“Aku mau orang ini dikeluarkan dari tim pelayanan. Hari ini juga!”
Shakira berusaha menjelaskan, tapi kalimatnya tenggelam dalam amarah Luis dan sang atasan.
Beberapa jam kemudian, keputusan bulat akhirnya diumumkan. Shakira menerimanya dengan hati memanas. Bahwa ia diminta menandatangani surat pemutusan kerja. Parahnya, hari itu juga dia harus angkat kaki dari hotel tempatnya mencari sesuap nasi.
Merengek? Itu bukan gaya Shakira.
Menjilat? Apalagi.
Namun ia langsung teringat akan nasib putrinya, Beliza, yang tidak tahu bahwa dunia ibunya baru saja runtuh lagi untuk kesekian kali. Putrinya yang masih berusia satu tahun itu.
Dia tidak langsung pulang, melainkan berdiri di teras samping hotel. Membiarkan angin Bali bertiup lembut, tapi hati Shakira seperti diporak-porandakan badai. Tangannya menggenggam surat pemecatan itu erat-erat. Tapi tidak menangis, karena kini, air mata pun terasa terlalu mahal.
Ia pernah dicintai kemudian ditinggalkan. Menjadi istri pura-pura kemudian dicampakkan juga.
Sore itu, keputusannya sudah bulat. Dengan langkah tegap dan wajah yang menyimpan bara, ia menuju sebuah tempat. Hanya berbekal keberanian dan amarah.
Shakira menuju kamar suite tempat Luis menginap.
Ia datang bukan sebagai mantan karyawan. Tapi sebagai perempuan yang merasa perlu memberi tahu Luis tentang kehidupannya yang tak mudah.
Seseorang seperti Luis tidak seharusnya semena-mena hanya karena dia punya kuasa, begitu pikir Shakira.
Sesampainya di depan pintu bernomor emas itu, Shakira berhenti sejenak. Ia mengatur napas sambil menahan gemetar di tangannya. Ini bukan ketakutan. Ini adalah puncak dari amarahnya.
Kemudian tangannya terangkat dan mengetuk pintu dua kali. Tegas!
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Memperlihatkan seorang perempuan berambut panjang mengenakan lingerie merah menyala, jelas bukan staf hotel. Shakira pernah melihatnya beberapa kali di hotel ini. Perempuan yang kerap menemani tamu eksekutif di hotel ini.
Seketika, Shakira memahami segalanya.
“Mana Luis Hartadi?” tanya Shakira tenang namun tajam.
“Siapa kamu?” Tanya perempuan itu dengan bersedekap.
“Tolong panggilkan.”
Wanita itu tidak bergerak, membuat Shakira mau tidak mau mencoba langsung masuk dan melihat Luis sedang duduk bertelanjang dada memakai celana pendek. Matanya merah dengan sorot tajam.
Shakira berbalik menatap perempuan panggilan yang masih berdiri di dekat pintu dengan tatapan menusuk.
“Ck.”
Pada akhirnya, tidak mau memperpanjang drama, wanita itu mengambil clutch-nya dari atas meja dan berjalan melewati Shakira sambil melontarkan lirikan sinis.
“Selamat menikmati drama kalian,”ucapnya lalu menutup pintu dengan keras.
Tanpa basa-basi, Shakira kemudian melempar surat pemecatan itu ke wajah Luis dengan wajah penuh amarah.
"Aku datang bukan sebagai mantan karyawan hotel yang kamu hina di depan umum!" ucapnya penuh bara. "Tapi aku datang untuk membetulkan sifat aroganmu, Luis Hartadi!"
Luis tidak membaca surat yang tergeletak di pangkuannya. Ia justru membuangnya seperti tisyu bekas.
"Kamu bisa ngancurin pekerjaanku dengan satu kalimat, tapi kamu nggak bisa ngancurin keberanianku, Luis Hartadi!" lanjut Shakira.
"Kamu nggak tahu apa yang harus aku lalui biar dapat pekerjaan ini. Orang kaya dari lahir kayak kamu, mana ngerti apa soal perjuangan hidup, heh?! Terbiasa mewah dan nggak bisa menghargai orang yang hidupnya di bawahmu!”
