“Kau harus bisa lebih akur dengan suami baruku, Moreau. Tapi harus ingat untuk tetap menjaga sikapmu. Jangan mengenakan pakaian seksi selagi Abi ada di rumah.”
Sepagi ini Barbara sudah menyampaikan serentetan kata – kata, yang bahkan sama sekali tidak terlintas di benak Moreau. Dia merasa ganjil memikirkan sejak kapan Barbara akan peduli tentang cara berpakaiannya? Tidak pernah. Hanya setelah wanita itu kembali menikah. Segala antisipasi dilakukan dan sedikit menambahkan nada menyudutkan seolah Moreau telah memiliki segala kesiapan, atau barangkali Barbara memiliki firasat tertentu? Moreau akan memastikan bahwa apa yang terjadi malam itu. Tidak akan pernah terulang kembali. “Kau mendengarku, Moreau?” Pertanyaan Barbara lagi - lagu memenuhi ruangan, mendesak Moreau kembali ke permukaan. Dia mengerjap, lalu melirik ke wajah ibunya tegas. “Aku bepakaian terbuka hanya ketika tampil di panggung atau ada tournamen penting. Itu pun masih dalam taraf yang sopan dan normal. Selebihnya, seperti yang selalu kau lihat, pakaianku biasa saja,” sergah Moreau sembari menarik bagian depan piyama tidur di tubuhnya. Tindakan yag cukup meyakinkan Barbara sehingga wanita itu mendengkus, kembali menggigit potongan roti panggang terakhir. Tampaknya Barbara memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Kesibukan wanita itu mencolok. Bahkan melebihi kenyataan bahwa satu hari lalu adalah momen pernikahannya. “Bagus jika kau tahu cara menghormatiku.” Dugaan Moreau benar dan sekarang dia dengan bingung mengamati ibunya merapikan sisa – sisa penampilan supaya terlihat sempurna. Lipstik merah menyala dipoles perlahan hingga bibir Barbar mengecap – ngecap sebagai tambahan terakhir. “Sebelum ayah barumu bangun, bisakah kau buatkan teh untuknya?” Betapa terkejut. “Aku?” Moreau bertanya sambil menunjuk diri sendiri. “Kenapa tidak kau saja?” lanjutnya saat ibunya akan melangkah pergi. “Aku ada meeting penting di kantor.” Itu alasan klise. “Tapi kalian baru menikah. Ada cuti, dan kau malah sibuk dengan masalah kantor?” Moreau turut beranjak bangkit. Bicara dengan sedikit keras setelah tubuh ibunya hampir hilang di balik sekat. “Kau anak kecil tidak akan tahu apa – apa. Buatlah juga roti panggang yang sedikit gosong. Abi menyukainya.” Sisa – sisa suara Barbara menggema di sekitar gedung mentereng. Moreau mengembuskan napas kasar. Masih tidak mengerti untuk apa dua orang itu menikah, sementara mereka tidak menikmati masa pernikahan yang indah. Moreau menginginkan Barbara bersama suami baru wanita itu sekadar melakukan perjalanan bulan madu, agar dia bisa—paling tidak, meraup ketenangan dan melupakan kecelakaan yang dialami bersama .... “Aku dan ibumu menikah karena kerja sama perusahaan, jika itu yang kau pikirkan.” Abihirt datang, seketika Moreau terkejut hingga menahan napas mendapati ayah sambungnya menjulang tinggi. Moreau menelan ludah kasar menyadari Abihirt separuh bertelanjang, memamerkan otot – otot liat di perut hingga lengan yang kokoh ketika pria itu berjalan. Tidak tahu kapan Abihirt ada di sana, tetapi Moreau curiga bahwa ayah sambungnya telah mendengar separuh percakapan bersama Barbara. Tangan itu dengan cekatan memanggang dua roti, lalu beralih ke sisi lainnya sekadar menyeduh teh. Sorot mata Moreau tak pernah meninggalkan setiap langkah yang Abihirt lakukan. Dia mengernyit mendapati sesuatu dengan kesan misterius merekat di kulit perunggu pria itu. Sebuah tato nyaris di dekat punggung leher—bentuknya persis seekor burung sedang mengepakkan sayap. Ketika Abihirt kembali berjalan mendatangi meja makan, Moreau segera mengerjap. Dia tak yakin terhadap apa yang baru saja dilihatnya. Bisa saja itu hanya semacam objektivitas yang ganas. Bukan hal penting untuk dipikirkan. Membuat roti panggang yang sedikit gosong. Sepertinya Moreau mulai mengerti pernyataan Barbara. Dia masih mengamati segala aktivitas Abihir. Pria itu kembali menekan tombol saat roti yang dipanggangnya mencuak, mengatur pada kematangan dan warna yang diinginkan. “Kau mau?” Sebuah tawaran