Lampu padam… Dua orang yang berada di dalam kamar itu bingung. “Aku akan coba keluar.” Si pria yang berinisiatif untuk keluar. Menyorot senter di ponsel. Sampai seorang pria juga keluar—mereka saling menyorot cahaya dari ponsel. Dan… “AAAA!” saling berteriak. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Arsen yang baru keuar tapi malah bertemu dengan Edward. Edward menatap bosnya yang hanya menggunakan bathrobe. “Bos…” lirihnya. “Kenapa?” tanya Arsen. “Aku ke sini berama Yerin, kenapa?” Edward mengerjap pelan. “Tapi hotel ini tidak selera anda, sir.” Arsen berkacak pinggang. “Benar, karena hotel ini seleramu.” Arsen menunjuk Edward. “Intinya urusi urusan masing-masing.” Akhirnya lampu kembali menyala. Arsen bersiap kembali ke dalam kamar. “Tunggu, Sir. Sebenarnya saya ingin bertanya.” Edward menoleh ke belakang sebentar sebelum mendekat ke arah Arsen. “Kenapa? kenapa lagi?” sedikit ngegas. Edward mengeluarkan kotak dari saku celananya. “Sebenarnya saya berniat
21++++ “Kenapa kamu begitu murung?” tanya Arsen. Yerin menoleh. “Maaf. Hari ini aku makan mie…” lirihnya. “padahal aku sudah berjanji akan makan makanan yang lebih sehat.” “Tidak masalah.” Arsen mengusap punggung tangan Yerin. “makan apa yang ingin kamu makan.” Yerin menatap suaminya yang sibuk menyetir. “Maaf, gara-gara aku. Aku harus berusaha lebih keras.” “Aku bilang tidak apa-apa, sayang.” Arsen menepikan mobilnya. “Aku tidak masalah…” “Jangan khawatir.” Arsen mengusap pipi Yerin. “Aku tahu kamu ingin sekali punya anak. Aku jadi merasa bersalah.” Arsen menghela nafas pelan. “Aku memang ingin, tapi aku juga tidak ingin menyiksa istriku sendiri.” “Intinya kita berusaha saja semampu kita. Mau kamu hamil atau tidak, aku tetap mencintai kamu.” Yerin mendekat—memeluk suaminya. “Terima kasih.” “Coba kamu pegang yang bawah sayang…” lirih Arsen. Yerin melepaskan pelukannya. “Kita sedang di jalan loh…” “Memangnya kenapa?” tanya Arsen. “Kita cari tempat kalau begitu
“Bukankah ini bagus? kita jadi bisa berkumpul bersama. Apalagi sebentar lagi kita akan lulus dan pergi masing-masing,” ucap Willie. Gwen menyusul setelah les. Les untuk ujian masuk perguruan tinggi. Gwen tidak lolos jalur pertama yaitu lewat Rapot. Jadi, Gwen harus belajar untuk ikut ujian masuk universitas. “Benar.” Vando mengangguk. “Aku tidak sabar melihatmu botak,” ucap Brayson pada Vando. “Aku botak pun masih tampan,” ucap Vando percaya diri. Gwen tertawa. “Kalian tidak tahu kan? Dia memikirkan hal itu berhari-hari. Dia takut wajahnya tidak tampan lagi saat rambutnya dicukur.” “Hahaha…” Ernando tertawa. “Aku juga tidak sabar melihatmu botak.” Vando menghembuskan nafasnya. “Aku tidak bisa membayangkan selama 4 tahun aku seperti itu. Aku juga harus menggunakan seragam ke manapun aku pergi.” Bastian melempar Vando dengan kulit kacang. “Kau itu niat atau tidak jadi polisi?” “Lumayan,” Vando mengangguk. “Aku suka hal-hal menantang. Aku sudah merencanakan ingin masu
Di sana empat laki-laki sedang melongo. Barang belanjaan yang ada pada Willie pun terjatuh. Eve mengerjap—mereka berempat di sana! mereka berempat pasti melihatnya dan Bastian ciuman. Seketika Eve mendorong Bastian sekuat tenaga. “Akh!” Bastian mundur terbentur dengan meja. “Bas—bastian!” Eve segera mendekat. “Maaf.” Bastian menerima uluran tangan Eve. meskipun ia tidak terjatuh sepenuhnya—tapi pantatnya terbentur dengan meja. “Maaf..” lirih Eve. “Mana yang sakit?” “Pantat.” Eve mengerjap. “Pantat?” ulangnya dengan kaget. “Kalian?!” teriak Willie. “Apa yang kalian lakukan?” teriaknya lagi. Brayson berlari—menarik Eve menjauh dari Bastian. “Apa yang kau lakukan pada sahabatku?” Bastian melotot—kehabisan kata-katanya. “Sejak kapan kau menjadi sahabat Eve?” Ernando dan Vando mendekat. “Apa yang kalian lakukan di sini? hanya berdua? Kalian…” lirih Vando. Ernando menggeleng pelan. “Bastian… Bastian kau—” “Teman-teman!” teriak Eve. “Tidak seperti yang kalian bay
Bastian sangat menyayangi Eve. Ia sudah menolak permintaan Eve berkali-kali. Alasannya, karena ia takut… Takut kalau jiwa iblisnya keluar saat berduaan dengan Eve. Karena Bastian sangat menyayangi dan menjaga Eve, ia tidak ingin menyentuh Eve terlalu jauh. Apalagi ia sudah diperingati oleh kakaknya. Teringat wajah kakaknya yang memakinya saja membuatnya merinding. Tapi, untuk kali ini. sebelum mereka mejalani hubungan jarak jauh, Bastian akan membawa Eve. Sebentar saja, sebelum matahari terbenam. Lalu ia akan mengantar Eve pulang ke rumah. Ia sudah memastikan tidak ada orang di Apartemennya. “Anak-anak lain juga sering ke sini ya?” tanya Eve. Mereka sudah berada di lift dengan tangan yang saling menggenggam. “Iya, aku sudah menyuruh mereka untuk pulang.” Eve mengerjap. Entah kenapa pikirannya ke mana-mana saat membayangkan hanya dirinya dan Bastian di Apartemen. “Me-memangnya kenapa? kita bisa ke sana meski ada teman-teman kamu.” “Semuanya anak basket. Kam
Datang ke sekolah sudah tidak ada artinya. Eve sudah diterima di Universitas jurusan kedokteran. Kampus tidak jauh dari rumahnya sehingga tidak perlu mencari tempat tinggal baru. Datang ke sekolah hanya bermain dan bercengkrama dengan teman-teman selagi menunggu pengumuman kelulusan. Setiap hari juga, Bastian akan menjemputnya dengan motor. Lalu mengantarnya lagi. Eve memeluk perut Bastian dari belakang. Helm pink yang disiapkan Bastian hanya boleh digunakan olehnya. Eve tersenyum menyandarkan kepalanya di punggung Bastian. Hingga motor pun berhenti tepat di depan rumahnya. Eve berhenti menyerahkan helm pink itu pada Bastian. “Kenapa?” Bastian meneliti wajah Eve yang sedikit murung mungkin. Eve menggeleng. “Tidak…” “Kenapa?” tangan Bastian terulur mengusap pipi Eve. “Katakan padaku.” Bastian menatap rumah Eve. “Orang tuamu belum pulang?” ia turun dari motornya. Menarik Eve ke dalam rumah. “Langsung masuk. Jangan ke mana-mana. kalau mau jajan biar aku yang beli.”