"Kamu lebih menyedihkan daripada jadi karyawan rendahan kayak aku!"
Akhirnya apa yang menjadi ganjalan di hati Shakira terlampiaskan. Tanpa topeng dan rasa takut.
“Selamat malam, Tuan Hartadi. Nikmati sisa pestamu.”
Tapi sebelum Shakira mencapai pintu, Luis berhasil membuatnya berakhir dalam kuasanya dan akhirnya … semua terjadi.
****
Pagi itu, Luis terbangun dengan kepala berat.
Matahari pagi menyelinap lewat celah tirai kamar hotel. Memperlihatkan kamarnya yang berantakan. Ada dua botol minuman keras untuk kaum elit yang sudah kosong, berserakan di lantai dan satu kursi terguling.
Bau alkohol mendominasi ruangan. Menyatu dengan rasa pusing yang membelah kepala Luis.
Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
Kilasan samar itu muncul. Ada suara bentakan, tangan yang memukul dadanya, dan suara tangisan. Tapi Luis merasa itu seperti teriakan.
Ah ... Luis tidak memperdulikan itu.
Kemudian ia duduk perlahan di tepi ranjang, kakinya menyentuh lantai yang dingin, lalu menatap ke bawah. Di bawah kursi yang terguling, matanya menangkap selembar kertas yang terjepit.
Sebuah surat.
Begitu dibuka, ternyata tulisan ketikan komputer dengan kop surat hotel tempatnya menginap.
“Surat Pemutusan Hubungan Kerja. Kepada Shakira A. Paralio.” Bacanya pelan.
Luis menatap surat itu bingung.
“Kenapa surat PHK orang lain ada di kamarku?”
Lalu ia melemparkannya ke lantai begitu saja seperti sampah. Merasa tidak penting.
Kemudian ia berdiri, mengambil rokok dari meja, menyalakan, dan menghisapnya dalam-dalam. Seolah semalam tidak terjadi apapun.
Bahkan saat kembali ke Jakarta pun, Luis sekalipun tidak ingat dengan apa yang terjadi.
Kesibukan dan tumpukan dokumen sudah menanti. Perlahan mengubur kenangan samar penuh luka itu hingga benar-benar terlupakan.
Dia hanya ingat jika menyewa perempuan panggilan untuk datang ke kamarnya. Bukan mengundang perempuan selain itu.
*****
Dua bulan kemudian, di kota kecil yang jauh dari hiruk-pikuk Denpasar, saat sore menjelang malam suasana terasa lebih tenang untuk mengistirahatkan kepala yang selalu panas akhir-akhir ini.
Setelah Luis memecatnya, Shakira bersedia bekerja apapun asalkan halal. Buah hatinya membutuhkan makan dan tempat berlindung yang layak.
Di sebuah kamar indekos sederhana namun bersih, Shakira duduk di lantai, memakaikan kaus tidur untuk putri kecilnya, Beliza. Bocah perempuan itu kini berusia hampir satu tahun.
Rambutnya ikal lucu dengan pipi bulat dan mata yang … mata yang selalu mengingatkan Shakira pada seseorang yang ingin ia lupakan. Tapi ia kemudian menggeleng tegas.
“Bunda capek, Nak. Tidur yuk?” gumam Shakira pelan sambil menyandarkan punggung ke dinding.
Beliza justru terkikik senang saat menemukan boneka kain kesayangannya. Kemudian ia merangkak pelan lalu duduk di pangkuan Shakira, menyandarkan kepala mungilnya ke dada sang ibu.
Shakira tersenyum samar. Putri kecilnya yang suka bermanja-manja itu menenangkan luka-lukanya yang belum sembuh.
Setelah Luis membuatnya kehilangan pekerjaan dua bulan silam, Shakira tiap hari bekerja dari pagi hingga sore. Bertugas membersihkan kamar hotel, mencuci linen, dan mengepel lorong demi lorong. Karena hanya itu pekerjaan yang ada.
