“Aku yakin ada sesuatu.” Yerin duduk di tepi ranjang. Arsen memeluk istrinya. “Dia berpikir dia sudah dewasa. Umurnya saja masih 20 tahun.” “Maka dari itu kan…” Yerin menepuk pelan tangan Arsen yang memeluknya. “Aku yakin ada sesuatu di New York yang terjadi.” “Kita semua tahu betapa dia ingin menjadi atlit. Dia ingin menjadi atlit yang sukses dan menghasilkan uang untuk dirinya sendiri. tidak mungkin dia tiba-tiba bilang lelah dan ingin berhenti begitu saja.” Arsen mengangguk setuju dengan perkataan istrinya. “Apakah aku harus menyelidikinya?” Ia melepaskan pelukannya. kemudian berbaring di atas ranjang. menatap langit-langit kamar. “Aku pikir dia baik-baik saja di sana. kita juga jarang berkomunikasi dengannya karena dia begitu sibuk.” “Tiba-tiba saja sudah 6 bulan di sini.” Arsen menghela napas. “Anak itu membuatku khawatir.” Yerin ikut berbaring di samping Arsen. Memeluk suaminya itu dengan nyaman. “Padahal kita belum sempat menyusulnya ke sana, tapi dia sudah pulang lebih
“Kau ewwwhh…” Ernando menggeleng melihat satu orang yang baru memasuki kafenya. Bastian berjalan santai dengan membawa kantong kresek yang begitu besar. Ia masuk ke dalam kafe yang sebenarnya sudah tutup. Tidak tahu kenapa temannya itu begitu cepat menutup kafe. Mengambil duduk di bangku dengan nyaman. Seperti rumah sendiri. Bastian membuka kaleng birnya—meminumnya begitu saja. “Kau dari mana?” tanya Ernando mengambil duduk di depan Bastian. Membuka kantong kresek besar itu—mengambil snack dan birnya juga. Akhirnya ia juga minum seperti Bastian. “Aku bertemu dengan kakakku.” Ernando hampir menyemburkan birnya. Ia telan mentah-mentah sampai bisa berbicara. “Sungguh? lalu bagaimana?” tanya Ernando penasaran. “Ya aku memberitahu mereka. meski tidak detail.” Bastian bertopang dagu. “Lihat aku. Apa aku memang sekacau itu sampai kak Yerin begitu terkejut.” Ernando tertawa. “Memangnya bagaimana respon bu Yerin?” “Dia seperti melihat hantu. Dia mendekatiku—matanya
Satu tahun berlalu… Bastian sedang memilah mie yang akan ia beli. Rencananya ia akan membeli banyak mie dan bir. Sudah membeli begitu banyak belanjaan, ia berjalan menghampiri kasir. Namun langkahnya terhenti. Tatapannya berhenti pada seorang pria yang berada di ambang pintu minimarket. Arsen di sana. Menatap adiknya yang sudah satu tahun ini tidak pulang. lalu—tatapannya menelisik dalam melihat pakaian adiknya. Seperti orang yang tidak punya motivasi hidup. Arsen menatap Bastian dari atas hingga bawah. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Arsen. Bastian mendesah lelah. “Aku ketahuan…” lirihnya pelan. Mengusap rambutnya kasar. Bastian berakhir digelandang kakaknya untuk pulang ke rumah. Rumah kakaknya. Bastian dengan penampilan seperti pengangguran tanpa motivasi hidup itu berdiri di ambang pintu dengan asing. Rasanya sudah lama sekali tidak pulang ke rumah ini. Hangatnya keluarga kakaknya yang sudah lama tidak ia sentuh. Lalu—meli
21++ “Itu sebabnya kamu tidak membongkar kamarku dulu. sekarang kamu menjadikannya kamar Noel.” Yerin menatap pintu yang sudah tertutup. “Kalau kita membiarkan Noel di sini, dia akan mendengar suara tidak pantas kita.” Yerin mendongak. kemudian tertawa. “Kamu mulai memikirkan yang keluar dari mulut kamu.” “Tentu saja…” Arsen lirih. “Kita harus jadi orang tua yang baik. jangan sampai Noel terpapar hal yang tidak-tidak…” Yerin mengalunkan tangannya di leher suaminya. Ada dua tempat tidur Noel. Yang pertama di dalam kamar mereka. Yang kedua di kamar samping kamar mereka. kamar yang dulunya menjadi kamar Yerin. Saat-saat tertentu, mereka akan memindahkan Noel ke kamar samping. Seperti kata Arsen, supaya Noel tidak terpapar aktivitas mereka. “Dasar pintar kamu!” Yerin memejamkan mata. Arsen menunduk dan mengambil ciuman di bibir istrinya. “Pujiannya aku terima. Thanks!” Yerin terkekeh geli. Tubuhnya terangkat—ia melilitkan kakinya di pinggang suaminya. Membuka se
Beberapa bulan kemudian. Tangisan seorang bayi laki-laki membangunkan orang tuanya. Yerin mengusap wajahnya sebelum terbangun. Ia hampir saja bangun—tapi Arsen bangun lebih dulu. “Biar aku saja. Kamu tidur lagi.” Arsen mengangkat tubuh Noel yang berada di dalam tempat tidur bayi. Menggendongnya dengan perlahan. “Kamu haus?” tanyanya pelan pada Noel yang masih menangis. Ia mengambil susu yang terisi dengan asi Yerin. Setelah itu mulai meminumkannya pada Noel. Bayi yang semula menangis itu langsung terdiam. menyedot asi dengan tenang lalu kembali tertidur. Arsen menepuk pelan pantat Noel—membuat bayi itu nyaman dan semakin terlelap. Baru saja Arsen akan menempatkan kembali Noel ke dalam tempat tidur. Tapi Noel tidak mau. Bayi itu kembali menangis. Sehingga Arsen kembali menggendong putranya itu. “Dasar…” Arsen menggeleng pelan. Menoel hidung anaknya yang mungil. “Lucu…” lirihnya.Arsen tertawa pelan. Ia menatap Yerin yang kembali tidur. Baby sitter yang menjaga Noel hany
“Sayang-sayang!” panggil Arsen. Yerin sudah siuman dan akhirnya dirawat di ruang inap biasa. Arsen setia berada di samping Yerin. duduk di bangku samping ranjang tempat Yerin terbaring. “Kata Papa tadi kamu pernah jatuh dari ayunan yang tinggi. kepala kamu bedarah, tapi besoknya bisa pergi ke sekolah.” Arsen mengatakannya dengan antusias. “Apa itu sungguh terjadi? Atau aku hanya dibohongi saja oleh Papa?” Yerin tertawa. Ia tidak bisa menahan wajah konyol suaminya yang begitu antusias mendengar masa kecilnya. “Sayang…” panggil Arsen. “Kamu sungguh percaya?” tanya Yerin. Arsen mengernyit. “Itu bohong?” Yerin tertawa lagi. “Sayang!” Arsen yang kesal ditertawakan istrinya. Arsen menjadi berpikir sendiri. jika Papa berbohong, Yerin tidak mungkin cepat siuman. Kata dokter, penyembuhan tubuh Yerin termasuk cepat sampai bisa membaik pasca pingsan. “Itu pasti benar.” Arsen menyipitkan mata. “Tidak mungkin juga papa berbohong padaku. Dia rela mengetik panjang sekali un