Pertama kalinya dalam sejarah, seorang Arsen menjejakkan kaki di Gallaxy High School. Sepasang sepatu kulit hitamnya berderap mantap di lantai marmer. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, sementara kacamata hitam bertengger di hidung.
Berjalan dengan dagu yang terangkat. Ia sampai di ruangan kepala sekolah.
“O-oh, Tuan Arsen datang?” sapa Pak Bhanu terbata-bata, mencoba tetap ramah. “Silakan masuk.”
Arsen duduk di sofa tanpa banyak bicara. Tubuhnya santai, tapi auranya membuat ruangan terasa sesak.
“Kenapa Anda datang, Tuan Arsen?” tanya Pak Bhanu hati-hati, jelas tidak tahu apa-apa.
Arsen melepas kacamata hitamnya. Tatapannya tajam menusuk. “Guru Anda meminta saya datang.”
Pak Bhanu terkejut. Dia sama sekali tidak tahu!
Biasanya, guru BK akan melapor dulu padanya saya sebelum menghubungi Arsen, tapi kali ini tidak ada informasi sama sekali!
Melihat keterkejutan di wajah Pak Bhabu, Pak Rudi, guru BK senior, berucap dengan suara hati-hati, “M-mungkin Bu Yerin, Pak,” dia memaksakan senyuman, “Saya memang menugaskannya menangani Bastian.”
“Cepat panggil dia!” perintah Arsen sambil mengibaskan tangan, nada angkuh jelas terdengar.
Tak lama, suara ketukan terdengar di pintu.
TOK TOK!
Yerin masuk. Jantungnya sempat berdegup lebih kencang setelah mendengar bahwa ini pertama kalinya kakak Bastian benar-benar datang.
Pandangan Yerin bertemu dengan sosok pria itu. Sejenak ia ingin mengagumi paras Arsen yang bahkan melampaui aktor papan atas: tampan, berwibawa, mempesona. Sayang, dari gerak-gerik dan tatapannya, terlihat jelas betapa arogannya pria itu.
“Bu Yerin yang memanggil Tuan Arsen?” tanya Pak Bhanu.
“Iya, Pak,” jawab Yerin mantap. “Karena Bastian kemarin berkelahi dengan teman sekelasnya. Saya juga memanggil wali Vando.”
“Kenapa tidak meminta izin dulu?!” suara Pak Bhanu meninggi, jelas kesal karena Yerin bertindak tanpa laporannya.
Kening Yerin berkerut. “Saya hanya melakukan sesuai prosedur sekolah. Jika ada murid yang berkelahi, maka wali mereka wajib dipanggil. Hukuman paling ringan adalah membersihkan toilet selama seminggu, dan paling berat adalah skors,” jelas Yerin tenang.
Pak Bhanu menghentakkan kaki. “Lalu, kenapa tidak lapor dulu pada saya?!” Tangannya sempat terangkat, tapi ia urungkan saat mengingat Arsen ada di sana juga.
“Di prosedur tertulis jelas, guru BK punya wewenang memanggil wali murid tanpa harus menunggu persetujuan kepala sekolah,” sahut Yerin.
“Tapi—” Pak Bhanu mendekat, wajahnya tegang selagi dia berbisik pada Yerin, “Ini berbeda, Bu! Yang Ibu panggil adalah Tuan Arseno Jonathan Jarvis! Presdir Skyline sekaligus donatur terbesar sekolah ini! Anda tidak bisa main-main! Mengerti?!”
Yerin menghela napas. “Saya mengerti posisinya, Pak. Tapi tidak dengan bagian kenapa dia berbeda. Kalau murid melanggar aturan, dia harus ditindak, dan wali harus tahu agar permasalahan yang sama tidak terulang lagi.” Lalu, dia menambahkan, “Bapak tenang saja. Saya tidak akan mempersulit sekolah. Biarkan saya tangani ini.”
Pak Bhanu hanya bisa memijit keningnya, pusing. Belum pernah ada guru yang terang-terangan melawannya seperti ini. Ia kehabisan kata-kata.
Sementara itu, Arsen yang sejak tadi hanya mengamati mendengus dingin. Matanya melekat pada sosok Yerin.
