LOGINLeya pulang.Keputusan Elio tidak bisa ia cegah.Sahabatnya, kakak laki-lakinya serta saudaranya. Elio lebih dari sekedar itu.Elio seperti bagian dari hidupnya dan Jayden.Namun keputusan pria itu sudah mutlak.Leya baru saja akan menekan pasword rumahnya.Tapi satu perempuan keluar. “Leya,” panggil Yerin.“Jayden sudah tidur?” tanya Leya.Yerin mengangguk. “Terima kasih sudah mengijinkanku untuk menjemput Jayden.”Leya menggeleng pelan. “Tidak masalah. Anda memang Oma Jayden.”Yerin mendekat. Kemudian memeluk Leya. Mengusap bahu Leya perlahan dengan lembut.“Jika ada sesuatu jangan ragu beritahu aku.” Yerin melepaskan Leya.Kemudian tangannya terulur mengusap rambut Leya. “Kamu sangat cantik, pantas saja Noel mengejar kamu.”Leya tertawa pelan. Perlakuan ibu Noel ini terasa hangat.Tidak ada kepalsuan apalagi kepura-puraan di dalamnya.“Akan aku beritahu satu rahasia.” Yerin menatap Leya dengan serius.Leya mengerjap—wajahnya menjadi serius setelah mendengar ucapan Yerin.“Noel aneh
Leya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya.Meski sekarang ia berada di rumah sakit untuk membantu Elio pulang.Kenyataan bahwa sampai sekarang Noel tidak menghubunginya.Di kantor juga tidak bertemu sama sekali. Padahal biasanya pria itu selalu mengganggunya.Leya duduk sebentar di depan ruangan Elio sebelum masuk.Terdengar di dalam Elio sedang berdebat dengan seorang perawat.“Dokter tinggal pulang. aku sudah membereskan semuanya,” ucap Laras dengan semangat.Walaupun tidak digaji 10 juta. Laras dengan senang hati membantu pria yang ia sukai itu.Meski berkali-kali sudah ditolak.“Tunggu.” Elio duduk di sofa. Ia menghela napas pelan. Menunggu kedatangan seseorang yang katanya akan menjemputnya.“Dokter masih ingin berbicara denganku?” tanya Laras dengan percaya diri.“Tidak.” Elio menggeleng.Laras berkacak pinggang. “Kalau dokter menunggu kak Leya, kita tunggu di depan.”Mendadak wajahnya kesal. “Kita tidak bisa berlama-lama di ruangan ini karena sebentar lagi perawat
Pagi yang menyergap dua orang manusia yang asik berada di bawah selimut.Si pria yang akhirnya bangun lebih dulu.Noel menyipitkan mata sebelum benar-benar membuka matanya.Ia menoleh pada Leya yang berada di dekapannya.Tiba-tiba tersenyum sendiri. Untungnya ia sudah merekam semuanya dengan jelas di pikirannya.Sehingga, ia tidak akan melupakan penyatuan mereka lagi.Noel menunduk—Leya memunggunginya dengan kepala yang berada di lengannya.Tubuh Leya hanya tertutup sebuah selimut tipis yang hanya sampai punggung.Noel mendekap. Menunduk—mengecupi punggung Leya dengan gemas.“Hmm…” Leya menggeliat kecil meski tidak terbangun.Noel terkekeh pelan.Oh ya, ia ada rapat.Melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh.Tapi rasanya tidak rela.Bersyukur bahwa kasur reot dan kecil ini yang mereka gunakan tadi malam.Rasanya sungguh—ehm. Sudah berhenti. Nanti keperkasaannya terbangun lagi.Noel mengecupi wajah Leya dengan gemas.Setelah itu turun—ia tidak ingin membangunkan Leya yan
21++Kabut gairah yang sudah menyelimuti mereka.Seharusnya Leya mengabaikan saja naluri yang menginginkan sentuhan dari Noel.Tapi nyatanya tidak, dialah yang menjadi pemicunya.Mengalungkan kedua tangannya di leher Noel.Dengan bibir mereka yang masih saling mencecap. Mencari kenikmatan yang ada di masing-masing saliva.Noel tidak kuasa jika memakan Leya di atas sofa kecil ini.Setidaknya mereka harus membutuhkan tempat yang nyaman untuk melakukannya pertama kali.pertama kali baginya, karena ia tidak mengingat kejadian 10 tahun yang lalu.Maka dari itu, dengan pangutan di bibir mereka yang masih terjalin.Noel mengangkat tubuh Leya. Masuk ke dalam kamar wanita itu dengan mudah.Mengurung tubuh Leya dalam dekapan tubuhnya yang kekar. Lalu setelah itu bangkit—hanya sekedar melucuti pakaiannya sendiri.“Meski kau memintaku berhenti. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak bisa lagi menahan diriku.”Noel berada membuka seluruh pakaian atasnya.Tidak menyisakan satupun pakaian pada tubuh
Bibirnya sudah mendarat di bibir Leya.Rasanya memang manis dan candu.Kenapa dulu tidak mengambil ciuman sebanyak mungkin sih? Keluhan yang datang tiba-tiba pada Noel.Apalagi ia melupakan bagaimana dirinya dan Leya menyatu.Ciuman yang ternyata tidak bisa dihentikan meski mereka berdua sama-sama sadar.Apalagi Leya yang secara sadar tiba-tiba membalas pangutan bibir Noel.Meski dengan kaku dan terkesan pemula.Noel tersenyum tipis di sela-sela ciuman mereka.Kedua tangannya berada di pinggang Leya. Bertengger manis di sana, nyaman tentu saja.Apalagi pinggang mungil tersebut membuat desiran yang semakin membuat pikirannya buntu.Noel memperdalam ciumannya.Leya tidak menghentikan ataupun mendorong Noel menjauh.Semuanya berjalan dengan semestinya. Ciuman yang awalnya lembut menjadi bergairah dan intens.Leya bahkan tidak sadar bahwa dirinya sudah terlentang di atas sofa kecil miliknya sendiri.Tubuh Noel setengah menindihnya. “Leya,” lirih Noel.Noel menatap wajah Leya yang berada d
Leya menghela napas pelan. “Karena rumah ini jelek?”“Bukan hanya jelek, tapi juga tidak nyaman.”Jleb!Leya mengerjap. Bibir Noel bukan hanya kotor, tapi juga blak-blakan sekaligus menyebalkan.“Maka dari itu aku ingin membawa kalian ke rumahku.” Noel menunduk—menatap Leya yang masih mengobati jempol kakinya.Leya mendongak. “Tidak sakit?”“Ti—” Noel mengernyit. “Akh!”Leya menyipitkan mata. “Sepertinya tidak sakit.” Mengerti sekali sandiwara busuk Noel.Noel terdiam dengan hambar.Belum mendapatkan jawaban dari pernyataannya.“Bagaimana?” tanya Noel menoleh ke belakang. Tepatnya pada Leya yang menaruh kembali peralatan yang digunakan untuk mengobatinya.Leya kembali. “Tidak,” ucapnya dengan datar.Mengambil duduk di samping Noel.Tumben sekali tidak menghindar.Noel tersenyum tipis. “Bagaimana kalau aku belikan apartemen yang lebih bagus?”“Tidak.” Leya menggeleng. “Nanti aku akan beli sendiri.”Noel menatap lurus. Tepatnya pada Leya yang berada di depannya.Bertopang dagu—dengan ta







