LOGINDavid mengenakan kemeja santai dan blazer ringan, cukup profesional tapi tidak mencolok.
Ia tertegun ketika melihat Shakira, bahwa dia adalah perempuan yang pernah terlibat cekcok dengan Luis dua bulan di hotel tempat tuannya menginap.
Shakira melintas sambil mendorong troli linen bersih. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja, namun sorot matanya masih sama.
Tajam dan penuh harga diri.
Tanpa banyak membuang waktu, David bangkit lalu menghampiri, “Nona Shakira.”
Shakira menoleh lalu menatap David sambil mengingat siapa dirinya.
“Bisakah anda ikut saya, Nona?” kata David, suaranya tenang.
Shakira mengerutkan alisnya bingung. Karena dia tidak merasa mengenal David namun mengajaknya ke suatu tempat.
“Maaf, anda siapa?”
“Saya asisten pribadi Pak Luis Hartadi.”
Begitu nama Luis Hartadi terdengar, tubuh Shakira seketika dilanda panas dingin. Ia refleks mendorong troli untuk pergi, namun langkahnya terhenti ketika David cepat-cepat menghadang. Wajah lelah Shakira pun tak mampu menyembunyikan rasa takut yang begitu nyata.
“Nona, ini penting!”
“Anda salah orang! Saya bukan Shakira!”
Tanpa menoleh, Shakira mendorong troli dengan langkah tergesa hampir berlari, meninggalkan David. Decit roda di lantai terdengar bagai teriakan panik yang tak terucap. Jemarinya gemetar mencengkeram gagang troli, napasnya terengah, seakan tubuhnya tak lagi mampu menampung guncangan rasa takut yang mendesak keluar.
Luis Hartadi.
Nama itu saja sudah cukup membuat seluruh tubuhnya dingin.
‘Mau apa Luis nyari aku? Ya Tuhan, lindungi aku. Aku nggak mau kehilangan pekerjaan lagi.’ Batinnya kemudian ia menangis.
Shakira takut kehilangan pekerjaan lagi dan membuat kehidupan putrinya kembali terseok-seok.
Kilasan masa lalu, tentang tatapan tajam Luis, aroma parfum yang dulu ia kenal, dan satu malam penuh kebodohan yang ia kunci rapat di lubuk hatinya, kembali memporak-porandakan kehidupannya.
Sore itu, David kembali ke hotel tempat Luis menginap. Ia membawa hasil pencariannya, meski tidak sesuai harapan.
“Gimana, Vid?”
“Ternyata, Nona Shakira adalah perempuan yang pernah Bapak pecat dua bulan silam. Dan sekarang dia menolak bertemu, Pak.”
Luis terdiam beberapa detik mengingat kejadian itu dengan wajah cuek. “Biarin dia tenang dulu. Mungkin dia masih marah karena aku pernah bikin dia kena PHK.”
Pikiran Luis melayang kembali, dua bulan silam. Saat itu, dengan satu keputusan dingin, ia membuat Shakira kehilangan pekerjaannya. Malamnya, yang tersisa hanya ingatan kabur.
Ia berada di suite pribadi, dikepung aroma alkohol mahal yang membuat kepalanya terasa berat, sementara sisa-sisa kesadaran menguap begitu saja.
Ia hanya ingat ada perempuan seperti berteriak dan wajahnya samar.
‘Apa itu Shakira?’ Luis mengerutkan kening, mencoba mengingat lebih jelas.
‘Apakah malam itu dia datang mau nyerahin surat pengunduran diri? Atau … apa?’
“Kalau memang dia datang malam itu, apa yang terjadi setelahnya?”
Namun Luis tidak menyadari hubungan satu malam mereka.
Keesokan harinya, langit mulai menggelap saat Shakira mendorong troli linen kembali ke area staf dengan tatapan awas. Barangkali David menemuinya kembali.
Namun langkahnya tertahan saat seorang manajer hotel mendekat dengan nafas naik turun.
“Shakira,” panggilnya. “Ada yang nyari kamu di lobi. Katanya mendesak.”
