Setelah bicara dengan wali kedua murid, keputusan pun diambil. Sebagai hukuman, Vando dan Bastian akan membersihkan toilet selama seminggu.
Orang tua Vando menerima keputusan itu dengan lapang dada, lalu berpamitan pada Pak Bhanu dan para guru.
Saat Arsen, yang sejak tadi hanya diam dengan wajah datar, berdiri dari kursi, Yerin menghentikannya.
“Tuan Arsen, tunggu sebentar.”
Arsen menoleh setengah badan, alisnya terangkat seolah tak suka ditahan.
“Ada yang ingin saya bicarakan,” lanjut Yerin, nadanya tetap tenang. “Tentang Bastian.”
Arsen menatapnya sejenak, kemudian kembali ke kursi dengan gerakan malas. Ia duduk bersandar, menyilangkan kaki, jelas-jelas menunjukkan sikap arogan.
“Bicaralah cepat,” katanya datar.
Yerin menarik napas dalam, lalu membuka buku catatan pelanggaran. “Bisa dilihat di sini.”
Satu halaman penuh berisi nama Bastian, deretan panjang pelanggaran yang tercatat sejak awal semester.
“Bastian sudah terlalu sering melanggar aturan sekolah,” ucapnya tegas.
Arsen membuka kacamata hitamnya. “Lalu? Anda ingin saya bilang padanya agar berhenti membuat onar? Apa Anda pikir saya tidak pernah mencoba?”
“Bukan itu,” Yerin menggeleng pelan. “Yang dia butuhkan bukan teguran, melainkan dukungan.” Dia menutup bukunya. “Daripada hanya berkata ‘jangan berkelahi’ atau ‘jangan melanggar aturan lagi’, tanyakanlah bagaimana sekolahnya, apa yang ingin dia lakukan dengan masa depannya.”
Arsen menyandarkan punggung, nada suaranya dingin. “Kenapa aku harus melakukannya? Aku bahkan tidak menganggapnya adikku.”
Yerin agak terkejut. Pria di depannya ini secara terbuka mengakui hal tersebut, bukankah ini keterlaluan!?
Akan tetapi, Yerin berusaha tenang.
“Benar, mungkin Anda tidak menganggapnya adik. Tapi Bastian menganggap Anda kakaknya,” ucap Yerin, membuat Arsen sedikit terkejut. “Mungkin Anda tidak menyadarinya, tapi … kedatangan Anda ke sekolah sudah cukup membuatnya senang.”
Yerin mengingat bagaimana pancaran mata Bastian sempat bersinar ketika menyadari sang kakak datang ke sekolahnya. Walau hanya sekilas, karena setelahnya pemuda itu langsung menghindar dari area ruang BK.
Menarik napas, Yerin berkata, “Kedatangan Anda baginya … adalah bukti bahwa ada keluarga yang peduli.” Dia menatap Arsen mantap. “Untuk itu, saya mohon, bimbing Bastian. Bukan dengan kemarahan, tapi perhatian.”
Arsen sempat terdiam untuk sesaat. Tapi, kemudian dia mengembuskan napas kasar, mengenakan kembali kacamatanya, lalu berdiri. “Saya harus pergi.”
“Tunggu!” Yerin bersuara sebelum pria itu sempat melangkah keluar, membuat Arsen berhenti. “Apa pun yang terjadi, saya mohon … jangan gunakan kekerasan pada Bastian.”
Arsen hanya menoleh sepersekian detik. Tatapannya datar. Lalu, tanpa sepatah kata pun dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Yerin yang menggeleng pelan sambil menepuk dadanya.
“Bagaimana bisa ada orang sedingin itu …” gerutu Yerin.
~~
Saat hari mulai menjelang sore, seorang pemuda baru saja pulang. Tampangnya acak-acakan. Seragam sekolahnya dikeluarkan dari celana, lengannya dilipat seenaknya, dan ada rantai tipis menggantung di leher. Dengan gaya santai layaknya preman kecil, pemuda itu melangkah masuk ke rumah besar nan mewah itu.
“Berhenti.”
Suara berat menghentikan langkahnya, pemuda itu menoleh, mendapati sosok kakaknya berdiri tidak jauh dari pintu.
Arsen menatap pemuda yang tidak lain adalah Bastian dengan datar. “Dari mana kamu?”
Pertanyaan Arsen membuat Bastian bingung sepersekian detik, tidak pernah sebelumnya ditanya seperti ini. Namun, mengingat bahwa tadi pagi Arsen baru saja dipanggil oleh sang guru BK baru, Arsen mendecakkan lidah.
“Jawab pertanyaanku,” suara Arsen menajam, mengandung tekanan.
“Main.” Bastian mengacak rambutnya, kesal. “Kenapa? Mau marah?”
Arsen terdiam sesaat, tapi alisnya tertaut, seakan kesulitan. Kemudian, dengan sedikit canggung, dia bertanya, “Bagaimana sekolah hari ini?”
Kali ini, Bastian tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Arsen, kakaknya yang terkenal paling dingin sejagat raya, mendadak menanyakan kabarnya?!
