Share

Bab 8: Aroma yang Terlupakan

Penulis: Fantashyt
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-09 17:32:11

Hari-hari berikutnya terasa seperti hidup dalam sebuah lukisan surealis yang indah namun tak bernyawa. Anya menghabiskan sebagian besar waktunya di Kainara, menenggelamkan diri dalam satu-satunya dunia yang terasa nyata. Di sana, di antara gulungan kain sutra dan benang warna-warni, ia adalah dirinya sendiri. Uang dari Revan telah menjadi transfusi darah yang menyelamatkan bisnis ibunya. Utang-utang yang dulu terasa seperti batu besar yang menekan dadanya kini telah lenyap. Ia bisa membayar gaji Bu Sari dan Rina tepat waktu, bahkan mulai memesan kain-kain berkualitas tinggi yang selama ini hanya bisa ia impikan. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia bisa merancang dengan napas lega, tanpa dibayangi oleh hantu kebangkrutan.

Namun, setiap kali ia melangkah masuk ke dalam lift pribadi yang membawanya ke puncak langit, perasaan lega itu menguap, digantikan oleh kesepian yang dingin dan menggigit. Ia dan Revan hidup seperti dua satelit yang mengorbit di galaksi yang sama namun di jalur yang berbeda, nyaris tak pernah bersinggungan. Mereka berpapasan di koridor panjang dengan anggukan singkat yang canggung. Mereka tidak pernah sarapan atau makan malam bersama. Revan berangkat sebelum matahari terbit, saat kota masih diselimuti selimut kelabu, dan pulang larut malam ketika Anya sudah lama terlelap, lalu langsung menghilang ke dalam ruang kerjanya yang terlarang. Aturan nomor tiga—di dalam, kita adalah orang asing—ditegakkan dengan disiplin militer yang kaku.

Suatu sore, setelah seharian berkutat dengan laporan keuangan dan bertemu dengan pemasok baru, Anya kembali ke penthouse dengan perasaan lelah yang menusuk hingga ke tulang. Kepalanya pusing, dan perutnya terasa kosong. Bu Lastri, asisten rumah tangga yang efisien itu, sudah pulang. Di atas meja makan yang megah, di bawah tudung saji perak yang berkilauan, terhidang makan malam untuknya: sepotong steak salmon panggang dengan asparagus yang ditata sempurna. Makanan itu sehat, mahal, dan sama sekali tidak memiliki jiwa.

Anya menatap hidangan itu dengan perasaan muak. Ia merindukan sesuatu yang hangat. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang bisa menghiburnya, bukan hanya mengisi perutnya. Ia merindukan aroma masakan ibunya, aroma yang bisa membuatnya merasa aman.

Sebuah ide impulsif, sebuah percikan pemberontakan kecil, muncul di benaknya. Melanggar aturan nomor satu Revan—biarkan Lastri yang mengurus semuanya—terasa sangat menggoda. Ini bukan lagi tentang kenyamanan, ini tentang merebut kembali sejengkal teritori di dalam sangkar emas ini.

Setengah jam kemudian, dapur yang biasanya senyap dan berkilauan itu telah bertransformasi. Aroma bawang putih dan bawang merah yang ditumis dengan sedikit minyak kelapa menyebar, berbaur dengan wangi serai yang digeprek, jahe yang diiris tipis, dan daun jeruk yang semerbak. Anya sedang memasak soto ayam—resep andalan ibunya, obat mujarab untuk segala jenis hari yang buruk dan hati yang gundah. Ia bergerak dengan lincah di antara meja marmer dan kompor canggih, memotong seledri dengan irama yang mantap, merebus bihun hingga lembut, dan mengulek cabai rawit untuk sambal. Untuk pertama kalinya, apartemen itu tidak lagi beraroma seperti lobi hotel mewah, melainkan seperti sebuah rumah.

Ia sedang mengaduk kuah kaldu yang keemasan, mencicipinya sedikit dan menambahkan sejumput garam, ketika ia mendengar suara denting lembut yang khas dari lift pribadi yang tiba. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Revan. Pria itu pulang lebih awal dari biasanya. Anya melirik jam digital di oven; baru pukul setengah delapan. Biasanya Revan baru pulang lewat dari jam sepuluh. Ia bersiap menerima omelan dingin karena telah mengacaukan dapur yang sempurna dan meninggalkan aroma bawang di seluruh penjuru apartemen.

Langkah kaki Revan yang mantap berhenti tepat di ambang pintu dapur. Anya tidak berani berbalik, terus mengaduk kuah sotonya dengan konsentrasi penuh seolah sedang melakukan operasi bedah yang rumit. Ia bisa merasakan tatapan pria itu di punggungnya, sebuah tatapan yang terasa berat dan penuh selidik.

Keheningan berlangsung begitu lama hingga terasa canggung dan memekakkan telinga. Anya mengira Revan akan marah, akan mengeluarkan komentar sinis tentang bagaimana ini bukan tugasnya. Tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Perlahan, dengan sangat perlahan, ia memberanikan diri untuk menoleh.

