LOGINAnya terbangun karena cahaya. Bukan cahaya matahari pagi yang hangat yang biasa menyelinap melalui jendela apartemennya, melainkan cahaya abu-abu yang dingin dan menyilaukan yang membanjiri ruangan melalui dinding kaca raksasa. Untuk sesaat, ia bingung. Seprai sutra terasa asing di kulitnya, dan keheningan di sekelilingnya begitu total hingga terdengar seperti desingan.
Lalu ia ingat. Ini bukan kamarnya. Ini adalah kamar utama di penthouse Revan Adhitama. Sangkar emasnya.
Ia meraih ponselnya di meja nakas marmer. Notifikasi dari bank masih ada di sana, deretan angka nol yang terasa seperti vonis. Dengan satu ketukan, ia mentransfer sejumlah uang untuk melunasi utang bank, lalu mengirim pesan kepada Bu Sari, sang penjahit, memberitahukan bahwa gaji yang tertunda akan segera dibayarkan. Seharusnya ia merasa lega, bahagia, bahkan menang. Tapi yang ada hanyalah kehampaan yang aneh.
Dengan langkah gontai, ia menjelajahi apartemen itu. Ruang tamunya yang luas terasa seperti lobi hotel bintang lima yang tidak berpenghuni. Dapurnya berkilauan dengan peralatan baja tahan karat yang tampak belum pernah tersentuh. Di sana, seorang wanita paruh baya berseragam abu-abu sedang mengelap meja yang sudah bersih.
"Selamat pagi, Nona," sapa wanita itu dengan hormat, sedikit terkejut. "Saya Lastri, asisten rumah tangga di sini. Bapak Revan sudah berangkat sejak subuh. Apa Nona ingin sarapan? Saya bisa siapkan omelette atau..."
"Tidak, terima kasih, Bu Lastri," potong Anya lembut, berusaha tersenyum. "Saya biasa buat kopi sendiri."
Kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang normal, sesuatu yang bisa ia kendalikan, terasa begitu mendesak. Ia membuka lemari es yang sangat besar dan hanya menemukan air mineral, beberapa botol jus organik, dan sekotak telur. Tidak ada sisa makanan semalam, tidak ada saus sambal, tidak ada kekacauan hidup yang biasa ia temukan di kulkasnya sendiri.
Saat ia sedang mencari bubuk kopi, sebuah suara dingin mengejutkannya dari belakang.
"Lastri yang akan membuatkan kopi untukmu."
Anya berbalik dan mendapati Revan berdiri di ambang pintu dapur, sudah rapi dengan kemeja biru tua dan celana bahan. Ia pasti baru kembali dari pusat kebugaran di lantai bawah. Rambutnya masih sedikit basah, dan ia membawa aura energi yang tajam.
"Aku bisa buat sendiri," jawab Anya, menutup pintu lemari sedikit lebih keras dari yang seharusnya.
Revan mengabaikannya dan mengambil sebotol air dari kulkas. "Ada beberapa aturan selama kau tinggal di sini," katanya, nadanya kembali seperti seorang CEO yang sedang memberikan pengarahan. "Satu: Lastri yang mengurus semua keperluan rumah tangga. Makanan, cucian, kebersihan. Jangan merepotkannya dengan melakukan hal-hal yang bukan tugasmu."
Ia berhenti, menatap Anya lekat. "Dua: area kerjaku di sayap kanan apartemen ini terlarang untukmu. Begitu juga sebaliknya, aku tidak akan masuk ke kamarmu. Kita butuh ruang pribadi."
"Terdengar seperti penjara yang sangat mewah," gumam Anya.
"Anggap saja begitu jika itu membuatmu lebih mudah," balas Revan tanpa emosi. "Tiga, dan ini yang paling penting: di luar apartemen ini, kita adalah pasangan yang sedang jatuh cinta. Di dalam, kita adalah dua orang asing yang berbagi atap. Jangan lupakan batasan itu."
Setelah menyampaikan titahnya, ia berbalik untuk pergi. Amarah yang semalam sempat padam kini kembali menyala di dalam diri Anya. Ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi pajangan tak bernyawa di rumah ini.
Dengan cepat, ia mengambil satu-satunya barang pribadi yang ia bawa dari apartemennya—sebuah bingkai foto kecil berisi potret ibunya yang sedang tertawa—dan berjalan ke ruang tamu. Dengan sengaja, ia meletakkan bingkai itu di atas meja konsol yang kosong di dekat jendela, sebuah titik kehangatan di tengah lautan monokrom yang dingin.
Revan, yang hendak masuk ke koridor menuju ruang kerjanya, berhenti. Ia melihat bingkai foto itu. Matanya menyipit sejenak, sebuah reaksi kecil yang nyaris tak terlihat. Anya menahan napas, menunggu protes atau perintah untuk menyingkirkannya.
Tapi Revan tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap bingkai itu selama beberapa detik, lalu kembali menatap Anya dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Bima sudah menjadwalkan ulang pertemuanku besok siang," katanya, mengubah topik pembicaraan. "Kosongkan jadwalmu. Kita akan pergi berbelanja."
Anya mengerutkan kening. "Berbelanja? Untuk apa?"
Tatapan Revan menyapu penampilan Anya dari atas ke bawah—kaus longgar dan celana tidur yang ia kenakan—dengan ekspresi sedikit meremehkan.
"Seorang calon Nyonya Adhitama tidak bisa terus-terusan memakai pakaian seperti itu," katanya dingin. "Publik akan melihat kita bersama. Penampilanmu adalah bagian dari pekerjaanmu sekarang. Anggap saja... pembelian seragam kerja."
Dengan kata-kata terakhir yang menusuk itu, ia berbalik dan menghilang di koridor, meninggalkan Anya sendirian di ruang tamu yang luas, ditemani keheningan, pemandangan kota yang bisu, dan satu-satunya foto yang mengingatkannya pada siapa dirinya sebelum ia menjual namanya.
Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me
Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny
Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke
Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem
Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua
Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun







