“Ms, apa yang Anda lakukan?”
Moreau masih terisak parah, tetapi secara tak terduga ... suara Gabriel muncul ... menarik perhatiannya supaya kembali ke permukaan. Butuh usaha keras sekadar menenangkan diri. Ketika berhasil melakukannya, secara tentatif pula Moreau memutuskan untuk mengangkat wajah. Dia menekan kelopak mata sendiri terlalu kuat; sekarang dampaknya, pemandangan di sekitar cukup buram dan diperlukan waktu beberapa saat sekadar melihat situasi yang sedang dihadapi lebih jelas. Moreau menelan ludah kasar setelah menoleh dan justru mendapati Gabriel menjulang tinggi di belakang—sambil memegangi segelas kopi, seolah tidak terjadi apa pun; dan pria itu tidak menyesali sebuah kehilangan “Abi ... aku menangisi Abi.” Dengan polosnya Moreau menambahkan jawaban, tetapi dia malah mendapati Gabriel mengangkat sebelah alis tinggi. Barangkali ada sesuatu yang salah? Benak Moreau bertanya – tanya; naluri murni dalam dirinya mendesak untuk berpikir“Ms, apa yang Anda lakukan?” Moreau masih terisak parah, tetapi secara tak terduga ... suara Gabriel muncul ... menarik perhatiannya supaya kembali ke permukaan. Butuh usaha keras sekadar menenangkan diri. Ketika berhasil melakukannya, secara tentatif pula Moreau memutuskan untuk mengangkat wajah. Dia menekan kelopak mata sendiri terlalu kuat; sekarang dampaknya, pemandangan di sekitar cukup buram dan diperlukan waktu beberapa saat sekadar melihat situasi yang sedang dihadapi lebih jelas. Moreau menelan ludah kasar setelah menoleh dan justru mendapati Gabriel menjulang tinggi di belakang—sambil memegangi segelas kopi, seolah tidak terjadi apa pun; dan pria itu tidak menyesali sebuah kehilangan “Abi ... aku menangisi Abi.” Dengan polosnya Moreau menambahkan jawaban, tetapi dia malah mendapati Gabriel mengangkat sebelah alis tinggi. Barangkali ada sesuatu yang salah? Benak Moreau bertanya – tanya; naluri murni dalam dirinya mendesak untuk berpikir
Dari mana Abihirt mendapatkan foto dua bayi ketika mereka masih begitu merah? Mungkinkah Lore? Benaknya bekerja sangat cepat untuk menemukan jawaban. Tidak. Moreau tidak akan marah jika Abihirt membutuhkan foto anak – anak mereka untuk mengingatkan bagaimana segala bentuk keputusan yang pria itu ambil di masa lalu adalah kesalahan besar. Lagi pula, memang tidak ada gunanya jika Moreau ingin meledak. Tidak melihat tindakan Abihirt sebagai ancaman. Sudah seharusnya mereka memulai; memperbaiki kesalahan di masa lalu dengan hati – hati, tetapi apakah dia masih pantas berharap bahwa pria itu akan baik – baik saja? Dengan cepat, Moreau menyingkirkan air yang jatuh merambat di sudut matanya. Dia perlu tahu informasi tambahan. Gabriel sedang tidak di rumah sakit, meski cukup yakin pria itu akan segera kembali. Mungkin perawat akan mencarinya. Tidak dimungkiri, Moreau bahkan tidak bisa menghitung sudah berapa lama dia menyembunyikan diri di sin
Perhatian Moreau lurus terpaku pada ruang rawat darurat. Sempat ingin menerobos masuk saat kali pertama petugas medis memberikan pertolongan serius kepada Abihirt—yang sungguh, sudah tidak sadarkan diri selama perjalanan. Sekarang tidak tahu bagaimana. Sangat bertanya – tanya berapa lama mereka akan selesai? Akankah dia mendengar berita bagus tentang mantan ayah sambungnya?Pelbagai kekacauan di benak Moreau membentuk terjangan ombak besar. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa sebuah kehilangan setelah dulu ... harus mati – matian menyingkirkan bayangan tentang pria itu.Abihirt telah berusaha melakukan banyak hal. Moreau tidak akan memaafkan diri sendiri sampai sesuatu yang benar – benar buruk terjadi. Seperti dia tidak akan memaafkan Abihirt jika pria itu tidak mau bertahan.“Ms, sebaiknya Anda membersihkan diri terlebih dahulu.”Tubuh Moreau sedikit tersentak saat suara Gabriel merambat di balik bahunya.
Moreau mengerti; dia bergeser sampai di ujung. Menunggu Gabriel mengatur posisi supaya kepala Abihirt ada di pangkuannya. Sementara, mereka tidak punya pilihan sekadar membiarkan kaki panjang pria itu menekuk terhadap ruang tersisa. Pintu mobil di tutup. Demikian Gabriel langsung berlari ke arah kemudi. “Kita harus ke rumah sakit, Gabriel. Cepat!” Moreau menggenggam jemari Abihirt erat. Tidak peduli bagaimana sebagian tubuhnya telah dilumuri darah. Pria itu sama sekali tidak terlihat memiliki niat untuk memberi tanggapan. Dia takut bahwa ternyata Abihirt benar – benar tak akan bisa memberi respons. Takut jika ungkapan yang pernah dia lepaskan langsung di hadapan pria itu, justru menjadi alasan bagi alasan bagi Abihirt supaya menyerah. Moreau bisa melihat bahwa ada saat – saat di mana Abihirt terlihat lelah dengan kehidupan yang pria itu jalani. Tidak. Dia menggeleng tegas. Dengan hati – hati menyentuh wajah Abihirt dan berkata, “Buka matamu,
“Kau mau ke mana?”Suara pria itu seperti menahan rasa sakit, tetapi bentuk kekhawatiran Moreau tidak tersampaikan, mengingat sedang didesak kebutuhan untuk mencari anting yang hilang. Masih dengan minat menerobos pergi; dia dipaksa mundur begitu satu tangan Abihirt benar – benar mencengkeram di garis bahunya.“Bajingan itu sudah melarikan diri. Sebaiknya kita juga pergi, mengerti?” pria itu meneruskan.Moreau menatap bingung ketika tiba – tiba Abihirt nyaris membungkuk. Namun, naluri pria itu sekadar mendesis membuat situasi terasa berbeda. Dia menggeleng cepat. Barbara sudah mengambil semua yang dimiliki di masa lalu. Kehilangan kali ini tidak akan pernah menjadi bagian yang dia harapkan.“Anting pemberian ayahku hilang. Mungkin terlepas saat aku berusaha melarikan diri. Kau bisa tunggu di mobil, sementara aku akan pergi mencarinya.”Kebetulan Abihirt mengatakan Tigo sudah pergi. Moreau yakin pria
“Kau masuk ke dalam perangkapku ....” Tawa mengerikan seakan menggema di langit malam. Pria ini lagi .... Moreau masih mengingat setiap detil hal di wajah itu. Bekas pukulan Abihirt bahkan masih membekas tipis – tipis di sana—terhadap siraman lampu mobil yang menyorot cukup terang. Moreau menelan ludah kasar. Berusaha untuk tetap tenang sambil sesekali melangkahkan kaki ke belakang. Berharap bisa sesegera mungkin masuk ke dalam mobil dan melarikan diri. Ironi. Semua bergantung dengan cara yang salah kali pertama dia memutuskan sekadar beranjak keluar. Sekarang, nyaris tidak ada ruang melarikan diri. Moreau berusaha memberontak. Pria itu mencengkeram lengannya terlalu kuat dan bagian paling dia waspadai adalah ancaman dari senjata tajam yang digenggam dan diarahkan begitu dekat. “Kau bisa memanggilku Tigo, Sayang. Mari bersenang – senang sebelum aku menghabisi nyawamu.” Tidak. Kewarasan Moreau masih mencoba mengambil andil. Masih dengan usaha m