“Morning.” Yerin bertopang dagu menatap Arsen yang memejamkan mata. Bukannya bangun—tapi malah menarik pinggang istrinya. “5 menit.” “Seperti itu terus.” Yerin berdecak pelan. “Aku akan membuat sup. Kamu pasti pengar.” Yerin bangkit—tidak menghiraukan suaminya yang masih ingin memeluknya. Yerin pergi ke dapur untuk memasak sup. Sendiri—tanpa ikut campur pelayan yang ada di sana. Ia memasak sup dengan telaten. Setelah siap—ia membawa ke atas. Dilihat suaminya tercinta belum bangun. Malah terlelap di bawah selimut. “Kamu harus ke kantor loh…” Yerin mendekat. membawa sup yang ia bawa. Menaruhnya di atas nakas samping ranjang. Arsen bangun—ia bersandar pelan. memejamkan mata—kepalanya yang berat. Efek mabuk semalam. “Aku tidak ingin pergi ke kantor.” “Lalu? kamu mau ikut aku ke sekolah?” tanya Yerin. Arsen membuka mata. Istrinya yang selalu cantik meski hanya menggunakan piyama santai. “Tidak mungkin.” Arsen tertawa pelan. “Ayo bangun.” Yerin mengusap r
21++ Benar sekali kalau Arsen mabuk berbahaya. Selain karena kelakuan lucu pria itu saat mabuk, tapi juga…. Saat kegiatan panas mereka… Arsen menjadi lebih ganas, mungkin? Yerin menatap cermin yang menampilkan mereka berdua. Kedua tangannya memegang erat wastafel, sedangkan suaminya menghujaminya dari belakang. Keringat sudah membanjiri tubuh mereka. Yerin menggigit bibirnya pelan. milik suaminya yang memenuhi miliknya. Hujaman yang semakin dalam dan cepat… “Ohh shitt..” racau Arsen. Arsen menarik pinggang mungil Yerin—memeluknya. Menggerakkan pinggulnya semakin cepat. Sampai kenikmatan itu mereka dapatkan bersama. Yerin menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya. Saling mengatur nafas perlahan. Entah sudah berapa jam… Yerin memejamkan mata. tubuhnya terlalu lelah… “Kamu nikmat…” Arsen mengecup leher Yerin dari belakang. “Aku mencintaimu.” “Lagi..” lirihnya. Jemari suaminya yang meremas buah dadanya. Jemari yang besar itu memainkan buah dadanya
21++ Menyeret? Bukan, tidak mungkin Yerin menyeret. Ia hanya berusaha membawa Arsen masuk ke dalam. Meski dengan sedikit menarik dan mencengkram tubuh suaminya. Belum sampai di kamar, ia sudah lelah sendiri. Alhasil mendudukkan Arsen di sofa. Arsen membuka mata—menatap Yerin berada di hadapannya. “Mau es krim…” lirihnya. Yerin mengernyit. Ia berjongkok di hadapan suaminya. “Tidak ada es krim. Kue mau?” Arsen mengangguk dengan cepat. Lucu. Seperti anak kecil. Yerin tersenyum sebentar dan mengusap puncak kepala Arsen. Ia membawa kue yang telah ia beli tadi. Duduk di samping suaminya itu dan menyuapi Arsen perlahan dengan kue itu. “Enak?” “Enak…” Arsen mengangguk lagi. Bibirnya terbuka. Menunggu suapan Yerin. “Ini yang terakhir….” Menyuapi Arsen untuk yang terakhir. Habis tidak tersisa. Arsen sudah memakannya. “Mau lagi?” tanya Yerin. “Hm. Mau…” dengan bibir yang mengerucut. Yerin tertawa pelan. “Tidak boleh. Kamu sudah makan banyak.” mengacak ram
Bukannya pulang ke rumah. Arsen justru pergi ke bar di salah satu hotelnya. Intinya ia hanya butuh pelarian. Selain rokok adalah alkohol. Arsen memejamkan mata sebentar sebelum menegak satu gelas kecil minumannya. “Bos..” panggil Edward yang setia menemani bosnya. Edward seharusnya sudah pulang dan menemani istrinya yang sedang hamil di rumah. Ingin meninggalkan Arsen, tapi ia tidak tega dengan bosnya itu. Apalagi bosnya diam saja—tidak berbicara sama sekali dengannya. “Pergilah. Jangan lupa panggilkan aku sopir pengganti.” Arsen menoleh sebentar pada Edward. Edward mengangguk—perlahan ia menjauh. Tidak langsung pergi meninggalkan Arsen. Tapi Edward memanggil Yerin. Untungnya sebelum ia memanggil, Yerin lebih dulu menghubunginya. Langsung saja ia memberitahu keberadaan Arsen. Edward menunggu Yerin sampai dulu sebelum pergi. Butuh waktu 20 menit sampai Yerin di bar yang dimaksud Edward. “Di mana dia?” tanya Yerin ketika sampai. Edward menunjuk Arsen ya
“Aku memang tidak bisa menyelesaikan masalah kamu. tapi setidaknya beritahu aku apa yang terjadi?” “Bukannya marah-marah seperti ini dan melampiaskannya padaku? aku tidak tahu apapun tapi aku harus mengerti?” “Baiklah aku pergi.” Yerin segera mengambi tasnya dan berjalan pergi keluar ruangan. Arsen tidak mengejar istrinya. Membiarkan Yerin pergi begitu saja. Setelah marah di kantor—Yerin segera kembali ke sekolah. Melanjutkan aktivitasnya mengajar seperti biasa. Tanpa menghiraukan ponselnya sama sekali. tidak tahu apakah Arsen mengiriminya pesan atau tidak. Sampai akhirnya sore hari. “Aku pikir kau tidak akan kembali.” Jema berjalan di samping Yerin. “Tadi kau terlihat buru-buru. Memangnya ada masalah apa?” Yerin menghembuskan nafas pelan. “Hanya…” lirih Yerin. “Tidak ada. Arsen—” Yerin berhenti. entahlah, ia merasa ragu menceritakannya. “Katakan saja…” Jema menatap Yerin. “Dia sedang ada masalah. Tapi dia tidak mau memberitahuku dan marah-marah. Aku memang ti
Kakek mendekat. mengusap pelan bahu cucunya. Suasanya di antara mereka terasa mencekik. Arsen sama sekali tidak bergerak di tempatnya. Kedua tangannya mengepal. “Kamu masih belum siap mengelola perusahaan sendiri untuk itu kakek burusaha membimbing kamu,” ucap kakek. Arsen mengernyit. “Apa?” Arsen berdecih pelan. “Apa kakek yang menyuruh penghianat itu? kakek mengancamnya? Kakek memegang rahasianya?” “Kamu tidak perlu tahu.” Kakek berjalan melewati Arsen. Arsen berbalik—menatap punggung kakeknya. “Sampai kapan kakek akan mengendalikanku?” tanya Arsen pada akhirnya. Kakek berhenti. tanpa menoleh—kakek menjawab. “Sampai kamu benar-benar siap mengelola perusahaanku. Kamu belum menjadi pemimpin yang kakak inginkan.” Arsen memejamkan mata sebentar. “Maka lepaskan aku dari tanggung jawab ini.” Kakek menoleh. “Apa kamu siap jatuh miskin?” Arsen terdiam. “Kamu harus memikirkan segala konsekuensinya.” Kakek berjalan meninggalkan Arsen. Setelah kakeknya pergi… “ARGGG