"Perkenalkan! Dia istriku. Dia Nyonya Calvin Adelio Darwish."
Semua yang ada di pesta memandang ke arah Calvin dan Aruna. Aruna yang merasa di lihat oleh puluhan mata menjadi tidak nyaman. Dia semakin mengeratkan genggaman tangannya di lengan Calvin. Calvin tahu jika Aruna merasa tidak nyaman. Semua orang mulai berbisik-bisik membicarakan Calvin dan pertunangannya dengan Stevani serta wanita yang diakui oleh Calvin sebagai istrinya. Wajah Tuan Alex, Ayah Calvin memerah menahan amarah dan juga malu dengan pengakuan putranya. Stevani yang berdiri dengan cantik di samping orang tuanya juga kaget sekaligus emosi mendengar pengakuan Calvin yang secara tiba-tiba. "Calvin! Jangan bercanda! Hari ini kita bertunangan dan kamu membawa seorang wanita lain dan mengakuinya istrimu. Berhentilah membuat kejutan, sayang." Stevani berusaha membuat suasana tida tegang dan menyangkal kalau Calvin sedang mengerjainya. "Ini tidak bercanda Stevani. Wanita ini adalah istriku. Aku dan dia sudah menikah dan kini dia menantu keluarga Darwish." "Cukup Calvin! Aku tidak mau mendengarnya." Stevani menutup telinganya karena dia tidak mau mendengar pengakuan yang menyakiti hatinya. Semua orang disana terus membicarakan kehadiran mereka. Tapi Tuan Alex berusaha tidak tenang dengan kejutan yang diberikan Calvin. "Berhentilah bermain-main, Calvin. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu dan Stevani. Jadi jangan membuat semuanya hancur dan mempermalukan keluarga." "Aku tidak bermain-main Ayah. Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku tidak mau ada perjodohan ini. Aku tidak akan menikah dengan wanita pilihanmu hanya demi bisnis dan ambisimu untuk mendapatkan keuntungan yang besar." Calvin melepaskan rangkulan tangannya dipinggang Aruna dan berjalan mendekati Ayahnya sambil berbisik. "Apakah petasannya membuatmu terkejut?" Calvin tersenyum disamping Ayahnya dan melangkah mundur untuk menghampiri Aruna. Calvin membawa Aruna mendekati Ibunya. Wanita yang usianya tidak muda lagi tapi masih terlihat cantik menyambut tangan Aruna ketika Calvin mengenalkannya. "Selamat malam, Nyonya." "Panggil aku seperti Calvin memanggilku, sayang." "I....bu?" Nyonya Sabrina Darwish menganggukkan kepalanya sambil mengajak Aruna duduk disebelahnya. Melihat itu, Stevani semakin terbakar amarah. "Calvin! Kamu tidak bisa seperti ini. Kamu mempermalukan keluargaku dan keluargamu sendiri. Lihat! Disini banyak tamu yang melihat dan mendengarnya. Apakah kamu tidak akan malu jika berita ini tersebar dan akan membuat nama besar Darwish tercoreng?" "Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Sejak awal aku sudah menolak pertunangan ini dan meminta untuk tidak dilanjutkan. Bahkan acara ini juga tidak pernah aku ketahui sama sekali." Calvin melangkah ke tengah pesta dan menatap mata setiap tamu, "Aku Calvin Darwish dengan ini mengatakan kalau pertunangan ini di batalkan dan tidak akan ada pertunangan lainnya karena aku sudah memiliki istri." Stevani menatap kedua orang tuanya yang merasa dipermalukan oleh Calvin. Mereka berbisik akan membuat keluarga Darwish menyesal sudah mempermalukannya. Stevani merasa malu karena semua mata tertuju kepadanya. Dia dengan langkah cepat mendekati Aruna yang duduk disamping Nyonya Sabrina hendak menamparnya. "Wanita sialan..." Calvin dengan sigap langsung berhasil menangkap tangan Stevani yang ingin menampar Aruna. "Tidak ada yang boleh menyentuh istriku. Baik itu kamu atau orang yang ada disini, atau mereka harus berhadapan denganku." Saat mengatakan itu, mata Calvin menatap ke arah Ayahnya. Dia mengatakan sebuah peringatan itu bukan hanya untuk Stevani saja tapi juga untuk Ayahnya. "Alex! Kalian sangat memalukan." Ke dua orang Stevani pergi meninggalkan rumah Calvin dengan amarah yang besar. Stevani tidak bisa menerima semuanya. Dia tidak akan mengalah dengan wanita yang levelnya tidak sebanding dengan dirinya. Stevani berjalan mendekati Calvin dan Aruna sambil berkata, "Ternyata seleramu sangat rendah. Aku tidak menyangka jika kamu menyukai sampah dijalanan dibandingkan aku." Ucapnya tepat disamping Calvin yang berdiri tenang dan berusaha tidak mengacuhkannya. Lalu Stevani menatap ke arah Aruna yang sejak tadi hanya diam setelah kekacauan diakibatkan dengan kemunculannya. "Jangan merasa dirimu menang. Pertunanganku dengan Calvin pasti akan terjadi setelah ini. Bersiaplah dirimu akan aku tendang dari kehidupan Calvin." Aruna merasa terhina dengan perkataan Stevani, "Aku dan Calvin hanya....." Ucapan Aruna berhenti ketika Calvin merangkul pinggang Aruna dengan cukup kuat sehingga Aruna paham jika dia tidak boleh mengatakan semua rahasia tentang pernikahan mendadaknya ini. Situasi semakin tidak terkendali, para tamu yang hadir disana membicarakan mereka. Satu persatu mereka meninggalkan rumah mewah keluarga Darwish hingga tersisa keluarga inti dan beberapa pelayan yang selalu siap berdiri dipinggir untuk melayani mereka. Suasana hening, dan juga menegangkan. Tidak ada yang mulai berbicara. Tuan Alex berjalan mondar mandir sambil meneguk segelas minuman beralkohol untuk menenangkannya. Tapi amarahnya semakin tidak terkontrol lagi ketika dia mendengar suara bisik Aruna kepala Calvin. "CALVINNNNNN!" Pyarrr!!!! Tuan Alex melemparkan gelas yang ada di tangannya ke arah Aruna. Tapi Calvin dengan cepat bisa melindungi Aruna dari pecahan kaca yang akan melukainua dengan cara menarik Aruna kebelakang tubuh Calvin. "Aaaaa!" Nyonya Sabrina dan Aruna berteriak karena terkejut. Aruna sampai bersembunyi di punggung Calvin dan meremas jas yang dipakai Calvin. Melihat situasi yang sangat panas, asisten Calvin menyuruh semua pelayan yang ada disana untuk segera keluar. Mereka ingin memberi ruang privasi kepada keluarga inti agar tidak ada berita yang menyebar keluar. Calvin bersikap tenang dengan tatapan yang tidak lepas dari Ayahnya. Aruna yang ada di belakang Calvin sangat ketakutan. Aruna sampai melihat dengan jelas urat-urat leher Calvin yang menegang karena menahan amarah yang akan meluap. Aruna sekarang paham kenapa Calvin paling tidak suka ada orang berteriak didepannya, karena Calvin mendapatkan perlakuan kasar dari Ayahnya sendiri. "Kamu benar-benar menantangku. Aku melakukan semuanya hanya untukmu. Memberikan kekuasaan dan menjamin kehidupanmu nantinya." "Menjamin kehidupanku apa menjamin kehidupanmu demi sebuah penghormatan?" Ucap Calvin yang menjawab ucapan Ayahnya tanpa meninggalkan Aruna yang tetap bersembunyi dibelakang Calvin.Calvin duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar kencang, wajahnya merah padam saat Aruna menatapnya tajam. Mata Aruna tak berkedip, menelusuri setiap gerak-geriknya yang canggung. "Apa sebenarnya niatmu ada di sini, dekat aku saat aku tidur?" suara Aruna pelan tapi penuh makna, membuat Calvin hampir kehilangan kata-kata. Tubuh Calvin sedikit mundur, seolah ingin menjauh agar niatnya untuk mencium Aruna tidak ketahuan, namun Aruna sepertinya menyelidik apa yang ingin dilakukan Calvin. "Aku... aku cuma ingin merapikan rambutmu," jawab Calvin terbata-bata sambil berdiri untuk menjauhi Aruna. "Kalau rambutmu nutupin hidung, kamu pasti susah napas saat tidur." Aruna duduk tegak, tangannya meraba-raba rambutnya dengan ragu, matanya menyimpan pertanyaan yang belum terjawab. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, Calvin tiba-tiba menarik napas panjang dan berkata dengan nada serius, "Malam ini aku tidak tidur di ru
"Ada apa dengannya? Semakin aneh! Tapi tidak masalah dia pergi lebih cepat dari pada dia terus menanyai soal Ayahnya dan aku tidak tahu harus mengatakan apa." Aruna juga ikut masuk ke dalam rumah. Aruna memilih ke dapur untuk bertanya kepada pelayan apa yang akan mereka siapkan untuk makan malam. Tuan Darwish melangkah keluar dari rumah putranya dengan wajah memerah dan alis berkerut tajam. Rasa kesal menguasai seluruh tubuhnya setelah usahanya mengancam Aruna agar menjauh dari Calvin gagal total. Dalam bisikannya yang penuh amarah, ia mengutuk wanita itu dengan kata-kata kasar yang nyaris tak terkendali. Begitu sampai di mobil, tangan besarnya mencengkeram setir dengan erat, lalu tiba-tiba memukulnya keras hingga terdengar dentuman nyaring. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak teratur, tanda jelas luapan emosi yang membara di dalam dirinya. “Sialan! Wanita itu pikir dia siapa? Aku tak akan diam saja!” geramnya sambil menggertakkan
Aruna menatap kertas yang terlipat rapi di tangannya, angka besar di cek itu seolah berkilau memanggil-manggil hasrat dan kebingungan sekaligus. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak menentu. "Apa maksud Ayah dengan ini?" suaranya terdengar lirih, namun ada getar ketegangan yang sulit disembunyikan. Tuan Darwish yang berdiri di hadapannya, malah mengalihkan pandangan ke taman luas yang dibangun Calvin, napasnya panjang sebelum akhirnya menatap tajam ke arah Aruna. "Aku tidak suka kau memanggilku ayah. Aku tidak mengakui kau sebagai menantuku," ucapnya dingin, kata-katanya menusuk seperti pisau yang membuat Aruna tercekat. Aruna terdiam, matanya menunduk, dada sesak seolah beban penolakan itu menekan seluruh tubuhnya. Hatinya hancur, tapi tak ada setetes air mata yang jatuh. Dia tahu, dalam diam itu, dia dianggap asing, bahkan oleh pria yang seharusnya menjadi keluarga walaupun pernikahan ini hanya sebuah pernikahan dengan perjanjian.