Wanita itu memang cantik, tapi baginya terlalu sok bijaksana, dan hal itu membuatnya muak.
“Apa kalian akan terus berdebat di depan saya?” tanyanya dingin. Ia melirik jam tangannya. “Waktu saya terbuang percuma di sini.”
Pak Bhanu makin panik. “Bu-bukan begitu—”
Arsen sudah berdiri, langkahnya tenang namun penuh tekanan. Ia mendekati Yerin, jarak mereka kini hanya sejengkal.
“Anda ingin bicara dengan saya, bukan?” suaranya rendah, tapi mengintimidasi.
Kaget dengan gerakan Arsen yang tiba-tiba, Yerin spontan mundur setapak. Namun, ia tetap mengangguk. “Iya.”
Melihat Yerin tidak terintimidasi, sudut bibir Arsen sedikit terangkat. “Kalau begitu, ayo kita bicara.”
“Akh!” Eve menyipitkan mata. Memegangi kepalanya yang terasa berat. Ketika ia menatap sekitar ia berada di ruang tamu Apartemennya. Keras… Punggungnya terasa remuk. Juga dengan tubuhnya yang menggigil. Eve mengernyit—melihat tubuhnya yang terbungkus oleh jas hitam kebesaran. Mengingat kembali kejadian tadi malam… “Shitt..” Eve bangkit dari lantai yang keras nan dingin ini. Semalaman tidur di lantai, membuat tubuhnya terasa dipukuli. Berjalan sempoyongan, Eve mengambil air minum. Setelah minum air putih—untuk sejenak ia duduk di pinggir pantry. “Apa yang aku lakukan tadi malam?” tanya Eve mengingat kembali. Menyusuri danau, mencari kalung dan cincin yang sudah dilempar oleh Nicholas lalu… “Bertemu dengan Bastian.” Eve menghela napas pelan. “Meski tawarannya menggoda, aku tidak boleh menerimanya.” “Harga diri nomor satu!” mengangkat tangannya dengan semangat. “Ya seperti itu!” menepuk dadanya sebentar. “Bagus, Eve. jangan termakan rayuan mantan.” Satu jam k
“Kau gila,” balas Eve seketika. Ia mengibaskan tangan Bastian. Sialnya setelah terlepas, justru pinggangnya ditarik oleh pria itu. “Daripada kau mempertaruhkan nyawamu untuk kalung yang tidak seberapa harganya. Lebih baik kau memberikan tubuhmu padaku.” Eve menyipitkan mata. “Minggir,” balasnya. “Kau membuatku kesal.” Bastian menghela napas pelan. tapi kedua tangannya masih memeluk pinggang Eve. “Sangat sulit mencari kalung di sana—” menunjuk Danau. “Kau tidak tahu kalau banyak binatang yang ada di Danau? Ada ular bahkan ada binatang lainnya.” “Kau masih beruntung belum bertemu dengan mereka,” lanjutnya. Eve mengerjap—mendadak akal sehatnya kembali ke dalam kepalanya. Ia menggeleng pelan. “Kau pasti berbohong.” “Mana ada aku berbohong. Lihat saja ke sana, Danau itu terlihat menyeramkan. Kau pernah melihat orang sehat masuk ke dalam sana? tidak ‘kan? jangankan malam, siang saja tidak ada!” Eve menyipitkan mata. ia mendorong Bastian. “Minggir,” ucapnya.
“Sepertinya ada yang turun ke danau. Mencari ikan?” tanya seseorang yang sedang menyetir. Bastian yang awalnya sibuk dengan ipadnya kini mendongak. Mendengar sopirnya bergumam. Ia mengikuti arah pandang sopirnya. Melihat ke arah bawah—di sana ada seorang wanita yang sedang turun ke danau. “Sekalian berenang mungkin,” timpal Bastian. Saat ini mobil sedang melewati jembatan. Bastian mengernyit pelan ketika melihat satu mobil yang terparkir di depan taman yang langsung terhubung dengan danau. Bastian bahkan hapal plat mobil siapa itu. “Tunggu..” mengernyit. Ia mengingat perkataan Brayson di klub. Jangan mencari masalah dengan Eve. Eve sedang sedih, takutnya bunuh diri. Bastian melotot. “Berhenti, pak.” Untuk itulah ia segera berlari ke dalam taman. Sampai menemukan seorang wanita yang saat ini sedang berada di dalam danau. Menyenteri air danau yang gelap. “EVE!” teriak Bastian. ia mendekat pada bangku yang terisi oleh sampah. Ada satu lembar yang menarik perha
Eve menatap cincin dan kalung yang sudah berada di dalam danau. Sayang sekali, uang dibuang. “Pergi dari sini, apa yang kau tunggu?” tanya Eve. “Baik. aku akan pergi.” Nicholas menatap Eve sekali sebelum benar-benar pergi. “Ambil kalung itu dan jual saja. aku yakin kau membutuhkan uang.” “Pergi!” usir Eve yang sudah kehabisan kesabaran. Nicholas akhirnya pergi. Bersama bodyguard. Yang entah apa fungsinya. Nyatanya, Nicholas lebih menakutkan daripada penjahat lainnya. Siapa juga yang berani melukai psikopat sepertinya. Eve mengambil duduk kembali di bangku. Membuka kaleng birnya lagi. meminumnya sekali teguk. “Aaah….” Desahannya setelah merasakan kesegaran dari bir. Eve menatap ke depan. Danau yang sebenarnya tidak terlalu dalam. Danau yang bersih juga. “Apa aku ambil saja kalung dan cincinnya?” tanya Eve. “Tidak-tidak…” menggeleng pelan. “Aku pasti sudah mabuk!” menepuk kepalanya sendiri. Ia memakan kembali snacknya. Mengayunkan kakinya pelan. Eve mem
Eve mengambil lembar tagihan rumah sakit yang harus ia bayar. Ia baru membayar setengahnya saja. Masih kurang…. Gajinya juga semakin berkurang setelah mendapatkan jadwal sedikit. Eve berjalan keluar dari rumah sakit. Pergi ke tempat di mana tidak ada orang. Tempat kesukaannya mungkin? Sebuah taman yang terletak di bawah jembatan. Dari tempatnya duduk—ia bisa melihat jembatan yang terisi oleh banyak kendaraan. Jembatan yang memiliki lampu begitu indah. Eve mengambil satu kaleng birnya. Meminumnya perlahan. Menatap lembar yang berada di tangannya. Semuanya berantakan. perusahaan ayahnya hampir bangkrut. Sekarang, rumah mereka sedang dalam dijual. Belum menemukan pembeli yang cocok saja. Dalam sekejap dunianya berubah. Eve menatap bulan yang bersinar dengan terang. Eve menghembuskan napasnya pelan. Menyugar rambutnya sebentar. “Tidak aku sangka aku bertemu denganmu di sini,” ucapan seseoran gyang langsung membuat Eve menoleh ke belakang. “
Hingar bingar lampu. Suara bising musik yang bergema. Satu pria yang sedang duduk santai di lantai atas. Sesekali menatap ke bawah, di mana orang-orang sedang mengayunkan tubuh. Menikmati musik yang sedang diputar oleh DJ berpakaian minim itu. “Kau sudah mabuk?” tanya Brayson yang baru saja datang. Menatap Bastian yang sudah bersandar dengan santai. Tangan yang membawa minuman berakohol. “Tidak…” Bastian mengambil satu batang rokoknya. “Akhir-akhir ini tidak ada yang menyenangkan. Semuanya membosankan.” “Bagaimana dengan kabar adik Eve?” tanya Bastian. “Kenapa kau ingin tahu?” tanya Brayson dengan curiga. “Bagaimanapun dia itu muridku. Grey juga salah satu pemain berbakat. Jika kehilangannya, aku sama saja kehilangan calon pemain masa depan.” Brayson menyugar rambutnya. “Sejujurnya..” “Semuanya berantakan. Nicholas ternyata bajingan. Aku sungguh tidak menyangka jika pria itu brengsek. Aku kira aku sudah lama mengenalnya dan aku kira dia baik.” “Tapi ternyata