“Kenapa tanya begitu?” balas Bastian.
“Hanya bertanya,” jawab Arsen singkat, membuat keterkejutan Bastian seketika mereda.
“Biasa saja,” balas pemuda itu sekenanya.
“Selain sekolah, apa ada hal yang kamu sukai?” tanya Arsen lagi, suaranya kali ini lebih dalam.
Bastian makin bingung. Seumur hidup, kakaknya tidak pernah peduli soal dirinya, apalagi soal sekolah.
Apa ini efek dipanggil oleh sang guru BK tadi pagi?
Namun, menepis kemungkinan itu, Bastian hanya menjawab cepat, “Tidak ada.”
Arsen menghela napas panjang. “Sungguh tidak ada?”
Bastian mendengus kesal. “Pun ada, apa hubungannya denganmu? Bukannya biasanya kamu tidak pernah peduli? Atau jangan-jangan, guru BK itu berhasil merasuki pikiranmu dan membuatmu mengira aku akan berubah hanya karena kamu perhatian padaku?!” balasnya dengan emosi menggulung di hati.
Melihat Arsen terpaku di tempat, Bastian pun tertawa rendah meremehkan. “Konyol,” desisnya, sebelum kemudian berbalik untuk berjalan pergi.
“Kamu—” Arsen merasakan emosinya naik, dan tangannya terjulur untuk menahan Bastian. Akan tetapi, ketika dia hampir menyentuh pundak adiknya tersebut, kalimat Yerin terngiang di benaknya.
“Apa pun yang terjadi, jangan gunakan kekerasan pada Bastian.”
Tangan Arsen pun berhenti di udara, lalu perlahan turun, seiring dia menghela napas dan berkata, “Terserah.” Lalu, dia berbalik pergi.
Melihat Arsen hanya pergi meninggalkan dirinya setelah sudah dimaki sedemikian rupa, Bastian sangat terkejut. Dia terdiam sesaat, merasa sedikit aneh.
Memang sejak kecil hubungan mereka tidak pernah baik. Arsen tidak pernah memperhatikannya, ditambah didikan nenek yang selalu menyebut dirinya pembawa sial, membuat kebencian itu semakin mengakar.
Lalu, kenapa mendadak Arsen berubah dan seperti mulai perhatian, bahkan menoleransi sikap kurang ajarnya?
Di saat itu, ponsel Bastian bergetar. Sebuah pesan baru muncul.
[Bastian, Ibu sudah bicara dengan kakakmu. Cobalah untuk bicara baik-baik dengannya kalau dia berusaha. Ibu harap hubungan kalian membaik.]
Pesan itu membuat Bastian meremas ponselnya dan memasang wajah kesal. Suatu hal yang kontras dengan isi hatinya yang menghangat, dan telinganya yang memerah.
“Dasar tukang ikut campur!”
“Akh!” Eve menyipitkan mata. Memegangi kepalanya yang terasa berat. Ketika ia menatap sekitar ia berada di ruang tamu Apartemennya. Keras… Punggungnya terasa remuk. Juga dengan tubuhnya yang menggigil. Eve mengernyit—melihat tubuhnya yang terbungkus oleh jas hitam kebesaran. Mengingat kembali kejadian tadi malam… “Shitt..” Eve bangkit dari lantai yang keras nan dingin ini. Semalaman tidur di lantai, membuat tubuhnya terasa dipukuli. Berjalan sempoyongan, Eve mengambil air minum. Setelah minum air putih—untuk sejenak ia duduk di pinggir pantry. “Apa yang aku lakukan tadi malam?” tanya Eve mengingat kembali. Menyusuri danau, mencari kalung dan cincin yang sudah dilempar oleh Nicholas lalu… “Bertemu dengan Bastian.” Eve menghela napas pelan. “Meski tawarannya menggoda, aku tidak boleh menerimanya.” “Harga diri nomor satu!” mengangkat tangannya dengan semangat. “Ya seperti itu!” menepuk dadanya sebentar. “Bagus, Eve. jangan termakan rayuan mantan.” Satu jam k
“Kau gila,” balas Eve seketika. Ia mengibaskan tangan Bastian. Sialnya setelah terlepas, justru pinggangnya ditarik oleh pria itu. “Daripada kau mempertaruhkan nyawamu untuk kalung yang tidak seberapa harganya. Lebih baik kau memberikan tubuhmu padaku.” Eve menyipitkan mata. “Minggir,” balasnya. “Kau membuatku kesal.” Bastian menghela napas pelan. tapi kedua tangannya masih memeluk pinggang Eve. “Sangat sulit mencari kalung di sana—” menunjuk Danau. “Kau tidak tahu kalau banyak binatang yang ada di Danau? Ada ular bahkan ada binatang lainnya.” “Kau masih beruntung belum bertemu dengan mereka,” lanjutnya. Eve mengerjap—mendadak akal sehatnya kembali ke dalam kepalanya. Ia menggeleng pelan. “Kau pasti berbohong.” “Mana ada aku berbohong. Lihat saja ke sana, Danau itu terlihat menyeramkan. Kau pernah melihat orang sehat masuk ke dalam sana? tidak ‘kan? jangankan malam, siang saja tidak ada!” Eve menyipitkan mata. ia mendorong Bastian. “Minggir,” ucapnya.
“Sepertinya ada yang turun ke danau. Mencari ikan?” tanya seseorang yang sedang menyetir. Bastian yang awalnya sibuk dengan ipadnya kini mendongak. Mendengar sopirnya bergumam. Ia mengikuti arah pandang sopirnya. Melihat ke arah bawah—di sana ada seorang wanita yang sedang turun ke danau. “Sekalian berenang mungkin,” timpal Bastian. Saat ini mobil sedang melewati jembatan. Bastian mengernyit pelan ketika melihat satu mobil yang terparkir di depan taman yang langsung terhubung dengan danau. Bastian bahkan hapal plat mobil siapa itu. “Tunggu..” mengernyit. Ia mengingat perkataan Brayson di klub. Jangan mencari masalah dengan Eve. Eve sedang sedih, takutnya bunuh diri. Bastian melotot. “Berhenti, pak.” Untuk itulah ia segera berlari ke dalam taman. Sampai menemukan seorang wanita yang saat ini sedang berada di dalam danau. Menyenteri air danau yang gelap. “EVE!” teriak Bastian. ia mendekat pada bangku yang terisi oleh sampah. Ada satu lembar yang menarik perha
Eve menatap cincin dan kalung yang sudah berada di dalam danau. Sayang sekali, uang dibuang. “Pergi dari sini, apa yang kau tunggu?” tanya Eve. “Baik. aku akan pergi.” Nicholas menatap Eve sekali sebelum benar-benar pergi. “Ambil kalung itu dan jual saja. aku yakin kau membutuhkan uang.” “Pergi!” usir Eve yang sudah kehabisan kesabaran. Nicholas akhirnya pergi. Bersama bodyguard. Yang entah apa fungsinya. Nyatanya, Nicholas lebih menakutkan daripada penjahat lainnya. Siapa juga yang berani melukai psikopat sepertinya. Eve mengambil duduk kembali di bangku. Membuka kaleng birnya lagi. meminumnya sekali teguk. “Aaah….” Desahannya setelah merasakan kesegaran dari bir. Eve menatap ke depan. Danau yang sebenarnya tidak terlalu dalam. Danau yang bersih juga. “Apa aku ambil saja kalung dan cincinnya?” tanya Eve. “Tidak-tidak…” menggeleng pelan. “Aku pasti sudah mabuk!” menepuk kepalanya sendiri. Ia memakan kembali snacknya. Mengayunkan kakinya pelan. Eve mem
Eve mengambil lembar tagihan rumah sakit yang harus ia bayar. Ia baru membayar setengahnya saja. Masih kurang…. Gajinya juga semakin berkurang setelah mendapatkan jadwal sedikit. Eve berjalan keluar dari rumah sakit. Pergi ke tempat di mana tidak ada orang. Tempat kesukaannya mungkin? Sebuah taman yang terletak di bawah jembatan. Dari tempatnya duduk—ia bisa melihat jembatan yang terisi oleh banyak kendaraan. Jembatan yang memiliki lampu begitu indah. Eve mengambil satu kaleng birnya. Meminumnya perlahan. Menatap lembar yang berada di tangannya. Semuanya berantakan. perusahaan ayahnya hampir bangkrut. Sekarang, rumah mereka sedang dalam dijual. Belum menemukan pembeli yang cocok saja. Dalam sekejap dunianya berubah. Eve menatap bulan yang bersinar dengan terang. Eve menghembuskan napasnya pelan. Menyugar rambutnya sebentar. “Tidak aku sangka aku bertemu denganmu di sini,” ucapan seseoran gyang langsung membuat Eve menoleh ke belakang. “
Hingar bingar lampu. Suara bising musik yang bergema. Satu pria yang sedang duduk santai di lantai atas. Sesekali menatap ke bawah, di mana orang-orang sedang mengayunkan tubuh. Menikmati musik yang sedang diputar oleh DJ berpakaian minim itu. “Kau sudah mabuk?” tanya Brayson yang baru saja datang. Menatap Bastian yang sudah bersandar dengan santai. Tangan yang membawa minuman berakohol. “Tidak…” Bastian mengambil satu batang rokoknya. “Akhir-akhir ini tidak ada yang menyenangkan. Semuanya membosankan.” “Bagaimana dengan kabar adik Eve?” tanya Bastian. “Kenapa kau ingin tahu?” tanya Brayson dengan curiga. “Bagaimanapun dia itu muridku. Grey juga salah satu pemain berbakat. Jika kehilangannya, aku sama saja kehilangan calon pemain masa depan.” Brayson menyugar rambutnya. “Sejujurnya..” “Semuanya berantakan. Nicholas ternyata bajingan. Aku sungguh tidak menyangka jika pria itu brengsek. Aku kira aku sudah lama mengenalnya dan aku kira dia baik.” “Tapi ternyata