"Silahkan Nyonya."
Aruna masih melihat sekitarnya, dia tidak tahu kenapa mobil mereka berhenti disana. Aruna yakin disana bukan sebuah pemukiman tempat tinggal atau gedung apartemen. "Apa kita sudah sampai?" "Belum Nyonya. Tuan meminta kita mampir ke sini sebentar untuk membeli sesuatu yang bisa Nyonya kenakan." Aruna melirik ke luar dan melihat nama brand ternama yang terpampang jelas di depan toko. "Untukku? Kenapa dia tidak mengatakan apapun?" Aruna terus mengomel sambil turun dari mobil. Calvin sendiri sudah turun lebih awal tanpa mengatakan apapun kepada Aruna. Aruna masuk ke dalam sebuah butik ternama dan dia melihat deretan pakaian yang di gantung di samping Calvin. Aruna melihat Calvin sudah duduk disofa dengan ponsel ditangannya. Aruna mendekat dan duduk disamping Calvin sambil berbicara pelan agar tidak didengar oleh orang-orang yang ada disana. "Untuk apa kita kesini? Bukankah baju yang aku bawa sudah cukup banyak?" "Coba saja! Coba semuanya dan tunjukkan kepadaku." Calvin mengatakannya sambil memperhatikan ponsel dan tidak menatap Aruna. "Calvin! Aku....." Tatapan Calvin langsung menusuk mata Aruna yang tidak dapat melanjutkan perkataannya. "Lakukan saja semua yang aku minta." "Ayo Nyonya! Saya akan membantu anda mencoba pakaian ini." Ucap pelayan yang menawari untuk membantu Aruna. Aruna tidak punya pilihan, dia bangkit dan pandangannya masih ke arah Calvin yang masih sibuk dengan ponselnya. Satu persatu baju itu di coba dan ditunjukkan kepada Calvin. Tapi tidak ada satupun yang disukai Calvin ketika Aruna memakainya. Respon Calvin hanya menggelengkan kepala atau menyuruhnya menukar kembali. Aruna mulai kelelahan dan sudah tidak bersemangat untuk melanjutkannya. "Calvin! Apa kamu ingin mengerjaiku? Aku sudah sangat lelah mencoba semua pakaian yang ada disini tapi kamu tetap tidak menyukainya." "Nyonya! Ini baju selanjutnya." "Tidak! Aku tidak mau mencobanya. Aku sangat lelah." Calvin meletakkan ponselnya dan berdiri mendekati Aruna. Calvin berjalan kehadapan Aruna lalu memutar tubuh wanita itu. "Ini tidak cocok! Tubuh bagian belakangmu terlihat jelas dan aku tidak suka jika barang milikku dilihat oleh semua orang. Ganti lagi!" Calvin mendorong Aruna pelan ke arah kamar ganti. "Semua pakaian ini terbuka Calvin. Coba kamu perhatikan kembali dari awal." Protes Aruna. "Jika aku tidak suka maka tidak ada penawaran lain, Aruna." "AKU...." Aruna berniat berteriak kepada Calvin tapi dia tiba-tiba ingat dengan ancaman dan amarah Calvin sebelumnya. "Baiklah! Aku akan mencobanya. Jika ini juga tidak kamu sukai, maka aku tidak akan mau mencoba yang lainnya. Aku tidak peduli." Aruna cemberut sambil mengambil paksa baju yang di pegang oleh pelayan butik. Aruna berjalan menuju kamar ganti tapi siapa sangka diam-diam Calvin tersenyum tipis melihat ekspresi Aruna.Wajah Aruna begitu menggemaskan bagi Calvin. "Ternyata dia lebih cerewet dari sebelumnya." Ucap Calvin pelan tapi didengar oleh asistennya. Calvin kembali sibuk dengan pekerjaannya dan juga ponsel yang digenggam sehingga dia tidak tahu jika Aruna sudah keluar dari kamar ganti dan berdiri didepan Calvin. "Bagaiman dengan ini? Apakah kamu menyukainya?" Calvin mengangkat kepala dan melihat mulai dari sepatu hingga perlahan pandangannya naik ke atas. Calvin menatap Aruna yang tampak berbeda dan juga terlihat cantik serta menggemaskan bagi Calvin. Calvin sampai tidak berkedip