Shakira menyipitkan mata. “Siapa, Pak?”
“Saya kurang tahu. Buruan! Siapa tahu penting.”
Shakira mengangguk tegas karena langsung teringat akan putrinya. Tangannya mengusap cepat sisa debu di seragamnya.
Seingatnya telah menitipkan Beliza dalam keadaan sehat.
Ia setengah berlari menuju lobi dengan membawa tas. Tidak peduli dengan anak rambutnya yang sedikit keluar dari karet pengikat dengan wajah lelahnya yang tak terpoles make up.
Di dekat jendela kaca besar, berdiri sosok yang tidak mungkin salah.
Luis Hartadi.
Dengan kaos kasual putih dan celana jeans biru dongker, rambut tersisir rapi, dan sikap tenangnya yang khas. Wajahnya tampak segar dengan David berdiri di sebelahnya dengan mata menatap kehadiran Shakira.
Detik itu juga, tubuh Shakira menegang. Darahnya berdesir. Ia segera berbalik untuk pergi begitu saja. Namun …
“Shakira! Berhenti!”
Matanya mulai panas mengingat kenangan terakhirnya dengan Luis. Dan tubuhnya mendadak terasa dingin.
Kemudian Luis mendekat dengan jarak sewajarnya.
“Bisa kita bicara?”
Butuh beberapa detik kemudian Shakira membalikkan tubuhnya perlahan. “Maaf, saya tidak tahu apa maksud anda. Permisi.”
“Aku datang karena aku bisa ngasih kamu tawaran yang masuk akal dan menguntungkan,” ucap Luis dengan nada tenang, namun penuh tekanan.
Shakira masih berdiri membelakangi Luis.
“Kamu bisa berhenti jadi housekeeper. Aku bisa ngasih kamu pekerjaan mapan, tempat tinggal yang layak, bahkan kehidupan yang jauh lebih baik dari ini. Asal kamu sepakat dengan kerja sama yang aku tawarin.”
Shakira berbalik badan dan mengernyit curiga. “Tawaran apa?”
Luis tersenyum santai tapi penuh kemenangan. Karena perempuan mana yang mau menolak kesempatan bagus untuk menaikkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Apalagi ada anak semata wayang bergantung.
“Kerja sama ini nggak bikin kamu lelah, Ra. Cukup ikuti apa yang aku mau dan kompensasi itu akan aku bayar kontan di muka.”
Senyum putrinya yang masih berusia satu tahun menghiasi pikiran. Sebagai ibu, dia juga ingin yang terbaik untuk putrinya.
Hidup susah bahkan pernah hampir kelaparan karena minimnya penghasilan, pernah Shakira lakoni. Bagaimana putrinya pernah sakit di suatu malam hingga demam tinggi namun Shakira hanya bisa memberinya obat yang dijual murah di apotek.
“Satu unit apartemen di kawasan Thamrin selama satu tahun, privasi terjaga, uang dua milyar yang dibayar di muka, dan satu unit mobil lengkap sama sopir. Apa itu masih kurang?”
Shakira menoleh dengan tatapan bingung. Sedang Luis hanya berdiri dengan bersedekap.
Tidak sedikit pun Luis menyadari bahwa di balik tatapan Shakira, pernah ada secuil kilatan emosi lain. Yaitu kenangan samar dari satu malam kelam yang pernah mereka bagi dua bulan lalu.
Malam yang Luis, entah bagaimana, sudah dihapus dari ingatannya.
Shakira tahu tawaran ini penuh jebakan, tapi hidupnya sendiri sudah terlalu rumit untuk menolak kesempatan.
Apa yang ditawarkan Luis sangat menggiurkan. Dia sudah terlalu lelah dengan pelarian ini. Ingin sekali bersandar untuk megistirahatkan raga dan batinnya yang lelah.
“Oke,” katanya pelan namun mantap. “Aku terima tawaranmu.”
Semua ini Shakira lakukan demi putrinya. Dia ingin yang terbaik.
Senyum puas melintas di wajah Luis, “Good.”
