, menyeruput espresso, dan hanya memberikan komentar singkat: "Terlalu mencolok," "Warnanya salah," "Tidak," atau sesekali, "Boleh juga."
Anya tidak punya hak suara. Setiap kali ia mencoba menunjuk sesuatu yang lebih sederhana, sesuatu yang lebih mencerminkan dirinya, Revan atau sang shopper akan menggeleng dengan sopan.
"Nona, selera Anda bagus sekali," kata sang shopper dengan diplomatis, "tapi untuk acara-acara yang akan Anda hadiri bersama Bapak Revan, kita butuh sesuatu yang lebih... statement."
Statement. Kata itu membuat Anya muak. Ia bukan pernyataan, ia adalah manusia.
Di tengah tumpukan kain mahal, mata Anya menangkap sebuah gaun sederhana yang tergantung di sudut. Gaun selutut berwarna biru langit, dengan potongan klasik tanpa hiasan berlebihan. Itu adalah satu-satunya pakaian di ruangan itu yang terasa seperti "dirinya".
"Saya mau coba yang itu," kata Anya, suaranya terdengar lebih tegas dari yang ia duga.
Sang shopper tampak ragu dan melirik ke arah Revan. Revan mengangkat sebelah alisnya. "Itu terlalu biasa, Anya. Kau bukan mau pergi ke acara arisan."
"Aku hanya ingin mencobanya," desak Anya, menatap lurus ke mata Revan. Untuk pertama kalinya, ia tidak memedulikan kontrak atau uang. Ia hanya ingin merasakan menjadi dirinya sendiri, bahkan hanya untuk lima menit di ruang ganti.
Revan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat pada sang shopper.
Saat Anya keluar dari ruang ganti, keheningan menyelimuti butik itu. Gaun itu pas di tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan sosoknya tanpa perlu berteriak. Warnanya membuat kulitnya tampak lebih cerah, dan kesederhanaannya justru memancarkan keanggunan yang tulus.
Ia melihat Revan, yang tadinya sedang memeriksa ponsel, kini terpaku menatapnya. Rahangnya sedikit mengeras, dan untuk sepersekian detik, topeng dinginnya retak. Anya melihat sesuatu di matanya—bukan penilaian seorang CEO terhadap asetnya, melainkan kekaguman tulus seorang pria terhadap seorang wanita. Itu hanya sekejap, secepat kilat, sebelum ia kembali memasang wajah datarnya.
"Ambil yang itu," kata Revan pada sang shopper, suaranya sedikit lebih serak dari biasanya. "Dan semua yang sudah kita pilih tadi. Kirim tagihannya ke kantor."
Ia bangkit, merapikan jasnya. "Kita selesai di sini."
Saat mereka berjalan keluar dari mal, dikelilingi oleh asisten yang membawa belasan tas belanja berlogo mewah, Anya merasa lebih kosong dari sebelumnya. Ia memiliki lemari penuh pakaian baru yang harganya mungkin setara dengan sebuah mobil, tapi ia merasa telah kehilangan sebagian kecil dari dirinya di dalam sana.
Di dalam mobil, Revan kembali sibuk dengan dunianya sendiri. Anya menatap kosong ke luar jendela, perutnya keroncongan karena melewatkan makan siang. Ia terlalu tegang untuk merasa lapar tadi.
Tiba-tiba, Revan berkata pada sopir, "Berhenti di kedai kopi depan."
Sopir itu tampak bingung. Kedai kopi itu kecil, sederhana, dan sama sekali bukan tempat yang biasa dikunjungi seorang Revan Adhitama. Namun, ia menepi.
"Tunggu di sini," kata Revan pada Anya, lalu keluar dari mobil.
Anya memperhatikannya dari jendela. Pria itu, dengan setelan seharga puluhan juta, masuk ke dalam kedai kopi sempit itu, membuat beberapa pengunjung menoleh kaget. Beberapa menit kemudian, ia kembali dengan sebuah kantong kertas cokelat.
Ia masuk ke mobil dan menyerahkan kantong itu pada Anya tanpa menatapnya. "Makanlah. Kau terlihat pucat."
Di dalamnya, ada secangkir kopi susu hangat dan sepotong cinnamon roll yang masih panas—aroma manisnya langsung memenuhi mobil. Itu adalah makanan yang sederhana, nyaman, dan sangat "Anya".
Anya menatap Revan, bingung. Pria yang sama yang baru saja menghabiskan miliaran rupiah untuk mendandaninya seperti boneka, kini memberinya roti seharga dua puluh ribu rupiah. Pria yang sama yang mengatakan perasaannya tidak ada dalam kontrak, entah bagaimana, bisa melihat bahwa ia butuh sesuatu yang nyata di tengah semua kepalsuan ini.
"Terima kasih," bisiknya pelan.
Revan hanya mengangguk singkat, matanya sudah kembali terpaku pada layar ponselnya. Tapi Anya tidak melewatkan bagaimana pria itu tidak langsung melanjutkan pekerjaannya. Selama beberapa detik, ia hanya duduk diam, menatap lurus ke depan, seolah sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Dan dalam keheningan itu, Anya mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya pria yang duduk di sampingnya ini?
Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me
Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny
Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke
Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem
Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua
Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun







