"Syiifaa ...!"
"Ada apa, Mah. Kenapa teriak-teriak?" tanya Syifa terkejut dengan teriakan sang mertua. "Kamu ngapain di kamar sih? Kenapa kerja kamu cuma santai-santai main hp aja," ucap Dina. Syifa lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya, sejak tadi Syifa mengerjakan pekerjaan rumah bahkan sudah memasak untuk mertuanya itu. Namun, baru sebentar berada di kamar dan memainkan handphone langsung diteriaki seperti itu. "Daripada kamu main handphone gak ada manfaatnya, lebih baik kamu ke toko susu beliin susu hamil untuk Sherly!" ucap Dina. "Toko susu jauh dari sini, Mah. Telepon aja Mas Ryan suruh bawain susu hamil untuk Sherly, saat pulang dari toko furniture," jawab Syifa. "Kelamaan kalau nunggu Ryan pulang dari toko furniture, Sherly harus minum susu sekarang!" ucap Dina. "Ya sudah kalau gitu Mama aja yang beliin ke toko susu," jawab Syifa. "Kamu ini benar-benar menantu yang gak punya otak ya! Disuruh mertua malah nyuruh balik," ucap Dina. Syifa tersenyum kecut mendengar Dina berbicara dengan nada tinggi, mungkin ucapan Dina terdengar hingga ke rumah tetangga dan itu sudah menjadi hal biasa. Biasanya Syifa tidak pernah menjawab ucapan Dina karena masih menghormati mertuanya itu, tetapi hari ini hatinya sedang tidak baik-baik saja dan ia pun refleks menjawab ucapan sang mertua. "Maaf Mah, Aku bukan pembantu di rumah ini, aku Nyonya rumah. Sudah bagus aku menerima Sherly di sini tanpa syarat apapun, jadi jangan pernah memerintah aku seperti itu!" ucap Syifa. Dina meradang mendengar ucapan Syifa, menantunya yang biasa diam gak pernah menjawab kini berani mengeluarkan kata tajam padanya. "Dasar perempuan mandul, berani sekali kamu bicara seperti itu!" ucap Dina. "Berhenti bicara seperti itu! Aku bisa saja tidak menerima pernikahan mas Ryan dan Sherly lalu mengusir mereka dari rumah ini. Ingat rumah ini dan toko furniture adalah milikku!" ucap Syifa. Tubuh Sherly menegang mendengar ucapan Syifa, ia tak ingin tinggal di kontrakan sempit dan terpisah dari Ryan lagi. Sherly pun berusaha menenangkan sang mertua agar tidak membuat Syifa marah dan mengusirnya. "Mah, sudah jangan ribut lagi. Benar kata Mbak Syifa lebih baik nunggu Mas Ryan pulang dari toko furniture aja, nggak papa kok kalau minum susu hamil pas malam," ucap Sherly. "Untuk menantu baruku ini baik, tidak seperti kamu. Sudah mandul tidak sopan pada mertua pula," ucap Dina. "Selama ini aku sudah berusaha sopan pada Mama, tapi di mata Mama aku selalu salah," ucap Syifa meninggalkan Dina dan Sherly di ruang tamu. Wanita cantik itu kembali ke kamar dan melihat ponselnya lagi. Athar memberi kabar jika dia akan ada di kampung tersebut selama seminggu, Syifa tersenyum membaca pesan dari sahabatnya itu. Ia bersyukur Athar ada di saat ia sedang hancur dan butuh tempat untuk bercerita, persahabatannya dengan Athar sudah terjalin sejak mereka masih kecil sehingga hanya Athar tempat ternyaman untuk Syifa bercerita. Siang menjelang sore, Dina pulang ke rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah Syifa. Mereka memang tinggal satu kampung, tetapi rumah Syifa jauh lebih besar dari rumah yang di tempat Dina. Seperti biasa saat Ryan pulang Syifa menyambut nya di depan pintu dan mencium tangannya, tetapi kali ini Syifa di temani perempuan lain dan melihat sang suami memberikan susu hamil untuk Sherly karena Dina mengirim pesan padanya. "Di minum ya susunya, biar anak kita tumbuh sehat," ucap Ryan seraya mengelus perut Sherly yang masih rata. "Iya, terima kasih, Mas." Sherly menjawab dengan senyum yang sangat manis. Pemandangan itu membuat hati Syifa teriris, ia memejamkan matanya karena ternyata ikhlas itu tidak mudah untuk di lakukan. Ia cemburu melihat kemesraan suami dengan istri barunya. "Kamu bilang menikahi Sherly karena terpaksa, Mas. Akan tetapi, sikap kalian begitu mesra seperti orang yang saling mencintai," gumam Syifa dalam hati. "Syifa, kok bengong," ucap Ryan membuyarkan lamunan Syifa. "Eh iya, Mas. Kamu mau langsung mandi atau minum teh hangat dulu?" tanya Syifa. "Langsung mandi aja, badanku sudah lengket. Setelah itu ingin langsung makan karena sudah lapar, kamu sudah masak kan?" tanya Ryan. Syifa menganggukkan kepala, ia melakukan semua kebiasaan seperti biasa meski dalam keadaan hati yang tidak baik-baik saja. Ryan masuk kamar dan mandi, Syifa menyiapkan makanan untuk suaminya itu, sedangkan Sherly entah sedang apa di kamarnya. Setelah selesai mandi Ryan pun berjalan ke meja makan dan Syifa melayaninya makan, Sherly keluar dari kamar dan duduk di samping Ryan. "Kamu mau makan, mau yang mana biar aku sendokkan," ucap Ryan. Sherly menunjuk makanan yang ia mau dan Ryan menyendokkan kedalam piring, hati Syifa menjerit melihat hal itu. Sang suami yang ia perlakukan seperti raja malah memperlakukan wanita lain seperti ratu. "Ya Tuhan ternyata rasanya sakit sekali, apa keputusanku salah menerima Sherly. Sampai kapan aku mampu bertahan dalam rumah tangga ini?" gumam Syifa dalam hati. "Syifa, kamu melamun lagi," ucap Ryan. "Mas, kamu sudah janji akan berlaku adil. Namun, sikap mu tadi membuat ku merasa tidak adil," ucap Syifa. Ryan tertegun, ia tidak menyadari jika baru saja melakukan hal yang salah. Lelaki itu terlalu memperhatikan dan memanjakan Sherly karena istri mudanya itu sedang mengandung. "Maaf Syifa aku tidak sengaja, aku memperhatikan Sherly karena mengingat kandungannya," ucap Ryan. Syifa tak menjawab ucapan Ryan. Ia terdiam lalu meninggalkan meja makan, nafsu makannya tiba-tiba hilang melihat perhatian suaminya pada istri baru. Di dalam kamar, ia kembali berbalas pesan dengan Athar. [Besok sibuk gak? Kita ke sungai yuk!] [Gak sibuk, sih. Nanti aku kabarin lagi.] Balas Syifa. Sungai di kampung mereka tidak jauh dari rumah Syifa dan itu adalah tempat bermain Syifa dengan Athar sejak mereka kecil sampai beranjak dewasa. Sejak Athar merantau ke kota Syifa jarang ke sungai itu, apalagi setelah menikah. Kini ia pun berpikir ulang takut Ryan marah melihat ia pergi dengan lelaki lain meski itu sahabatnya. [Syifa, benarkah perempuan yang tadi di rumahmu adalah istri baru suaminya?] tanya Ryan. [Kamu tahu dari mana?] [Dari Ros, dia bilang mertuamu mencarikan istri baru untuk suamimu karena masalah momongan. Benarkah?] tanya Athar. Syifa menyimpan ponselnya saat Ryan membuka pintu kamar dan masuk, lelaki itu duduk di samping Syifa dan menggenggam tangannya. "Syifa, aku minta maaf. Aku akan berusaha untuk adil, malam ini aku tidur di sini," ucap Ryan. "Aku tidak tahu, Mas. Sampai kapan bisa bertahan dalam pernikahan ini, ternyata ikhlas itu tidak mudah, ternyata rasa cintaku yang besar padamu membuatku cemburu saat kamu memberi perhatian pada istrimu yang lain," ucap Syifa. "Lalu bagaimana aku harus bersikap, Syifa?" tanya Ryan."Iya, aku sudah mempersiapkan semuanya termasuk mahar pernikahan," ucap Athar."Kapan kamu mempersiapkannya, mengapa semua terasa sangat singkat untukku?" tanya Sabrina."Setelah aku berbicara di rumah ini, esok harinya aku langsung memesan sebuah benda untuk aku jadikan mahar," ucap Athar.Sabrina benar-benar tidak pernah berpikir jika Athar sudah mempersiapkan semuanya dalam waktu sesingkat itu. Sabrina tidak pernah tahu pikiran Athar tidak pernah tenang setelah kejadian Ryan mengganggunya, ia yakin akan ada lelaki lain yang nantinya akan menganggu Sabrina sehingga lelaki itu sangat ingin segera menghalalkan Sabrina dan mempersiapkan segala halnya dengan cepat.Satria menyadari langkah Athar dalam mempersiapkan itu, ia benar-benar merasa salut dengan asistennya itu. Bukan hanya masalah perkejaan saja yang cepat, dalam mengejar wanita nya pun Athar bergerak cepat. Itu sebabnya hari ini Satria ingin membuat mereka melakukan ijab kabul hari ini juga."Penghulu sebentar lagi datang, kal
"Athar, perempuan yang akan kamu lamar anak orang kaya?" tanya Gina.Athar tersenyum dan mengangguk, lalu meminta keluarganya mengeluarkan barang-barang dari mobil box untuk dibawa kepada pihak wanita yang sudah berjejer menyambut.Keluarga Athar pun menggambil barang-barang dari dalam mobil box dan mereka berikan kepada pijak keluarga perempuan yang menyambut, setelah semua barang dari mobil box sudah di berikan pada pihak wanita. Keluarga Athar pun dipersilahkan untuk masuk kedalam rumah mewah tersebut."Mah, Sabrina nya mana?" tanya Banyu."Masih di kamar, Pah. Tadi Mama cek Vsedang pakai kerudung, Mama 9. panggil lagi ya!" ucap Amalia."Iya, panggil sekarang keluarga calon suaminya sudah datang," ucap Banyu.Amalia pun berjalan meninggalkan para tamu untuk memanggil anaknya di kamar, sementara anggota keluarga Athar masih terkesima dengan kemewahan rumah calon mertua Athar. Mata mereka memutari seluruh penjuru ruangan tersebut, hingga akhirnya dua orang wanita cantik turun dari ta
"Emang kenapa kalau orang miskin?" tanya Athar."Kalau bisa kamu nikah sama anak orang kaya. Kan sekarang kamu sudah jadi lelaki sukses, masa nikah sama perempuan miskin gak maju-maju dong!" ucap Ros."Bu, jangan ngatur-ngatur Athar. Sama siapapun dia mau nikah yang penting dia bahagia, Athar seorang lelaki seperti apapun istrinya nanti dia yang akan menafkahinya!" tegur Gilang.Athar menghela nafas dan menggelengkan kepala, jika bukan karena hal penting seperti lamaran Athar tak ingin bertemu apalagi berbicara dengan ibu tirinya itu.Sejak Athar kecil Ros tak pernah menjadi ibu sambung yang baik, ia selalu memandang orang tak punya sebelah mata dan tidak memikirkan perasaan orang lain, hanya memikirkan kesenangan diri sendiri."Ayah, tolong ajarkan pada kedua adikku jangan memandang harta adalah segalanya karena Allah berfirman dalam Q.S Al-Kahfi ayat 56. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sis