Ijazah sarjana bahkan pengalamannya dalam bidang sales dan marketing, ia tepikan sementara waktu.
Sepulang kerja, ia selalu punya waktu untuk Beliza. Membuat makanan kecil buatan sendiri, mainan dari kardus bekas, dongeng sederhana sebelum tidur, semuanya ia lakukan dengan cinta yang penuh.
Satu minggu kemudian, saat Shakira bekerja sambil mendorong troli linen bersih. Rambutnya dikuncir biasa, wajahnya menyiratkan optimisme meski tanpa sentuhan make up, dan tersenyum penuh semangat.
Kemudian seorang lelaki menghampirinya dengan tiba-tiba dan membuat kedua matanya membola. Belum sempat Shakira lari, lelaki itu justru menghadangnya.
:-0
Musik lembut dari band akustik mengalun di sudut ruangan.Cahaya lampu kristal memantul di permukaan gelas-gelas champagne, menciptakan suasana malam yang sempurna untuk pesta pernikahan mewah itu.Setelah memberi klarifikasi singkat pada media, di antara kerumunan itu, Luis dan Nadine berjalan bersisian dan menjadi pusat perhatian. Luis tampak gagah dengan jas yang dikenakan, menonjolkan bahunya yang bidang. Sedang Nadine berjalan anggun di sisinya.Tangan Luis bertengger di pinggang Nadine, mantap dan penuh penguasaan. Itu adalah pernyataan diam bahwa perempuan di sisinya adalah miliknya. Nadine menoleh sedikit, tersenyum lembut dengan pipi yang merona.Tatapan mereka bertemu sesaat. Kemudian Luis menunduk sedikit dan berbisik di dekat telinganya.“Semua orang memperhatikan kita malam ini, Nad. Jangan takut. Anggap aja dunia lagi nonton awal dari sesuatu yang indah.”Nadine sedikit menoleh dengan jantung berdebar cepat“Awal dari sesuatu yang indah?” Ulangnya dengan nada penuh tanya.
Luis menggenggam tangan Nadine yang berada di atas meja dan menatapnya lekat.“Aku butuh bantuanmu, Nad. Aku gerah dituduh nggak benar kayak gitu. Bunda sama Ayah juga risih. Aku juga mau semua orang tahu kalau aku dekatnya sama kamu, bukan sama yang lain.”Nadine terdiam sejenak. Pipinya bersemu bahagia karena Luis mengutarakan isi hatinya. Ditambah Luis tidak hanya menggenggam tangan Nadine, melainkan juga memberinya usapan penuh makna.“Den Mas, kamu yakin mau bilang kayak gitu ke publik?”Luis mengangguk yakin dengan menatap Nadine.“Aku nggak mau biarin gosip ini ngatur arah hidupku. Apalagi sampai bikin kamu ragu sama keseriusanku. Lagipula, nggak ada yang salah, kan, kalau aku dekat sama kamu? Lalu aku menunjukkannya ke publik.”Kata-kata itu membuat senyum Nadine kembali merekah. Dan akhirnya, ia mengangguk pelan dengan senyum tersipu malu.“Kalau itu maumu, aku ikut, Den Mas.”Luis mengangguk pelan, senyumnya tipis tapi penuh perhitungan dengan tangan menggenggam tangan Nadine
Shakira mengetuk pelan pintu ruang kerja sebelum masuk. Pikirannya tidak tenang ketika seorang asisten rumah tangga menghampirinya di taman dan berkata Luis ingin dia menemuinya di ruang kerja.Karena Shakira tahu ini pasti ada hubungannya dengan ia tidak masuk kerja hari ini. Atau … saat dia tidak sengaja melihat Luis dan perempuan itu makan siang.Setelah membuka pintu itu, Shakira melihat Luis duduk di balik meja besar dari kayu mahoni, jas kerjanya sudah ditanggalkan di punggung kursi. Dan ekspresinya selalu saja dingin seperti biasa.Tanpa menatap langsung, Luis berkata pelan namun tajam,“Duduk.”Shakira menurut. Ia duduk di kursi seberang, menunduk sopan dan mermas tangannya sendiri. Keheningan menekan ruangan untuk beberapa detik sebelum Luis akhirnya angkat bicara.“Kenapa kamu nggak masuk kerja hari ini?” tanyanya datar.Shakira membenarkan dugaannya namun matanya tidak berani menatap Luis. Ia menjawab namun dengan menatap lantai.“Maaf, aku nggak sekuat itu untuk disinisi sa