Stevani melangkah keluar dari sebuah kafe yang tidak terlalu ramai bahkan tidak begitu dikenal orang. Stevani sengaja membuat janji dengan Paman Darwish dilokasi itu agar pertemuan mereka tidak diketahui oleh siapapun. Stevani keluar dengan mata yang bersinar penuh kemenangan setelah berhasil mengajak Ayah Calvin terjerat dalam rencana liciknya. Wajahnya yang tadinya tegang kini berubah menjadi senyum tipis penuh arti. Tak jauh dari situ, sosok Harry sudah menunggu dengan sabar, mengenakan jaket kulit hitam yang menambah pesonanya sebagai model majalah dewasa. Tanpa ragu, Stevani mendekat dan berjabat tangan erat dengan Harry. Tangannya yang lentik menyentuh tangan pria itu seolah memberi sinyal bahwa mereka adalah pasangan yang tak terpisahkan. Dengan gerakan lembut, Stevani memberikan kecupan ringan di pipi kiri Harry, kemudian beralih ke pipi kanannya. Senyum manisnya merekah sempurna, memperlihatkan kepercayaan diri yang memikat. Kemu
Rico menatap Calvin dengan mata membelalak, jantungnya seolah berhenti sejenak saat pertanyaan itu meluncur tiba-tiba. Tubuhnya yang biasanya tenang kini gemetar halus, bibirnya sulit membuka untuk menjawab. Calvin, yang berdiri disamping Rico namun matanya menatap tajam penuh harap, mulai menunjukkan tanda ketidaksabaran. “Rico, pernah tidak kamu merasakan jantungmu berdetak kencang saat dekat dengan wanita?” tanya Calvin lagi dengan nada yang lebih mendesak. Rico akhirnya mengangguk pelan, suara seraknya keluar, “Pernah… saat aku dekat dengan wanita yang aku sukai.” Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Calvin menyeringai kecil, lalu membalikkan pertanyaan, “Yang lain?" "Maksud Tuan?""Maksudku apakah ada yang lain selain menyukai wanita? Aku rasa itu tidak masuk dalam masalahku.""Bagaimana Tuan bisa begitu yakin? Apakah Tuan sudah menganalisanya saat di kondisi yang berbeda? atau apakah Tuan pernah mengalami hal sepertu itu jika berhadapan dengan wanita yang t
Aruna tidak menemukan Calvin setelah selesai mandi. Calvin bahkan tidak meninggalkan pesan kemana dia pergi. Aruna keluar dari kamar dan berjalan turun ke lantai bawah. "Kamu sudah bangun?" sapa Nyonya Sabrina ketika melihat menantunya turun dengan wajah lebih segar. "Sudah Ibu! Apakah kamu melihat Calvin?" "Calvin? Apa dia tidak mengatakan akan pergi kemana?" Aruna menggelengkan kepalanya, "Calvin tadi sudah pergi dengan terburu-buru bersama Rico untuk urusan pekerjaan. Dia hanya menitip pesan kepadaku agar disampaikan kepadamu." Nyonya Sabrina mengajak Aruna berjalan ke ruang makan untuk mengajak menantunya sarapan pagi. "Calvin mengatakan jika kamu masih ingin disini maka nanti sore dia akan menjemputmu. Tapi jika kamu ingin kembali pulang, maka supir yang akan mengantarkanmu." Aruna sudah duduk dikursi dan Nyonya Sabrina mulai menyajikan sarapan yang telah dibuatnya. Tidak berapa lama Tuan Alex ikut bergabung dan duduk di kursi kebesarannya. "Pagi Tuan!" sapa Aruna y