melihatnya bahkan dia sama sekali tidak mendengar saat Aruna bertanya soal pakaian yang digunakannya. "Tuan! Nyonya sedang bertanya kepada anda." Senggol asisten Calvin untuk menyadarkan Bosnya. "Bagaimana dengan ini? Apakah kamu menyukainya?" Calvin berusaha tetap santai dan dingin saat Aruna bertanya. Dia tidak mau Aruna melihat ekspresinya ketika melihat Aruna saat ini. Calvin langsung berdiri dan berjalan meninggalkan Aruna untuk masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apapun. Aruna melongo karena ditinggal begitu saja, ingin berteriak memanggil Calvin tapi tidak bisa dilakukannya. Aruna hanya mampu menghentakkan kaki ke lantai dan mengepalkan kedua tangannya. "Aaahhhh! Dasar manusia aneh." Asisten Calvin dan Vivi mendekati Aruna dan berkata, "Nyonya, semuanya sudah dibayar Tuan. Sekarang kita sudah bisa pergi dan Tuan menunggu anda didalam mobil." "Dibayar? Yang mana?" "Semua baju yang anda coba sudah dibayar Tuan dan akan dikirimkan ke rumah. Tapi untuk baju yang anda pakai saat ini tidak perlu diganti karena anda dan Tuan akan segera menghadiri sebuah acara." "Ihhh! Lama-lama kesabaranku habis juga dengan dia." Aruna mengatakannya dengan kesal. Asisten Calvin dan Vivi hanya bisa diam dan menahan senyum. Mereka berdua tahu jika Calvin sedang mengerjai Aruna. Aruna masuk ke dalam mobil dan menghempaskan pintu mobil dengan kuat karena kesal. "Jika pintunya rusak kamu harus menggantinya." Ucap Calvin dengan santai. Aruna diam dengan wajah cemberut. Dia sama sekali tidak mau melirik atau mengacuhkan Calvin. Didalam perjalanan mereka kembali diam, beberapa kali Calvin melirik ke arah Aruna untuk memastikan amarah wanita itu sudah reda. "Pakailah ini! Kita akan menghadiri sebuah pesta besar." Calvin memberikan sebuah kalung yang bisa digunakan Aruna. Aruna tetap diam dan tidak merespon apapun. Calvin langsung memakaikan kalung itu ke leher Aruna tanpa mendapatkan respon dari istrinya. "Saat dipesta, tetaplah disisiku. Tutup telingamu dan jangan terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku hanya ingin kamu mempercayai semua ucapanku. Bersikaplah seperti layaknya seorang istri." Ucapan Calvin menarik perhatian Aruna yang marah. Aruna sedikit memiringkan badannya dan menatap Calvin. "Memangnya kita akan pergi kemana? Kenapa kamu berkata seperti itu?" Calvin menatap Aruna dan perlahan mengambil tangan wanita itu untuk digenggamnya. "Kita akan menemui keluarga besarku. Disana akan banyak tamu dan keluarga yang datang. Jadi tetaplah disisiku agar mereka tidak meracuni otakmu yang dangkal itu." Plak! Aruna memukul lengan Calvin karena dikatakan memiliki otak yang dangkal. "Ayo kita turun." Aruna kaget ketika Calvin memintanya turun, dan itu artinya mereka sudah sampai ditujuan. Calvin turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk istrinya. Calvin memberikan tangannya untuk digenggam oleh Aruna. "Ayo!" Aruna menerima uluran tangan Calvin dan menggenggamnya. Mereka berjalan bergandengan saat tiba di sebuah rumah dengan halaman yang besar. "Apakah ini rumahmu?" "Iya. Ini rumah keluarga Darwish, rumahku." Aruna takjub melihat rumah layaknya sebuah istana megah dengan halaman yang luas dan bangunan yang tinggi dan besar. Aruna tidak akan menyangka jika kejadian buruk yang menimpanya membuat dirinya bisa menikah secara tiba-tiba dengan seorang pria kaya raya. Pandangan beberapa tamu mengarah kepada mereka. Mereka