"Kemarilah cantik. Ayo kesini! Aku ingin menikmati tubuhmu."
"Jangan mendekat! Aku tidak mau disentuh olehmu. Aku juga tidak mengenalmu." "Tidak penting kami mengenalku apa tidak, yang pasti aku sudah membayar untuk tubuhmu itu dengan harga yang mahal." Pria hidung belang itu terus memaksa Aruna untuk dilayani. Tapi Aruna terus menolak bahkan berusaha melemparnya dengan beberapa benda yang bisa dijangkaunya. Aruna mendorong pria itu hingga tubuh mereka tidak saling menempel. Aruna berlari menuju pintu kamar hotel. Tapi sayang pria itu berhasil menangkap Aruna dan menarik lengan baju Aruna. Lengan baju Aruna robek dan pundaknya terlihat jelas oleh pria itu. Matanya langsung berbinar karena melihat pundak yang mulus dan putih. "Pemandangan yang begitu indah." Ucapnya sambil mengeluarkan lidah. Aruna di dorong ke atas kasur. Aruna kembali bangkit dan berlari ke sisi kamar hotel untuk menjauh. Aruna berada di depan sebuah mini bar yang lengkap dengan semua makanan disana. Aruna melihat ada sebuah pisau diantara buah. Aruna mengambilnya sambil berkata, "Jangan mendekat Tuan. Aku akan menusuk perutmu jika kamu berani mendekat lagi." Hahahahaha! "Aku tidak takut cantik. Aku sudah mengeluarkan uang yang banyak dan aku tidak mau rugi jika aku tidak menikmatimu." "Aku sama sekali tidak menerima uangmu. Jadi jangan asal mengarang cerita, Tuan." "Tanyakan itu kepada kekasihmu. Dia menjualmu kepadaku dengan harga yang cukup tinggi karena dia menjanjikan seorang wanita 'virgin' kepadaku." Aruna terkejut, dia tidak percaya jika Gio tega menjualnya kepada pria ini. Bahkan beberapa jam yang lalu mereka masih merayakan 1 tahun hari jadian mereka sebagai sepasang kekasih. Melihat Aruna yang melamun, pria hidung belang itu berusaha mendekat. Tapi siapa sangka jika Aruna dengan reflek langsung menusuk pria itu dengan pisau ditangannya. "TIDAAAAKKKKK!!" Aruna berteriak dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya sambil bangun dari tidur. Aruna bermimpi buruk soal kejadian yang tidak pernah dibayangkannya sama sekali. "Aku tidak sengaja melakukannya. Aku tidak berniat membunuhnya sama sekali." Ucap Aruna sambil menghapus keringat yang ada di keningnya. Aruna melihat di jari manisnya ada sebuah benda yang berkilau. Aruna menatap cincin berliak yang melingkar di harinya itu. "Ini nyata! Aku tidak sedang bermimpi. Semua kejadian itu nyata." *** Setelah meminta izin kepada orang tuanya, Aruna kembali lagi bersama Vivi kerumah dimana dia dan Calvin menikah. "Dimana Calvin?" Tanya Aruna kepada asisten Calvin yang setia. "Tuan ada di halaman belakang, Nyonya." Aruna menatap mata asisten Calvin karena panggilannya telah berubah. "Jangan harap aku mau mengikuti semua yang kamu minta, Dad. Aku tidak akan menikah dengan wanita yang kamu pilih." Emosi Calvin terlihat jelas, dia sama sekali tidak senang menerima telepon dari Tuan Alex Darwish yang terus memaksanya menikah dengan putri sahabatnya. "Cukup Dad. Aku tidak akan datang ke acara pertunangan yang akan kamu buat. Jikapun aku datang, aku pastikan kamu akan melihat sesuatu yang mengejutkan. Jadi jangan salahkan aku untuk kejadian yang memalukan itu." Calvin langsung mematikan komunikasinya dengan Tuan Alex Darwish. Wajah Calvin tampak tegang dengan penuh amarah. "Fuck! Dia tidak pernah bisa memahamiku. Dia selalu memerintahku seperti anak buahnya saja." Aruna yang berdiri di pintu pembatas antara ruang tengah dan