Luis baru saja meneguk minuman ketika ponselnya bergetar pelan di atas meja. Ia melirik sekilas layar dan mendapati nama David muncul di sana. Sambil tetap mempertahankan ekspresi tenang di depan Nadine, ia menjawab dengan suara serendah mungkin.“Ya, Vid?” Suaranya nyaris berbisik.“Pak, maaf mengganggu. Tapi Nona Shakira tidak ada di kantor.”“Apa?!” Tanya Luis pelan namun kedua alisnya menukik tajam. “Lalu dimana dia?!”“Saya coba cek GPS ponselnya, dan lokasinya sekarang ada di restoran tempat Bapak makan siang dengan Nona Nadine.”Luis refleks menegakkan tubuh, pandangannya berubah tajam seketika.“Apa?” Gumamnya lirih, nyaris tidak terdengar.Nadine yang duduk di seberang meja sempat mengangkat alis, menyadari perubahan ekspresi Luis.“Ada apa, Den Mas?”Luis cepat menenangkan diri dan tersenyum menutupi kegelisahan.“Ah, nggak ada, Nad, cuma masalah kecil di kantor. Udah diselesaikan David.”Luis berusaha membuat nada suaranya ringan, padahal detak jantungnya masih berpacu cepat
“Pak, kita harus bergerak lebih jauh. Saya sarankan agar Anda segera menghubungi Nona Nadine secepatnya. Mungkin Anda bisa mendekatinya lebih dulu. Jika ia sudah berada di pihak Anda, skandal ini bisa ditahan atau dikendalikan lewat dia.”Luis menatap ke titik tertentu, pikirannya bekerja cepat usai mendengar saran David.“Nona Nadine adalah kunci. Ia bisa menjadi tameng yang efektif untuk melawan skandal ini, Pak.”Kata-kata David tentang ‘tameng yang efektif’ terus terulang dalam benaknya.Luis tahu jika David benar. Asisten pribadinya itu tidak akan memberikan saran yang menghancurkannya.Saat ini, waktu tidak berpihak padanya. Setiap jam, berita tentang skandalnya terus bergulir, dan lebih mengerikan lagi bahwa setiap menit publik akhirnya mengetahui dan memberi penilaian.Apa yang Luis paling khawatirkan bukan hanya reputasinya sendiri, melainkan masa depan Hartadi Group.Baginya, reputasi mungkin bisa dibangun kembali, tapi Hartadi Group jauh lebih dari sekadar nama. Disanalah ri
Ada sesuatu yang membuat Luis ingin bertemu Nadine lagi.Tapi kali ini bukan karena tuntutan keluarga atau karena keharusan untuk menjaga nama baiknya tetap terjaga di hadapan publik.Melainkan karena ia sungguh ingin mengenalnya.Luis berpikir bahwa setiap pria yang terlalu yakin bisa mengendalikan segalanya, justru pada akhirnya akan bertekuk lutut di hadapan seseorang yang mampu menembus logikanya dengan ketenangan.“Nadine.”*****Pagi itu, rumah besar milik Luis Hartadi terasa begitu hening.Suara sendok beradu dengan cangkir porselen terdengar pelan, berpadu dengan aroma kopi hitam yang baru diseduh.Di seberang meja makan, Luis duduk tegap dengan kemeja biru muda yang disetrika rapi, dasi abu-abu menggantung di lehernya. Wajahnya terlihat segar, kontras dengan wajah Shakira yang sedikit tampak letih karena kurang tidur akibat pemberitaan dirinya yang belum reda.Shakira menunduk sejenak, mengaduk teh di depannya dengan segudang pemikiran. Ia menarik nafas pelan sebelum akhirnya