LOGIN“Ya tentu saja. Aku belum pernah bertemu dengan mereka,” balas Eve mengangguk setuju. Eve menatap ponselnya yang berdering di atas meja. “Tunggu!” Bastian menarik pinggangnya. “Kau terlihat lebih manis menggunakan kaosku.” Eve menyipitkan mata. “Tapi aku malu.” Eve mendorong dada Bastian sampai pria itu melepaskan rangkulannya di pinggang. “Aku harus melihat ponselku dulu.” mengambil ponselnya. memeriksanya sebentar. “Dari rumah sakit? Kau akan meninggalkanku lagi?” tanya Bastian. “Hm tidak…” balas Eve menoleh ke belakang. Bastian menenggelamkan wajahnya diceruk leher Eve. memeluk wanita itu lebih erat. “Dari siapa?” tanya Bastian. “Dari Papa. Ingin berbicara sebentar denganku.” Mengusap pelan tangan Bastian yang berada di perutnya. Bastian mengangkat kepalanya dan mengernyit. “Aku juga tidak tahu. Aku akan berbicara padanya nanti,” balas Eve. “Bastian…” Eve melepaskan diri. Kemudian berhadapan dengan pria itu. “Aku akan berusaha percaya.” Bastian mengambil t
Demi apapun, Eve tidak ingin bertemu dengan bu Yerin dan kak Arsen seperti ini. Tadi ia kebingungan saat pintu terkunci. Seharusnya ia diam saja dan menunggu Bastian kembali. Tapi dirinya sendiri tidak mau diam dan akhirnya mencari kunci di setiap laci. Sampai akhirnya ia bisa membuka kunci. Lalu ketika ia keluar—langsung berhadapan dengan bu Yerin dan kak Arsen. Dan berakhirlah ia di sini…. Duduk di kursi, meja makan yang sudah terisi oleh banyak makanan. Yerin menatap Eve. “Santai saja, Eve. Tidak perlu malu, bu Yerin mengerti.” Eve tersenyum awkard. Ia mengangkat piringnya saat Yerin mengambilkan lauk untuknya. “Jadi kalian kembali bersama?” tanya Yerin menatap keduanya. Bastian mengangguk. “Ya. Kita kembali bersama.” Diam-diam tangannya yang berada di bawah mengusap paha Eve. Bukan usapan lembut yan menenangkan, tapi usapan nakal yang aneh. Sehingga Eve segera menepisnya. Ia menoleh dan melototi Bastian agar diam. Yerin mengangguk pelan—menatap suaminya
Arsen sudah kesal karena Bastian tidak kunjung membuka pintu. Bahkan panggilannya saja tidak diangkat. “Aku sudah bilang kita tidak usah ke sini. dia pasti melupakan kita, dia pasti belum pulang,” ucap Arsen pada Yerin. Yerin menggeleng. “Tunggu dulu. siapa tahu dia ketiduran.” Arsen menghela napas pelan. kemudian menarik pinggang Yerin. “Bukankah lebih baik kita di rumah saja, bermesraan selagi libur? Bukannya di sini. menunggu Bastian yang entah ke mana perginya.” Yerin mendongak. “Kata kamu dia selalu bekerja tanpa henti. Aku jadi khawatir, kita harus memastikan keadaannya dulu.” Arsen memutar bola matanya malas. Kemudian tangannya tidak sabaran menekan tombol. Berulang kali. Sampai membuatnya lelah sendiri. Arsen berkacak pinggang. “Dia sudah dewasa. Dia tidak perlu perhatian kita lagi.” Plak! “Akh!” Arsen mundur. Yerin memukul lengannya. “Dia anak kita juga,” balas Yerin. “Meskipun sudah dewasa, kita harus tetap memperhatikannya.” Sudah mengomel dengan wajah
21++ Brak! Pintu Apartemen yang ditutup tidak sabaran. Dua orang manusia yang sedang memangut bibir dengan intens. Dengan jemari mereka yang sama-sama tidak bisa tinggal diam. Saling menyentuh tubuh masing-masing. melepaskan pakaian mereka satu sama lain. Saling menjamah—memberikan efek panas pada tubuh mereka. Eve berjongkok—melepaskan sabuk Bastian sebelum menarik resleting celana pria itu turun. Menyentuh milik pria itu yang sangat bergairah. Melepaskannya dari kain yang membelunggu. Lalu, lidahnya terulur. Menyentuhnya dengan lidahnya yang basah dan sedikit kasar. Eve membuat Bastian mengerang kenikmatan. Suara berat pria itu bisa terdengar dengan jelas. Menikmati sentuhannya sembari menyebut namanya. “Eve…” lirih Bastian mengusap helaian rambut Eve. membiarkan miliknya dimanjakan oleh bibir wanita itu. “Ya bagus, sayangku.” Erangannnya yang begitu menikmati. Kedua alisnya mengernyit—bibirnya setengah terbuka. Dengan tidak berhenti mengerang dan menyebut na
Sreeek! Bastian memutar stirnya sampai mobil berhenti. “Kau ingin membunuhku?” Eve setengah berteria karena kesal dan takut. “Katakan padaku kenapa aku tidak boleh melakukannya?” tanya Bastian. “Beri aku alasan yang jelas.” Eve menyipitkan mata. “Kau tidak perlu menegaskan hubungan kita, apalagi di depan dokter di rumah sakit. Aku hanya tidak ingin memberi mereka makan gosip.” “Jika aku tidak menegaskan hubungan kita, orang sepertinya bisa mendekatimu!” balas Bastian. “Atau kau ingin membiarkan mereka tidak tahu hubunganmu denganku? Supaya kau bisa bebas bercengkrama dengan para dokter laki-laki di rumah sakit?” “Bastian kau keterlaluan.” Eve mengepalkan tangan. “Aku hanya tidak ingin mereka bergosip saja. kenapa kau tidak bisa mempercayaiku?” “Dan tadi, aku tidak hanya pergi dengan Aldo. Aku juga pergi bersama Meta dan Sheril.” Eve mengusap rambutnya lelah. “Sampai kapan kau seperti ini? Aku tahu kau berhak atas diriku.” “Tapi setidaknya beri aku kepercayaan. Aku ju
“Aku yakin mereka bertengkar,” ucap Meta sembari menggigit es krimnya. Bersindekap dan tersenyum mengingat kejadian tadi. Di mana tiba-tiba Bastian muncul saat Aldo mencoba mendekati Eve. “Meski bertengkar tapi aku yakin mereka segera berbaikan,” balas Sheril yang juga membawa es krim. “Tapi aku sangat puas dengan kejadian tadi,” balas Meta sembari tertawa. “Kau lihat tadi wajah dokter Aldo saat Bastian datang? Dia terlihat kaget dan kelimpungan.” “Aku puas sekali pokoknya,” lanjutnya semakin tertawa. Sheril juga tertawa. “Dia berpikir semua wanita cantik bisa dia dekati,” balasnya. “Aku juga muak melihatnya sok paling tampan. Memang tampan, tapi tingkahnya yang begitu percaya diri juga membuat banyak orang muak.” Mereka berjalan keluar dari restoran sembari mengobrol ringan. Membeli es krim seharga satu potong pakaian mereka. sekali saja, tidak akan terulang lagi keesokan harinya. “Tapi aku juga berterima kasih padanya, berkat dia perutku kenyang tanpa mengeluarkan uan