halaman, hanya bisa terdiam dan terpana melihat amarah Calvin untuk pertama kalinya. Dia tidak berani menyapa lebih dulu takut jika dirinya akan menjadi sasaran amarah Calvin selanjutnya. "Kenapa kamu berdiri saja disana? Apakah ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" "I...iitu! Maaf jika aku sudah mendengar semuanya, aku tidak bermaksud untuk menguping pembicaraanmu." "Lupakan saja! Apa yang kamu ingin katakan?" Aruna melangkah mendekat sambil menyampaikan, "Aku sudah mendapatkan izin untuk pergi selama satu minggu. Tapi aku terpaksa berbohong kalau aku akan mencari pekerjaan kekota lain." "Itu bagus! Tapi kenapa hanya satu minggu? Kamu tidak akan pulang selamanya karena kita akan ke Las Vegas." "Apa? Las Vegas? Apa kamu bercanda? Lalu bagaimana dengan orang tuaku?" "Itu bukan urusanku. Kamu sudah membuat kesepakatan denganku dan aku sudah melakukan semuanya agar kamu tidak masuk penjara, jadi kamu harus membayarnya dengan mahal." "Bukankah kamu mengatakan kita kesini hanya untuk menikah saja dan akan pergi dari sini setelah menikah?" "Benar! Kita kesini hanya untuk menikah. Dan kita akan segera pergi, tapi bukan untuk kembali ke kota itu. Aku hanya datang mengurus bisnisku tapi sayang, urusan bisnisku sudah kamu selesaikan dengan sangat cepat." Senyuman tipis mengembang dimulut Calvin. Aruna tidak paham apa maksud dari pria yang kita menjadi suaminya. "Aku tidak akan ikut denganmu! Aku harus kembali ke rumahku dalam satu minggu." Protes Aruna "Terserah! Kembalilah jika kamu menginginkan tinggal dalam penjara." Ucap Calvin sambil melewati Aruna. "Calvinnnn!" Mendengar teriakan Aruna, Calvin menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Aruna. Calvin mendekat dan mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Aruna. "Jangan pernah berteriak didepanku. Aku paling tidak suka hal itu." Perubahan wajah Calvin membuat Aruna kesulitan menelan air ludahnya sendiri. Aruna terdiam sambil menatap mata Calvin seperti dia berdebat dengan seseorang yang dipanggilnya Daddy. Calvin pergi dan meninggalkan Aruna yang berdiri kaku seolah dirinya tidak mau memancing emosi Calvin kembali. "Dia selalu mengancamku." Aruna dan Calvin kini duduk di jet pribadi untuk terbang ke Las Vegas. Aruna hanya bisa memperhatikan Calvin yang sibuk berdiskusi dengan asistennya dan seorang pria yang tidak dikenalnya. "Vivi! Apanyang dilakukan Calvin disana?" "Tuan sedang membicarakan pekerjaan, Nyonya. Disana ada pengacara Tuan yang diminta ikut melihat pernikahan anda." Aruna sampai tidak tahu siapa saja yang melihat prosesi pernikahan mereka kemarin. Aruna hanya bisa menatap Calvin dengan semua kesibukannya. Mereka sudah mendarat di Las Vegas. Kota yang menjadi tempat kelahiran dan gurita bisnis keluarga Darwish berkembang. Saat Aruna menginjakkan tanah Las Vegas, dia melihat sebuah mobil mewah dan berkilau ada didepan matanya. "Silahkan, Nyonya." Calvin sudah masuk lebih dulu ke dalam mobil. Mereka tidak saling bicara sejak perdebatan sebelumnya. Bahkan Calvin sama sekali tidak melirik ke arah Aruna. Aruna tidak peduli dengan sikap dingin Calvin, dia malah menikmati Las Vegas untuk pertama kalinya. Melihat bangunan yang super tinggi dan berbagai banyak tempat hiburan. Bahkan mata Aruna terus melihat ke arah luar. Calvin sempat melirik sebentar dan kembalo fokus dengan ponselnya. "Tuan, sepertinya Tuan Besar mempercepat acara yang direncanakannya. Barusan saya mendapatkan informasi kalau undangan sudah disebar soal per....." Calvin mengangkat tangannya untuk menghentikan Asistennya melanjutkan perkataan karena dia tidak mau Aruna mengetahui alasan dia menikahi wanita itu. "Biarkan saja. Dia ingin menantangku, dia tidak percaya kejutan apa yang bisa aku lakukan untuknya. Jika dia ingin nama besar keluarga ini menjadi sorotan maka kita akan memberi petasan yang lebih besar agar lebih meriah." "Kamu mau membeli petasan?" Tanya Aruna secara tiba-tiba saat Calvin bicara dengan Asistennya.Calvin duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar kencang, wajahnya merah padam saat Aruna menatapnya tajam. Mata Aruna tak berkedip, menelusuri setiap gerak-geriknya yang canggung. "Apa sebenarnya niatmu ada di sini, dekat aku saat aku tidur?" suara Aruna pelan tapi penuh makna, membuat Calvin hampir kehilangan kata-kata. Tubuh Calvin sedikit mundur, seolah ingin menjauh agar niatnya untuk mencium Aruna tidak ketahuan, namun Aruna sepertinya menyelidik apa yang ingin dilakukan Calvin. "Aku... aku cuma ingin merapikan rambutmu," jawab Calvin terbata-bata sambil berdiri untuk menjauhi Aruna. "Kalau rambutmu nutupin hidung, kamu pasti susah napas saat tidur." Aruna duduk tegak, tangannya meraba-raba rambutnya dengan ragu, matanya menyimpan pertanyaan yang belum terjawab. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, Calvin tiba-tiba menarik napas panjang dan berkata dengan nada serius, "Malam ini aku tidak tidur di ru
"Ada apa dengannya? Semakin aneh! Tapi tidak masalah dia pergi lebih cepat dari pada dia terus menanyai soal Ayahnya dan aku tidak tahu harus mengatakan apa." Aruna juga ikut masuk ke dalam rumah. Aruna memilih ke dapur untuk bertanya kepada pelayan apa yang akan mereka siapkan untuk makan malam. Tuan Darwish melangkah keluar dari rumah putranya dengan wajah memerah dan alis berkerut tajam. Rasa kesal menguasai seluruh tubuhnya setelah usahanya mengancam Aruna agar menjauh dari Calvin gagal total. Dalam bisikannya yang penuh amarah, ia mengutuk wanita itu dengan kata-kata kasar yang nyaris tak terkendali. Begitu sampai di mobil, tangan besarnya mencengkeram setir dengan erat, lalu tiba-tiba memukulnya keras hingga terdengar dentuman nyaring. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak teratur, tanda jelas luapan emosi yang membara di dalam dirinya. “Sialan! Wanita itu pikir dia siapa? Aku tak akan diam saja!” geramnya sambil menggertakkan
Aruna menatap kertas yang terlipat rapi di tangannya, angka besar di cek itu seolah berkilau memanggil-manggil hasrat dan kebingungan sekaligus. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak menentu. "Apa maksud Ayah dengan ini?" suaranya terdengar lirih, namun ada getar ketegangan yang sulit disembunyikan. Tuan Darwish yang berdiri di hadapannya, malah mengalihkan pandangan ke taman luas yang dibangun Calvin, napasnya panjang sebelum akhirnya menatap tajam ke arah Aruna. "Aku tidak suka kau memanggilku ayah. Aku tidak mengakui kau sebagai menantuku," ucapnya dingin, kata-katanya menusuk seperti pisau yang membuat Aruna tercekat. Aruna terdiam, matanya menunduk, dada sesak seolah beban penolakan itu menekan seluruh tubuhnya. Hatinya hancur, tapi tak ada setetes air mata yang jatuh. Dia tahu, dalam diam itu, dia dianggap asing, bahkan oleh pria yang seharusnya menjadi keluarga walaupun pernikahan ini hanya sebuah pernikahan dengan perjanjian.