"Aku mau secepatnya, kalau bisa Jumat ini Ayah datang dan hari minggunya kita lakukan lamaran," ucap Athar masih melalui sambungan telepon.Sungguh lelaki itu tak ingin menunda lagi untuk segera menghalalkan wanita yang selama ini ia cintai dalam diam, cintanya tak bertepuk sebelah tangan jika tidak segera di sahkan ia takut ada lelaki lain yang menganggu hubungan mereka."Siapa saja yang harus ikut untuk acara lamarannya?" tanya Gilang."Keluarga inti. Ayah, ibu, dan adik-adik ayah serta suami dan istrinya," ucap Athar."Banyak dong sekitar sepuluh orang, ayah harus sewa mobil kalau gitu," ucap Gilang."Nanti aku akan kirim 2 mobil beserta supirnya dari sini. Ayah tinggal komunikasikan saja dengan om dan tante yang mau ikut berapa orang," ucap Athar.Gilang menghela nafasnya, ia adalah anak tertua di keluarganya dan memiliki 4 orang adik, 3 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Namun, ekonomi mereka semua sama-sama pas-pasan.Mereka jarang pergi keluar kampung, hanya Gilang yang seo
"Mah, Pah, kenapa harus pakai syarat segala?" tanya Sabrina."Setelah belasan tahun kamu hilang, lalu baru dipertemukan dengan kami. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang ingin membawamu pergi, mana mungkin kami izinkan begitu saja tanpa memberi syarat," ucap Banyu.Satria menganggukan kepala setuju dengan ucapan sang papa, mereka baru menikmati kebersamaan dan bila di katakan belum puas pastinya belum puas. Namun, mereka tidak ingin melarang Athar untuk menikahi Sabrina karena takut nantinya Sabrina malah jatuh ke tangan lelaki yang tidak tepat.Sabrina mulai khawatir sang papa memberikan syarat yang memberatjan Athar, sehingga lelaki itu akhirnya tidak bisa menyanggupi dan akhirnya pernikahan mereka dibatalkan.Athar malah menganggukan kepala, ia akan berusaha menyanggupi apapun syarat dari Banyu, asalkan ia bisa menikah dengan Sabrina nyawa pun dia sanggup berikan."Apa syaratnya, Om?" tanya Athar."Syarat pertama setahun pernikahan kalian harus berada di rumah ini, aku tidak ingin kam
"Tidak tahu makanya lebih baik kamu datang dulu, mereka pasti terkejut karena tahunya kita hanya bersahabat," ucap Sabrina."HM ... Baiklah, besok aku akan bertemu kedua orang tuamu!" ucap Athar."Sekarang kamu istirahat dulu, oh iya ini salep yang untuk luka dari dokter aku simpan di kamarmu ya!" ucap Sabrina.Tanpa menunggu jawaban dari lelaki tampan itu Sabrina pun berjalan menuju kamar Athar, ia membuka pintu kamar yang tak di kunci. Begitu masuk kedalam kamar ia terkejut melihat fotonya yang di cetak besar menjadi penghias kamar itu.Athar menyusul langkah Sabrina dan hanya bisa terdiam di depan pintu kamar, saat melihat Sabrina terpaku memandangi fotonya sendiri di kamar itu."Apa ini alasannya kamu selalu mengunci kamar ini saat aku tinggal di sini dulu?" tanya Sabrina."Iya," jawab Athar singkat."Tapi waktu itu aku pernah masuk, foto ini tidak ada," ucap Sabrina."Aku sembunyikan di dalam lemari agar kamu tidak tahu," ucap Athar.Sabrina menghela nafas, lalu meletakan salep d