Revan hanya berdiri di sana, jasnya tersampir di lengan, dasinya sudah dilonggarkan. Ekspresinya aneh. Bukan marah, bukan juga dingin seperti biasanya. Ada sesuatu yang lain di matanya yang gelap itu—kebingungan, keterkejutan, dan secercah... nostalgia? Hidungnya bergerak sedikit, seolah mencoba mengidentifikasi sebuah aroma yang sudah lama terlupakan dari sudut ingatannya yang paling dalam.

"Maaf," kata Anya cepat, memecah keheningan yang tegang. "Saya tidak bermaksud mengacaukan dapur. Saya hanya... ingin makan sesuatu yang hangat. Saya akan membersihkan semuanya setelah ini, saya janji."

Revan tidak menanggapi permintaan maafnya. Matanya malah tertuju pada panci besar di atas kompor, pada kuah kaldu yang mengepulkan uap wangi. "Apa itu?" tanyanya, suaranya lebih pelan dari biasanya, nyaris seperti bisikan.

"Soto ayam," jawab Anya, sedikit terkejut oleh nada suaranya.

Revan melangkah masuk ke dapur, meletakkan tas kerjanya di atas meja bar dengan gerakan pelan. Ia mendekati kompor, menatap kuah kaldu yang keemasan. "Baunya... seperti dulu."

Anya mengerutkan kening. "Dulu?"

Revan sepertinya baru sadar ia telah berbicara terlalu banyak, telah membiarkan sebuah celah terbuka di benteng pertahanannya. Ia langsung menegakkan tubuhnya, topeng dinginnya kembali terpasang dengan cepat. "Bukan apa-apa."

Tapi sudah terlambat. Anya telah melihatnya—celah kecil di baju zirahnya. Sebuah kilasan kerapuhan yang begitu singkat namun begitu nyata.

Keberanian yang entah datang dari mana mendorong Anya untuk bertanya, sebuah tawaran yang terasa seperti pertaruhan besar. "Anda... mau?"

Revan menatapnya, lalu menatap mangkuk-mangkuk kosong yang sudah Anya siapkan di meja. Pertarungan batin terlihat jelas di wajahnya. Mengatakan 'ya' berarti melanggar aturannya sendiri tentang menjaga jarak. Mengatakan 'tidak' berarti menolak satu-satunya kehangatan yang ada di apartemen dingin ini, kehangatan yang jelas-jelas telah menyentuh sesuatu di dalam dirinya.

Setelah jeda yang terasa seperti selamanya, ia mengangguk singkat. "Sedikit saja."

Anya hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dengan gerakan yang sedikit terlalu cepat karena gugup, ia menyiapkan semangkuk soto untuk Revan, lengkap dengan nasi hangat, suwiran ayam, tauge renyah, dan taburan bawang goreng serta seledri. Ia meletakkannya di meja bar, di samping tas kerja Revan yang terbuat dari kulit mahal.

Alih-alih membawanya ke meja makan yang megah dan formal, Revan menarik kursi bar dan duduk di sana, di wilayah netral dapur. Anya pun melakukan hal yang sama, duduk di seberangnya dengan mangkuknya sendiri. Mereka makan dalam keheningan, hanya dipisahkan oleh uap soto yang mengepul di antara mereka.

Ini adalah makanan pertama yang mereka bagi bersama. Bukan sebagai bagian dari sandiwara, bukan di depan keluarga atau kolega, tapi hanya mereka berdua.

"Enak," kata Revan tiba-tiba, setelah beberapa suap. Pujian itu terdengar canggung, seolah kata itu terasa asing di lidahnya, tapi nadanya tulus. "Lebih enak dari yang biasa kubeli di restoran."

"Resep ibu saya," jawab Anya pelan, sebuah pengakuan kecil yang terasa seperti menawarkan sepotong hatinya.

Revan mengangguk, matanya kembali menatap mangkuknya. "Ibuku juga dulu sering membuatnya."

Dan di sana, di tengah dapur yang berkilauan, di atas meja bar yang dingin, dua orang asing yang terikat oleh kontrak itu berbagi lebih dari sekadar makan malam. Mereka berbagi secuil kenangan, sekelumit kerapuhan. Aturan nomor tiga telah hancur berkeping-keping, larut bersama kuah soto yang hangat.

Setelah mangkuknya kosong, Revan bangkit. Keajaiban itu seolah sirna. Ia kembali menjadi CEO Adhitama yang menjaga jarak. "Terima kasih," katanya formal, suaranya kembali datar. "Pastikan Lastri yang membersihkannya besok."

Lalu, ia mengambil tasnya dan menghilang ke ruang kerjanya, seolah makan malam itu tidak pernah terjadi, seolah ia melarikan diri dari kehangatan yang baru saja ia rasakan.

Anya ditinggal sendirian, menatap dua mangkuk kosong di atas meja. Apartemen itu kembali terasa sunyi. Tapi kali ini, kesunyiannya terasa berbeda. Kurang dingin, kurang kosong.

Malam itu, untuk pertama kalinya, sangkar emas itu terasa sedikit lebih seperti rumah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 19: Jarak Setelah Nyaris

    Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 18: Gema yang Berbeda

    Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 17: Tanpa Naskah di Pulau Dewata

    Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 16: Keheningan Setelah Badai

    Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 15: Gema Masa Lalu

    Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 14: Kebenaran Emosional

    Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status