Stevani melangkah keluar dari sebuah kafe yang tidak terlalu ramai bahkan tidak begitu dikenal orang. Stevani sengaja membuat janji dengan Paman Darwish dilokasi itu agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh siapapun. Stevani keluar dengan mata yang bersinar penuh kemenangan setelah berhasil mengajak Ayah Calvin terjerat dalam rencana liciknya. Wajahnya yang tadinya tegang kini berubah menjadi senyum tipis penuh arti. Tak jauh dari situ, sosok Harry sudah menunggu dengan sabar, mengenakan jaket kulit hitam yang menambah pesonanya sebagai model majalah dewasa. Tanpa ragu, Stevani mendekat dan berjabat tangan erat dengan Harry. Tangannya yang lentik menyentuh tangan pria itu seolah memberi sinyal bahwa mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Dengan gerakan lembut, Stevani memberikan kecupan ringan di pipi kiri Harry, kemudian beralih ke pipi kanannya. Senyum manisnya merekah sempurna, memperlihatkan kepercayaan diri yang memikat. Kemu
Rico menatap Calvin dengan mata membelalak, jantungnya seolah berhenti sejenak saat pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Tubuhnya yang biasanya tenang kini gemetar halus, bibirnya sulit membuka untuk menjawab. Calvin, yang berdiri disamping Rico namun matanya menatap tajam penuh harap, mulai menunjukkan tanda ketidaksabaran. “Rico, pernah tidak kamu merasakan jantungmu berdetak kencang saat dekat dengan wanita?” tanya Calvin lagi dengan nada yang lebih mendesak. Rico akhirnya mengangguk pelan, suara seraknya keluar, “Pernah… saat aku dekat dengan wanita yang aku sukai.” Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Calvin menyeringai kecil, lalu membalikkan pertanyaan, “Yang lain?" "Maksud Tuan?""Maksudku apakah ada yang lain selain menyukai wanita? Aku rasa itu tidak masuk dalam masalahku.""Bagaimana Tuan bisa begitu yakin? Apakah Tuan sudah menganalisanya saat di kondisi yang berbeda? atau apakah Tuan pernah mengalami hal sepertu itu jika berhadapan dengan wanita yang t
Aruna tidak menemukan Calvin setelah selesai mandi. Calvin bahkan tidak meninggalkan pesan kemana dia pergi. Aruna keluar dari kamar dan berjalan turun ke lantai bawah. "Kamu sudah bangun?" sapa Nyonya Sabrina ketika melihat menantunya turun dengan wajah lebih segar. "Sudah Ibu! Apakah kamu melihat Calvin?" "Calvin? Apa dia tidak mengatakan akan pergi kemana?" Aruna menggelengkan kepalanya, "Calvin tadi sudah pergi dengan terburu-buru bersama Rico untuk urusan pekerjaan. Dia hanya menitip pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu." Nyonya Sabrina mengajak Aruna berjalan ke ruang makan untuk mengajak menantunya sarapan pagi. "Calvin mengatakan jika kamu masih ingin disini maka nanti sore dia akan menjemputmu. Tapi jika kamu ingin kembali pulang, maka supir yang akan mengantarkanmu." Aruna sudah duduk dikursi dan Nyonya Sabrina mulai menyajikan sarapan yang telah dibuatnya. Tidak berapa lama Tuan Alex ikut bergabung dan duduk di kursi kebesarannya. "Pagi Tuan!" sapa Aruna y