berbisik dan menatap ke arah Aruna. Calvin tahu jika situasi saat ini akan membuat Aruna tidak nyaman. Dia memegang tangan Aruna yang bergelayut di lengannya. "Masih ingat dengan pesanku?" "Ya! Aku akan mengingatnya." Mereka terus melangkah hingga mereka masuk ke tengah rumah dimana pesta itu sedang berlangsung. "Maaf! Aku dan istriku datang terlambat." Semua mata yang ada disana langsung mengarah ke sumber suara dan mereka terkejut saat Calvin menyebut wanita yang berdiri disampingnya adalah istri.Calvin duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar kencang, wajahnya merah padam saat Aruna menatapnya tajam. Mata Aruna tak berkedip, menelusuri setiap gerak-geriknya yang canggung. "Apa sebenarnya niatmu ada di sini, dekat aku saat aku tidur?" suara Aruna pelan tapi penuh makna, membuat Calvin hampir kehilangan kata-kata. Tubuh Calvin sedikit mundur, seolah ingin menjauh agar niatnya untuk mencium Aruna tidak ketahuan, namun Aruna sepertinya menyelidik apa yang ingin dilakukan Calvin. "Aku... aku cuma ingin merapikan rambutmu," jawab Calvin terbata-bata sambil berdiri untuk menjauhi Aruna. "Kalau rambutmu nutupin hidung, kamu pasti susah napas saat tidur." Aruna duduk tegak, tangannya meraba-raba rambutnya dengan ragu, matanya menyimpan pertanyaan yang belum terjawab. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, Calvin tiba-tiba menarik napas panjang dan berkata dengan nada serius, "Malam ini aku tidak tidur di ru
"Ada apa dengannya? Semakin aneh! Tapi tidak masalah dia pergi lebih cepat dari pada dia terus menanyai soal Ayahnya dan aku tidak tahu harus mengatakan apa." Aruna juga ikut masuk ke dalam rumah. Aruna memilih ke dapur untuk bertanya kepada pelayan apa yang akan mereka siapkan untuk makan malam. Tuan Darwish melangkah keluar dari rumah putranya dengan wajah memerah dan alis berkerut tajam. Rasa kesal menguasai seluruh tubuhnya setelah usahanya mengancam Aruna agar menjauh dari Calvin gagal total. Dalam bisikannya yang penuh amarah, ia mengutuk wanita itu dengan kata-kata kasar yang nyaris tak terkendali. Begitu sampai di mobil, tangan besarnya mencengkeram setir dengan erat, lalu tiba-tiba memukulnya keras hingga terdengar dentuman nyaring. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak teratur, tanda jelas luapan emosi yang membara di dalam dirinya. “Sialan! Wanita itu pikir dia siapa? Aku tak akan diam saja!” geramnya sambil menggertakkan
Aruna menatap kertas yang terlipat rapi di tangannya, angka besar di cek itu seolah berkilau memanggil-manggil hasrat dan kebingungan sekaligus. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak menentu. "Apa maksud Ayah dengan ini?" suaranya terdengar lirih, namun ada getar ketegangan yang sulit disembunyikan. Tuan Darwish yang berdiri di hadapannya, malah mengalihkan pandangan ke taman luas yang dibangun Calvin, napasnya panjang sebelum akhirnya menatap tajam ke arah Aruna. "Aku tidak suka kau memanggilku ayah. Aku tidak mengakui kau sebagai menantuku," ucapnya dingin, kata-katanya menusuk seperti pisau yang membuat Aruna tercekat. Aruna terdiam, matanya menunduk, dada sesak seolah beban penolakan itu menekan seluruh tubuhnya. Hatinya hancur, tapi tak ada setetes air mata yang jatuh. Dia tahu, dalam diam itu, dia dianggap asing, bahkan oleh pria yang seharusnya menjadi keluarga walaupun pernikahan ini hanya sebuah pernikahan dengan perjanjian.