“Sekarang, kerja sama apa yang mau kamu tawarin ke aku? Aku mau semuanya jelas dan gamblang. Menguntung kita berdua. Kalau cuma nguntungin kamu … aku mundur.”
“Lebih baik kita ngobrol santai. Di restaurant mungkin?”
Kepala Shakira mengangguk, “Hanya setengah jam.”
“Terlalu singkat.”
“Aku punya anak yang menungguku pulang, Luis,” jawab Shakira lugas.
Luis menaikkan alisnya sekilas, “Oke. Let’s go.”
:-0
Keesokan harinya, Luis segera kembali ke Jakarta. Sebelum melaksanakan rencana perjalanannya bersama Shakira, ia harus menutup semua jejaknya, terutama dari mata Nadine.Luis menghubungi Nadine dan mengajaknya makan malam romantis di sebuah restoran mewah yang biasa mereka kunjungi. Ia tahu, ia harus bersikap manis dan meyakinkan untuk membuat kebohongannya terasa alami.Nadine tampak gembira. Ia menyambut Luis dengan antusias.Malam itu, di bawah cahaya lilin yang temaram, Luis memainkan perannya dengan sempurna. Ia memuji penampilan Nadine, membicarakan rencana masa depan mereka, dan memastikan Nadine merasa dicintai.Setelah hidangan penutup disajikan, Luis meraih tangan Nadine, sorot matanya meyakinkan.“Sayang, ada sesuatu yang harus kubicarakan,” ujar Luis dengan nada serius.Nadine menatapnya khawatir. “Ada apa, Den Mas?“Hartadi Group akan memperluas ekspansi kita ke pasar Asia Tenggara, dan Malaysia adalah gerbangnya. Ini adalah proyek terbesar yang pernah kami tangani.”Luis
“Saya tahu ini mungkin terlalu cepat dan tidak pantas diucapkan saat ini, tetapi menurut sudut pandang saya, satu-satunya yang membuat Nona Shakira benar-benar mau hidup adalah kehadiran seorang anak.”“Kekuatan mentalnya sangat bergantung pada kehadiran putrinya. Kehilangan putrinya telah merenggut alasan dia bernapas.”“Setelah dia pulih sedikit dari fase kritis ini, Den Mas dan Nona Shakira harus mempertimbangkan untuk memiliki anak baru. Itu adalah satu-satunya cara, satu-satunya janji masa depan yang dapat mengalihkan fokusnya dari duka dan depresi yang mengancam nyawanya.”Luis terdiam, terpaku oleh saran itu. Memiliki anak baru?Meskipun Luis kini tahu kebenaran mengerikan tentang malam di Bali dan betapa besar kesalahannya terhadap Shakira, ide untuk memiliki anak dengannya, anak yang akan menjadi "pengganti" Belliza, terasa terlalu besar, dan mungkin tidak adil bagi Shakira.Luis menggeleng perlahan.“Dokter Adrian, saya menganggap Shakira sebagai seorang teman, tidak lebih.
