“Tidak semangat latihan, huh?” Juan menyenggol lengan Moreau ketika dia sedang berkeringat, tak berhasrat, bahkan sedang haus – hausnya untuk meneguk sebotol air mineral dengan wajah menengadah tinggi. Suara kerongkongan mencuak ke permukaan hingga Juan tersulut untuk menelan ludah kasar. Tanpa meninggalkan perhatian dari tingkah Moreau yang aneh, pria itu mengambil posisi duduk berdampingan, menenggak air dari botol minum berbeda—khusus diperuntukan kepada mereka setelah menyelesaikan latihan atau bahkan ketika sedang dalam proses. Hening menyelinap beberapa saat di antara mereka. Moreau tidak tahu apa yang dapat dia katakan. Nyaris tidak memiliki petunjuk sekadar mengomentari bagian paling mengejutkan yang terungkap di kamarnya tadi pagi. Ini tidak beres. Moreau bingung bagaimana Abihirt menjadi api sekaligus berperan sebagai pemadam, yang melenyapkan kebakaran dalam waktu sekejap. Hal – hal yang begitu bagus tertanam di benaknya, pelbagai macam kalimat persuasif yang baik meng
“Jika pria dewasa memintamu menjadi simpanannya, anggap saja begitu. Itu hanya ada dua kemungkinan. Pertama, dia tertarik kepadamu, atau hanya ingin menjadikanmu sebagai tempat hiburan. Tempat persinggahan, dan hal – hal lainnya yang menyenangkan.” Bagian pertama yang disebutkan—Moreau tidak terlalu yakin. Napasnya seperti tercekat memikirkan yang kedua. Alasan Abihirt sudah sebegitu jelas. Mengapa dia harus mencoba sekadar menemukan celah? Pria itu hanya ingin menjadikan Moreau sebagai tempat mencari untung. Juan benar. Atau – atau, yang paling sarat dari tawaran Abihirt ... adalah ingin membiarkan Barbara terbakar api cemburu. Moreau mengangkat sebelah alis tinggi setelah disergap lamunan seperti itu. Dia mengerjap, berniat ingin melupakan apa pun yang ditanyakan, sebelum tiba – tiba Juan kembali bersuara. “Mengapa kau tanyakan padaku hal itu? Apa seorang pria dewasa menawarimu pilihan untuk menjadi simpanan?”
“Apa Abi belum pulang juga?” Moreau hampir tersentak, dan di waktu bersamaan berusaha mengendalikan diri dari kemunculan Barbara di halaman belakang rumah. Dia sedang menikmati momen merendam kaki di kolam air, sama sekali tidak memiliki petunjuk bahwa wanita itu akan tiba – tiba muncul mencari seseorang. Bola mata Barbara berpendar di sekitar. Tidak menemukan siapa pun, maka satu – satunya yang tertinggal adalah embusan napas kasar. Pada momen berikutnya Moreau segera mengetahui jika Barbara mengambil langkah, mondar – mandir untuk satu alasan mencolok. Kekhawatiran sedang berhamburan, barangkali itulah cara sekadar mendesak sikap tenang supaya berperan singkat. “Aku tak melihatnya dari tadi.” Tak tahan. Moreau menambahkan dengan lambat agar Barbara tidak bersikap berlebihan. Penampilan wanita itu masih terlampau lengkap. Tas jinjing sedang bertaut di tangan.
Mengerikan sekali harus mengamati Barbara sepanjang waktu menyibukkan diri di layar monitor. Jari – jari wanita itu bergerak di atas keyboard tanpa niat sedikitpun meninggalkan apa pun yang sedang dikerjakan. Moreau tidak mengerti pemikiran ibunya. Wanita itu melarang dia terlibat di kantor; apa pun, terhadap perusahaan yang sedang—saat ini, dijalankan oleh tangan kanan mendiang ayahnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Bagi Moreau sikap Barbara di sini, terungkap cukup berlebihan sebagai pemilik bisnis. Sebenarnya dia menyimpan perasaan ganjil terhadap sesuatu yang runcing. Ya, sesuatu tentang wasiat telah tertulis jauh – jauh hari sebelum Jeremias Riveri mengembuskan napas terakhir: Dengan dia sebagai pewaris tunggal; Moreau akan melanjutkan perusahaan keluarganya di usia ke 28. Akan tetapi, rasanya itu terlalu mustahil setelah apa yang telah Barbara kendalikan lewat izin dari Jeremias Riveri kala itu. Sebagai ganti, sejak kecil Moreau
“Tidak perlu melakukannya, Moreau. Aku sedang tidak lapar.” Tubuh Moreau tersentak, betapa terkejut mendapati ayah sambungnya tiba – tiba sudah menjulang sekian jengkal jarak dari meja bar. Pria itu masih dengan kemeja putih yang terungkap seksi dan pas, sementara kali ini jas kelabu sedang menggantung di lengan yang menekuk, terlihat kokoh hingga Moreau kesulitan memilih kata terbaik untuk menilai. Pun ... dia sungguh tak akan mengatakan sesuatu secara gamblang. Abihirt tampaknya sedang menahan sesuatu dan Moreau merasa kasihan. Dia sedang tidak memikirkan tentang tawaran yang pria itu berikan, tetapi iba mengetahui bagaimana Abihirt harus lebih sabar menghadapi ibunya. Dia tidak yakin ingin membiarkan pria itu pergi, sekarang, setelah kejadian tadi siang yang mengejutkan, bahkan mungkin telah berdampak. Abihirt tidak mungkin meminta bantuan Barbara jika pria itu sedang baik – baik saja. Moreau menipiskan bibir tanpa sadar menyadari sebentar lagi ayah sambungnya akan meninggalkan
“Aku ingin meminta pertanggungjawaban-mu.” “Pertanggungjawaban apa?” Moreau menelan ludah kasar, hampir sungguh - sungguh berjuang mempertaruhkan tujuan Abihirt sebenarnya. Terlalu ambigu. Dia sebenarnya tahu. Pria itu ... hanya tak menyatakan langsung rasa sakit di bahu, dan terkait kejadian apa pun. Perlu diakui, hal demikian memang tanggung jawabnya. Abihirt benar mengenai itikad baik. Mereka perlu melakukan kesepatan, tetapi tidak seperti ini caranya. Dengan tekad paling berani Moreau mengerjap hingga sedikit lebih keras menekan dada liat pria itu. Jarak berhimpit telah kembali diurai dan dia segera bangun untuk berhadap – hadapan bersama ayah sambungnya. “Baiklah, mana bahu-mu yang cidera?” Sudut bibir Abihirt berkedut tipis, ntah itu sebuah kepuasaan atau memang kebiasaan yang tidak pernah Moreau ketahui. Dia menelan ludah kasar menya
Sayangnya, tidak semata – mata menenggelamkan antusiasme Moreau dari keinginan demikian. Sekadar gambar elang. Bukan sesuatu yang penting dan serius, bahkan tidak menarik simpatisan, walau dia dia menyatakan perasaan tersebut secara langsung kepada Abihirt. Memilih diam dan melanjutkan kembali kebutuhan memijat yang sesekali berhenti ketika merasa lelah. “Kapan aku harus berhenti?” Separuh perasaan jengkel menyergap tanpa bisa Moreau kendalikan. Dia benar – benar tidak melanjutkan lagi, memastikan kedua tangan tidak bertengger di garis bahu ayah sambungnya. Barangkali Abihirt mengerti dan pria itu segera bangkit. Cukup mengerikan terlibat dalam satu bayangan saat tubuh tinggi tersebut menjulang, sementara posisi kaki Moreau masih menekuk di atas ranjang. Dia menengadah menatap ayah sambungnya; antara tidak memiliki ide untuk mengatakan sesuatu, dan di sisi lain ... menyerahkan sikap serius saat Abihirt mengenakan kembali kemeja putih yang teronggok di pinggir kasur. Satu demi satu
Pria itu langsung menoleh, persis telah menuntaskan makan malam dan meneguk setengah gelas air, dan mengusap mulut dengan kain kering. “Kau perlu sabar untuk masalah pemindaian nama. Aku perlu mengurus beberapa hal lain.” Tentu saja. Barbara akan dengan senang hati menantikan momen paling menguntungkan. Dia tersenyum lembut kepada suaminya. Memastikan niat tertahan menyeruak lagi pada kebutuhan utama. Kaki yang bergerak di bawah kolong meja ... berhenti. Diliputi napas setengah menggebu Barbara beranjak lebih dekat di hadapan Abihirt. Pria itu sedang meneliti hasrat di sekitar bahunya dengan mata mendelik cerdas, walau tidak terungkap sedikitpun penolakan di sana. “Biar aku di atas.” Barbara lantas berbisik lambat, sengaja menjulurkan lidah untuk menjilat leher suaminya. Dengan keahlian mumpuni, dia menggerakkan telapak tangan secara tentatif mengusap dada liat
Ujung tenggorokan Barbara seakan tercekat membayangkan pernikahan ini adalah ajang balas dendam. Dia tidak sedang mengenakan kostum penyesalan. Apa yang terjadi 20 tahun lalu adalah murni atas ketertarikan seseorang terhadap seseorang lainnya. Dia memang ... tahu bahwa Soares Villur Alcaraz telah memiliki istri. Begitu pula dengan mendiang suaminya, Jeremias Riveri. Namun, kematian Vanesia adalah gambaran tidak terpikirkan. Dia merasa .... ketika Soares akan memilihnya, itu merupakan bentuk keajaiban yang pantas. Mereka sempat merencanakan pernikahan setelah kematian Vanesia, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Rasa bosan ... hal tersebut dapat dipahami. Lagi pula, bersama Soares, Barbara sudah mendapat apa yang dia inginkan. Kemudian, dia mulai mengejar Jeremias. Semua terjadi seperti itu. Abihirt .... Barbara tidak bisa diam begitu saja. Perhatiannya mengedar ke pelbagai arah. Dia sebaiknya menggeledah supaya menemukan petunju
“Nyonya, Tuan sedang tidak di rumah. Dan atas perintah spesifik dari beliau, Anda tidak diizinkan menginjakkan kaki di tempat ini.” Barbara segera menoleh saat Emma mulai bicara. Ada ketakutan di balik suara wanita paruh baya itu. Sesuatu jelas telah dipahami bahwa dia akan melakukan hal di luar kendali. “Siapa kau melarangku?” tanya Barbara sembari menatap wanita di hadapannya penuh penghinaan besar. “Saya hanya menjalankan tugas, Nyonya.” Emma segera menunduk. Betapa Barbara muak menghadapi saat – saat seperti ini. Dia sedang ingin melampiaskan banyak hal. Barangkali bukan gagasan buruk jika melakukan satu hal memuaskan di sini. Dengan sudut bibir berkedut sinis, Barbara kemudian berkata, “Tugasmu hanya membersihkan apa pun yang terlihat kotor. Oh—atau kau merasa sudah melakukan pekerjaan-mu, maka kau bisa menggoyang kaki dengan tenang? Mari kutunjukkan kepadamu apa yang perlu kau lakukan. Sekarang, ambil kunci gudang!” Pernyataan Barbara diakh
Terbangun dengan kondisi sekujur tubuh mengalami pemberatan murni, membuat Barbara meringis setiap kali dia berusaha melakukan gerakan lain; kelopak matanya mengerjap, sedikit diliputi usaha mengingat kali terakhir hal yang dihadapi, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak berada di mana pun di kediaman Abihirt. Siapa yang membawanya pulang? Benak Barbara bertanya – tanya tak mengerti. Jelas waktu telah berlalu jauh dan dia banyak melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tidak apa – apa jika Abihirt ingin melampiaskan segala bentuk kemarahan kepadanya, asal pria itu tidak mengajukan satu hal yang benar – benar tidak Barbara inginkan. Napasnya memburu berat hanya dengan memikirkan hal tersebut. Jari – jari yang terasa gemetar berusaha menyisir helai rambut—terurai berserak di sekitar wajah. Berharap dia bisa segera bersiap. Sial. Sesuatu menghentikan Barbara ketika sorot matanya membidik satu titik di atas nakas. Semacam sebuah berkas yang
Sekarang ... ntah cambukan kali ke berapa. Barbara tidak bisa menghitung. Semua bentuk pemikiran di benaknya hancur berantakan. Krisis ketidakpercayaan terhadap sikap Abihirt sungguh memberi pengaruh besar. Dia merasa benar – benar telah memborong kebodohan, hingga yang tersisa adalah hasrat supaya tidak terjebak pada kondisi seperti ini. “Sakit, Abi,” Barbara mengeluh sarat nada begitu getir. Sebatas harapan agar Abihirt bersedia memberi ampun. Jika pria itu berpikir ini merupakan hukuman setimpal, hal tersebut sama sekali bukan keadilan. Dia berharap Moreau yang ada di sini. Menggantikan posisinya. Namun, apakah hal tersebut terdengar masuk akal? Abihirt terlihat mabuk kepayang kepada gadis itu. Dia tidak yakin. Barangkali telah melewatkan banyak hal. Bertanya – tanya ... mungkinkah? “Daripada menyiksaku di sini, mengapa kau tidak seret saja Moreau dan biarkan dia merasakan yang sama seperti yang kualami hari ini?” Tidak ingin diliputi pelbagai hal menggan
“Kau yakin ini akan berjalan baik – baik saja?” Masih sedikit usaha untuk meyakinkan diri. Barbara akhirnya hanya menghela napas ketika Abihirt mengangguk samar. Pria itu tidak akan mengatakan lebih banyak. Semua pilihan ada di tangannya; apakah dia masih ingin melakukan seks atau membiarkan hubungan mereka kembali regang. “Baiklah.” Barbara memutuskan untuk membuka blazer yang dia kenakan. Satu persatu pakaian telah dilucuti. Bukan masalah besar bertelanjang penuh di hadapan suaminya. Dia kemudian memberi Abihirt tatapan penuh bertanya. Menunggu apa yang akan pria itu lakukan. Tidak ada kata terucap. Sebaliknya, Abihirt merenggut dasi yang mengikat kerah kemeja pria itu. Langkah lebar suaminya tidak pernah luput dari perhatian Barbara. Dia menelan ludah kasar persis ketika Abihirt sudah menjulang tinggi di belakang. Semua menjadi gelap kali pertama Abihirt merekatkan bagian dasi untuk menutup di matanya. “Haruskah dengan pandangan tertutup, Ab
Kali pertama mendengar pernyataan Abihirt, kelopak mata Barbara mengerjap cepat. Hampir tidak menyangka tentang hal yang telah mereka lewatkan. Dia tahu suaminya jauh lebih sering menghabiskan waktu bersama Moreau—dan itu sungguh meninggalkan banyak kecemburuan tidak tertahankan. Cukup puas bahwa dia bisa melewati saat – saat di mana mengendalikan diri dari kebutuhan melampiaskan amarah. Sungguh, sampai mati pun, Barbara tidak akan menyerahkan Abihirt kepada Moreau. Dia tidak akan pernah mengalah. Kemenangan harus selalu berada di tangan. Persetan dengan mengorbankan yang lainnya. “Baiklah. Ke mana kau akan membawaku?” tanya Barbara sembari mengikuti langkah Abihirt menuju mobil. Mereka datang terpisah. Miliknya sendiri sedang terparkir di sisi halaman lain, tetapi mereka bisa mengatur situasi. Bukan masalah besar meminta Gabriel menyelesaikan tugas tertunda. Abihirt tidak mengatakan apa – apa sepanjang perjalanan, tetapi Barbara mengenali setiap detil tempat yang
“Pelacur kecil itu sudah tidak mau denganmu. Apa yang kau harapkan lagi darinya?” Sejak awal, tujuan Barbara adalah menghancurkan kehidupan Moreau dan membuat hubungan gadis itu bersama suaminya retak. Dia mengambil langkah yang tepat setelah meyakinkan Moreau bahwa Abihirt terlibat dalam keputusan ini. Tadi, betapa tatapan itu penuh luka. Moreau telah meninggalkan mereka. Sekarang konflik terhadap hubungan yang seharusnya baik – baik saja terus beterbangan. Paling tidak, Barbara cukup puas, walau segala sesuatu yang dia rencanakan tidak sepenuhnya lancar. Ada hasrat untuk membuat Moreau benar – benar mendapat pelajaran berharga. Dia ingin orang – orang melempari gadis itu dengan apa pun sebagai kemungkinan terburuk—anggap saja suatu penghinaan hebat. Sungguh, kemunculan Abihirt sangat tidak tepat. Mereka sedang dihadapkan badai tensi yang meningkat. Barbara tahu cepat atau lambat Abihirt akan menjadikannya target utama. Sial. Dia sama sekali tidak tahu kal
Barbara bertanggung jawab atas situasi yang sedang mereka hadapi, tetapi yang tidak Moreau mengerti; mengapa? Bukankah Abihirt juga terlibat? Apa lagi yang diinginkan sehingga pria itu bersikap seakan sedang didesak kebutuhan menuntut Barbara. Mungkin ibunya berusaha menjebak suami sendiri karena seharusnya mutahil bagi Abihirt bersedia membuka aib perselingkuhan ini? Yang juga akan mempengaruhi reputasi di masa mendatang. “Aku tahu kau datang untuk menghadiri program ulang tahun mendiang ibumu. Tapi, nanti. Setelah aku menyelesaikan pelacur kecil ini. Bukankah kau sendiri juga sudah setuju?” Sesuatu yang keras seperti berusaha mencecoki tenggorokan Moreau. Dia mengira masih ada sedikit harapan, tetapi reaksi Abihirt yang tampak tidak akan langsung menyangkal, seakan memberinya banyak petunjuk. Pria itu hanya ... melirik ke arah Gabriel, kemudian berkata, “Bubarkan tamu undangan.” Sudah cukup. Moreau merasa muak jika harus mempertahankan kepercayaan dalam dirinya k
“Jika ayahmu masih di sini, Moreau. Kurasa, dia akan mendapat serangan jantung mendadak karena menerima informasi seperti ini, bahwa putri kesayangannya, putri kecil yang selalu dimanjakan olehnya, sanggup menjual diri demi seorang pria beristri. Kurasa, arwahnya pun tidak akan tenang selama menyaksikan apa yang kau lakukan di muka bumi ini.” Sial. Belum ada satu pun hal sanggup Moreau katakan, tetapi kesalahan Barbara sangat tidak bisa dimengerti kali ketika wanita itu melibatkan ayahnya. “Jika ayahku masih ada di sini. Kau tidak akan mungkin menikahi lagi, Mom. Atau kau mungkin ingin bermain api di belakangnya, sama seperti yang kau lakukan di belakang Abi?” “Tutup mulut sialanmu!” Tamparan keras lainnya, membuat wajah Moreau benar – benar berpaling dengan kasar. Saraf – saraf di sekitar pipi terasa kebas. Dia membeku di tempat. Namun, semua yang dia katakan memang benar. Perselingkuhan ini tidak akan terjadi, andai wanita itu juga bisa menjaga diri dari h