Stevani melangkah keluar dari sebuah kafe yang tidak terlalu ramai bahkan tidak begitu dikenal orang. Stevani sengaja membuat janji dengan Paman Darwish dilokasi itu agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh siapapun. Stevani keluar dengan mata yang bersinar penuh kemenangan setelah berhasil mengajak Ayah Calvin terjerat dalam rencana liciknya. Wajahnya yang tadinya tegang kini berubah menjadi senyum tipis penuh arti. Tak jauh dari situ, sosok Harry sudah menunggu dengan sabar, mengenakan jaket kulit hitam yang menambah pesonanya sebagai model majalah dewasa. Tanpa ragu, Stevani mendekat dan berjabat tangan erat dengan Harry. Tangannya yang lentik menyentuh tangan pria itu seolah memberi sinyal bahwa mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Dengan gerakan lembut, Stevani memberikan kecupan ringan di pipi kiri Harry, kemudian beralih ke pipi kanannya. Senyum manisnya merekah sempurna, memperlihatkan kepercayaan diri yang memikat. Kemu
Rico menatap Calvin dengan mata membelalak, jantungnya seolah berhenti sejenak saat pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Tubuhnya yang biasanya tenang kini gemetar halus, bibirnya sulit membuka untuk menjawab. Calvin, yang berdiri disamping Rico namun matanya menatap tajam penuh harap, mulai menunjukkan tanda ketidaksabaran. “Rico, pernah tidak kamu merasakan jantungmu berdetak kencang saat dekat dengan wanita?” tanya Calvin lagi dengan nada yang lebih mendesak. Rico akhirnya mengangguk pelan, suara seraknya keluar, “Pernah… saat aku dekat dengan wanita yang aku sukai.” Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Calvin menyeringai kecil, lalu membalikkan pertanyaan, “Yang lain?" "Maksud Tuan?""Maksudku apakah ada yang lain selain menyukai wanita? Aku rasa itu tidak masuk dalam masalahku.""Bagaimana Tuan bisa begitu yakin? Apakah Tuan sudah menganalisanya saat di kondisi yang berbeda? atau apakah Tuan pernah mengalami hal sepertu itu jika berhadapan dengan wanita yang t
Aruna tidak menemukan Calvin setelah selesai mandi. Calvin bahkan tidak meninggalkan pesan kemana dia pergi. Aruna keluar dari kamar dan berjalan turun ke lantai bawah. "Kamu sudah bangun?" sapa Nyonya Sabrina ketika melihat menantunya turun dengan wajah lebih segar. "Sudah Ibu! Apakah kamu melihat Calvin?" "Calvin? Apa dia tidak mengatakan akan pergi kemana?" Aruna menggelengkan kepalanya, "Calvin tadi sudah pergi dengan terburu-buru bersama Rico untuk urusan pekerjaan. Dia hanya menitip pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu." Nyonya Sabrina mengajak Aruna berjalan ke ruang makan untuk mengajak menantunya sarapan pagi. "Calvin mengatakan jika kamu masih ingin disini maka nanti sore dia akan menjemputmu. Tapi jika kamu ingin kembali pulang, maka supir yang akan mengantarkanmu." Aruna sudah duduk dikursi dan Nyonya Sabrina mulai menyajikan sarapan yang telah dibuatnya. Tidak berapa lama Tuan Alex ikut bergabung dan duduk di kursi kebesarannya. "Pagi Tuan!" sapa Aruna y