Luis mencoba keras untuk mengingat malam itu.Ia memejamkan mata, memaksakan memorinya bekerja. Yang ia ingat hanya nafsu yang mendominasi, alkohol yang mengalir deras, dan kesenangan.Ia ingat jika menyuruh David untuk memanggil seorang perempuan panggilan mahal dan terawat.‘Tapi kenapa jadi Shakira? Ya Tuhan, aku meniduri Shakira, dan aku melupakannya.’ Batin Luis.Luis kembali menghubungi David dan langsung diangkat.“Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?”“Aku ingin kamu selidiki semua tentang hotel tempat Shakira bekerja dan kapan dia dipecat. Dan cari tahu persis apa yang terjadi pada malam itu di kamar hotelku. Jangan sampai ada yang luput.”“Lalu cari tahu siapa Devano. Aku mau informasi lengkap!”“Siap, Pak. Saya akan bergerak sekarang,” jawab David.Luis mengakhiri panggilan dan duduk di kursinya, kepalanya pusing.****Keesokan paginya, Luis sarapan sendiri. Kemudian Bu Ningsih muncul di ruang makan, wajahnya tampak lelah dan cemas.“Pagi, Den Mas,” sapa Bu Ningsih.“Pagi, Bu Ni
Luis masuk ke ruang tamu yang kacau balau itu.Amarahnya memuncak melihat Shakira dalam kondisi mengenaskan, mabuk dan dikelilingi pecahan kaca. Namun, ia tahu amarah tidak akan menyelesaikan apa-apa.Ia menatap Bu Ningsih yang terlihat putus asa. Beberapa asisten rumah tangga yang lain mulai muncul di ujung koridor, terbangun oleh keributan itu.“Bu Ningsih, dan kalian semua,” perintah Luis dengan suara rendah namun tajam, menunjukkan otoritasnya. “Kembali ke kamar kalian. Ini bukan urusan kalian. Aku yang akan urus ini. Jangan ada yang tanya, dan jangan ada yang bicara soal ini ke siapa pun.”Bu Ningsih ragu, tetapi melihat tatapan tegas Luis, ia mengangguk patuh. Ia dan para ART segera membersihkan pecahan dekanter itu lalu meninggalkan ruangan, membersihkan diri dari kekacauan itu.Kini hanya Luis sendirian yang menghadapi Shakira.Shakira, yang kesadarannya sudah sangat terganggu oleh alkohol, menatap Luis yang memakai jubah tidur berwarna biru gelap. Matanya tidak fokus.Dia bing
“Oke. Aku keluar. Tapi ingat, kamu nggak bisa keluar dari rumah ini tanpa izinku, Shakira,” ujar Luis dingin.“Persetan, Luis! Kamu nggak ada hak ngurung aku!”Luis tidak peduli dengan ucapan Shakira kemudian berjalan menuju pintu, lalu menutupnya dan kembali ke kamar.Shakira resmi terkurung dan menjadi tahanan sementara di dalam rumah Luis.Kini amarahnya memudar, berganti rasa lelah dan keputusasaan yang baru. Ia merosot kembali ke ranjang, menangis tersedu-sedu. Ia tahu, Luis tidak akan melepaskannya begitu saja.Setelah Luis pergi, ruangan itu hanya menyisakan isak tangis Shakira dan suara Bu Ningsih yang bergerak membersihkan pecahan mangkuk di lantai. Bu Ningsih tidak menyalahkan Luis, ia tahu Luis melakukan itu karena peduli, dengan caranya yang keras.Setelah ruangan bersih, Bu Ningsih kembali ke sisi ranjang, membawa mangkuk bubur hangat yang baru dan segelas teh panas yang baru diantarkan seorang asisten rumah tangga.“Non, sudah ya. Jangan siksa diri Non,” bujuk Bu Ningsih
Mobil melaju kencang, meninggalkan kompleks pemakaman. Luis mendekap tubuh Shakira di pelukannya. Ia mengguncang bahu Shakira dengan lembut, berusaha membangunkannya.“Ra! Bangun! Shakira!”Ia menepuk-nepuk pipi Shakira yang pucat, tetapi Shakira tetap diam, matanya terpejam rapat. Bibirnya yang semula bergetar karena amarah kini menjadi garis lurus yang dingin.Rasa takut menjalar di hati Luis. Setelah Belliza pergi, ia tidak boleh kehilangan Shakira juga.“Vid, hubungi Dokter Adrian sekarang! Bilang ini darurat! Sekarang!” perintah Luis tegas.“Baik, Pak.”Luis kembali fokus pada Shakira. Ia membuka jasnya dan menyelimuti Shakira, mencoba menghangatkan tubuhnya. Ia menempelkan telinganya ke dada Shakira, memastikan detak jantung wanita itu masih ada.“Bertahan, Ra.”Selama perjalanan pulang, Luis mendekap Shakira erat-erat, tidak melepaskannya barang sedetik pun, memohon dalam hati agar wanita itu tetap hidup.Setibanya di rumah, Luis segera membaringkan Shakira yang begitu lemah di







