Hutan itu begitu sedap dipandang. Pepohonan hijau tumbuh secara teratur. Aneka macam bunga bermekaran. Rumput pendek rapi. Tidak ada satu pun daun mati tergeletak. Daun-daun seakan tak pernah tua dan gugur. Hutan itu sangat luas seakan tiada ujung. Jaka menghela kudanya sehingga berlari cukup kencang. Otaknya berpikir keras. Kepada siapa bertanya kalau satupun makhluk tidak dijumpai? Ia tidak masalah jika kemalaman di jalan. Hutan ini cukup nyaman untuk beristirahat, tidak terlihat binatang melata apalagi binatang buas berkeliaran. Ia bisa tidur di atas rumput yang empuk dengan aman.Jaka sudah cukup jauh memasuki hutan, tapi belum ada tanda-tanda hutan akan berakhir. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah deretan pepohonan.Hutan ini seperti taman kota di negeri manusia yang terawat secara apik. Wangi bunga menyelimuti udara sehingga menyegarkan pernafasan. Langit bersih tanpa awan. Matahari hampir tergelincir di ufuk ketika Jaka tiba di sebuah rumah mungil terbuat dari kayu. I
Jaka bangun pagi-pagi menjelang matahari menampakkan sinarnya. Ia nyenyak sekali tidur di balai kayu. Tidak ada nyamuk mengganggu seperti di kampungnya. Di sudut balai sudah tersedia kendi berisi air untuk minum dan cuci muka.Minarti muncul dari dalam rumah, dan berkata, "Saya sudah sediakan air untuk tuan.""Ibu baik sekali," puji Jaka sambil mengucurkan air kendi ke wajahnya. "Aku jadi merepotkan.""Saya tidak punya apa-apa lagi selain air, tuan," jawab Minarti. "Hanya itu yang dapat saya suguhkan untuk pagi ini."Jaka menuangkan air kendi ke dalam mulut, kemudian meminumnya. "Air ini menyegarkan. Suami ibu sudah pulang?""Belum, tuan," sahut Minarni dengan air muka gelisah. "Saya kuatir terjadi apa-apa dengannya."Jaka tersenyum dan berusaha menghibur, "Perkampungan di barat daya aman, tidak ada gangguan pemberontak atau orang-orang jahat."Mereka jarang terdengar berbuat kerusuhan di barat daya karena istana adipati terdapat di daerah itu. Banyak prajurit kadipaten berjaga-jaga d
Jaka melambatkan lari kudanya ketika di kejauhan terlihat gapura kampung. Ada dua prajurit berjaga di pos. Ia mulanya akan mengambil jalan yang tidak biasa, tapi kuatir penjaga curiga karena bangsawan Asir selalu mengambil jalan umum.Lagi pula, perut Jaka mulai terasa lapar. Ia harus segera menemukan kedai nasi sebelum terjadi pemberontakan di perutnya. Minarti benar, seharusnya ia tidak memberikan semua perbekalan sehingga perutnya dapat bersabar sampai menjelang makan siang. Satu prajurit berbadan kekar keluar dari dalam pos sambil membawa tombak ketika Jaka memasuki gapura. Ia membentangkan tombak menghalangi jalan kuda. Jaka menghentikan kudanya, kemudian turun dan memberi hormat dengan menganggukkan kepala sedikit. "Aku adalah Pangeran Kelana dari klan bangsawan Asir.""Tolong tunjukkan tanda pengenal, tuan," pinta prajurit ramah.Jaka mengeluarkan keping kayu dari balik baju. Keping pengenal itu diperoleh dari Iblis Cinta.Prajurit memeriksa tanda khusus pada keping kayu, kem
Jaka menghampiri tiga pendekar yang sedang melepas ikatan kuda mereka di depan kedai. Di wajah mereka terpancar kepuasan atas hidangan yang sangat lezat itu."Ada apa, anak muda?" tanya pendekar berbadan ceking melihat Jaka mendatanginya.Jaka tersenyum kecil. "Maaf, Pak. Itu kuda saya."Pria separuh baya itu seolah baru sadar. "Oh, iya. Kuda ini sangat bagus. Maaf, anak muda. Aku hanya melihat warnanya, tapi bentuknya beda.""Tidak apa. Pendekar terpandang di kampung ini juga bisa silap.""Sudahlah, anak muda. Jangan banyak basa-basi. Ada perlu apa denganku?""Saya ingin berkelana ke negeri manusia, Pak.""Gampang sekali itu. Kau tinggal berendam di mata air pengukuhan, kemudian memilih satu dari empat gerbang yang ingin kau tuju. Aku kira bangsawan Asir akan melewati tes kelayakan dengan mudah karena terkenal cinta damai.""Aku sudah tahu kalau empat gerbang itu.""Lalu apa lagi yang kau ingin tahu?""Aku ingin bulan madu ke negeri manusia.""Wah, kalau itu susah mendapat ijin dari b
Jaka duduk di panggung kehormatan dan jadi pusat perhatian. Mereka heran bagaimana pemuda itu dapat menjadi tamu istimewa Nyai Penghasut Birahi. Baru pertama kali terjadi bangsawan Asir duduk bersanding dengan tokoh utama golongan putih dan bangsawan berpengaruh di kadipaten.Gagak Jantan, tokoh golongan putih yang paling disegani di wilayah barat, sempat dibuat heran dan bertanya, "Siapa kau, anak muda? Kau jadi tamu kehormatan tentu bukan karena wajahmu sangat tampan. Kau apanya Nyai?""Aku Pangeran Kelana," sahut Jaka tenang. "Aku belum pernah bertemu dengan sang penari.""Jangan bohong, anak muda. Apa kau calon suaminya? Nyai Penghasut Birahi tidak mungkin mengundangmu secara khusus kalau tidak memiliki kedudukan istimewa. Aku baru melihatmu. Kau pasti bangsawan Asir yang baru keluar mengembara.""Kau betul, Gagak Jantan," kata Jaka. "Aku mengembara untuk suatu keperluan.""Keperluanmu hanya untuk bersenang-senang, anak muda.""Bersenang-senang dengan cara yang tidak biasa.""Maksu
Mereka mendarat di atap dengan sempurna, tanpa menimbulkan suara pada genteng sirap yang diinjaknya. Nyai Penghasut Birahi yang bernama asli Minarti itu menutup kembali kisi-kisi atap. Kemudian ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan di atas sirap."Bagaimana mereka bisa percaya keping emas sisa lima?" tanya Jaka heran. "Padahal semuanya cuma ada delapan puluh keping?"Minarti tersenyum kecil. "Itulah laki-laki. Mereka tidak melihat caraku menghitung, mereka melihat tubuhku yang tanpa busana.""Kau pasti mempengaruhi mereka dengan ajian Pemikat Cinta. Secepat apapun kau menghitung, tokoh utama pasti dapat melihat kecurangan itu.""Hanya calon terpilih yang tidak tertarik melihat tubuhku, padahal sangat dekat.""Aku bukan calon terpilih," bantah Jaka."Sudahlah, jangan berdusta di depanku. Sepasang Gagak Putih pasti tahu kau adalah manusia. Maka itu aku segera membawamu ke atap karena Gagak Betina sangat merindukan untuk bercinta dengan manusia.""Gagak Jantan pasti marah kalau benar
Malam sangat larut ketika Jaka tiba di ujung kampung. Ia melambatkan lari kudanya. Suasana sangat sepi. Penduduk sudah beranjak ke peraduan untuk menyongsong hari esok. Rumah-rumah ini disewakan, tapi pemilik satu pun tak ada yang berkeliaran di luar. Apa mungkin sudah penuh? Barangkali Jaka harus tidur seperti gelandangan. Tapi jadi gelandangan juga susah karena tidak ada tempat untuk bergeletak. Tidur di tengah jalan takut terlindas kereta kuda yang sering lewat. Lagi pula mana ada bangsawan jadi gembel? Kecuali bangsawan bangkrut!Jaka tersenyum saat melihat kakek berjubah hitam duduk di beranda sebuah rumah dengan secangkir minuman di meja. Akhirnya ada juga rumah sewa yang kosong. Ia turun dari kuda dan memasuki halaman. Di pintu pagar terdapat sederet tulisan dengan aksara kuno. Barangkali papan nama rumah sewa ini."Permisi, Kek," kata Jaka. "Saya kemalaman di jalan. Apa ada kamar untuk bermalam?"Kakek berjanggut pendek itu memandang heran. "Apa kau tidak baca tulisan di depan
"Kau mau bermalam di sini, anak muda?" tanya Tabib Kebab. "Bagaimana kalau prajurit kerajaan datang lagi?""Mereka pasti mengira aku sudah pergi ke perbatasan dengan jalan kaki," sahut Jaka. "Jadi kemungkinan kecil datang lagi."Tabib Kebab tersenyum. "Kau cerdik, anak muda. Kau bisa memperdaya prajurit kerajaan, berarti kau juga bisa menipu aku dengan mudah.""Jadi kau curiga aku akan menipumu, Kek?" tatap Jaka tidak enak. "Baiklah, aku bayar di muka. Berapa sewa kamarnya?""Kamar itu tidak disewakan, anak muda. Aku menerimamu karena kau kesulitan mencari tempat bermalam.""Lalu apa maksudnya aku bisa menipumu dengan mudah?" tanya Jaka penasaran.Tabib Kebab menatap dengan selidik. "Mengapa kau mengajak bertukar jubah? Apa jubah itu bermasalah?""Katamu jubah ini biasa dipakai para pangeran. Aku bukan pangeran. Maka itu aku mengajak tukaran.""Kau adalah bangsawan Asir. Jadi sangat pantas memakai jubah itu. Yang aku heran, bangsawan Asir memiliki jubah tersendiri, mengapa kau tidak me