serius. Moreau menggeleng samar. Secara naluriah memilih fokus pada sarapan sendiri. Sebagai seorang penari es, dia harus menyimpan tenaga dengan cukup. Ada latihan bersama pasangannya. Mereka akan mengikuti tournamen beberapa bulan mendatang. Moreau ingin menang dan dia akan berusaha sangat keras. “Apa bagusnya menikah karena kerja sama perusahaan?” Tanpa sadar itu yang terucap dari bibir Moreau. Dia segera membeku saat Abihirt menatap tajam ke arahnya. Barbara telah menceritakan beberapa hal tentang pria yang akhirnya tetap melanjutkan sarapan. Satu hal yang tidak Moreau mengerti, jika Abihirt adalah pemilik perusahaan telekomunikasi terbesar di Madrid hingga memiliki banyak bisnis, mengapa pria itu bersedia menikahi ibunya hanya karena kesepakatan kerja? Sesuatu yang terdengar tidak masuk akal. Cinta? Terkadang malahan Moreau mendapati sikap Abihirt sangat dingin terhadap ibunya. Tetapi pria itu tidak akan mengatakan apa pun, selain menyelesaikan semua yang tersisa di meja makan. Atau barangkali Moreau salah. Dia baru bertemu Abihirt dan berada di ruang yang sama hanya dalam beberapa jam. Sementara Barbara, wanita itu mungkin telah tahu lebih banyak. Suara denting pisau dan garpu menarik Moreau kembali ke permukaan. Dia melirik Abihirt—sedikit terpaku pada cara elegan pria itu mengusap mulut dengan kain kering. “Mengapa tidak kau tanyakan pada ibumu alasan dia menerima lamaranku?” Pria terhormat menyelesaikan sarapannya untuk kemudian bicara. Moreau mulai gugup ketika Abihirt melibatkan Barbara ke dalam percakapan. Dia tak merasa harus bertanya. Bukan sesuatu yang penting pula sekadar dicari tahu. Pertanyaannya sesaat lalu merupakan bagian dari ketidaksadaran. Moreau tidak selancang itu jika benar – benar dapat mengendalikan diri. Terlebih, dia melihat cinta di mata Barbara. Tidak ada keraguan mengapa wanita itu bersedia kembali menikah. “Ibuku menyukaimu.” Ironi. Moreau enggan menatap mata kelabu Abihirt saat mengatakan hal tersebut. Mungkin pria itu sedang menatapnya. Dia tak mau tahu kalau ada suatu hal mengesankan, tapi lebih baik seperti ini. Moreau diam – diam mencuri pandang menyadari Abihirt siap melangkah kaki meningalkan ruang makan.Abihirt benar – benar berpikir bahwa Lore akan mudah dibujuk dengan es krim. Membawa pulang sekantong belanjaan besar dan mengeluarkan isi dari dalam sana di depan anak – anak.Bagi Arias, mungkin tidak apa – apa memaafkan penolakan Abihirt terhadap ajakan mandi di kolam, tetapi Moreau sudah mengingatkan bahwa Lore berbeda. Gadis kecil itu bahkan sedang berusaha menyibukkan diri sendiri bersama boneka barbie ketika Abihirt—saat ini, mendekatkan es krim bentuk kerucut rasa cokelat di sana.“Kau yakin tidak ingin es krim ini, Tuan Putri?”Suara serak dan dalam itu terdengar sabar. Terkadang menawarkan bantuan kepada Arias yang sedang kesulitan membuka bungkus kertas.“Es krim ini akan segera meleleh jika kau tidak berusaha menerimanya, Princess.”Moreau diam – diam menahan senyum saat mendengar Abihirt tanpa sadar mengembuskan napas kasar. Dia sudah memberi pria itu peringatan. Bukannya percaya, malah membu
Moreau akan sangat menyalahkan Abihirt, karena pria tua mesum—yang memasang wajah penuh bangga, menatap Lore dan Arias tanpa rasa bersalah. Tidakkah Abihirt berpikir ini terlalu berbahaya bagi anak - anak? Sepertinya butuh aturan serius untuk menjelaskan bagaimana hubungan mereka bekerja.Moreau menarik napas sesaat, demi memastikan dia tidak terlihat berlebihan di depan Lore dan Arias.“Mommy tadi melihat kecoak. Jadi, harus meminta bantuan Daddy untuk menyelesaikannya.”Sambil meringis, Moreau sadar ini bukan kali pertama mereka memberikan kebohongan ketika tertangkap basah berdua. Hanya menunggu kapan anak – anak akan menunjukkan sikap waspada, meski tiba – tiba ... tangan kecil Lore yang terulur menyentuh helai basahnya yang menjuntai, lalu mata kelabu gadis kecil itu secara bergantian melirik ke rambut gelap Abihirt.“Mommy dan Daddy mandi bersama?”Rasa ingin tahu Lore membuat Moreau mengernyit sesaat, te
“Oh—“Suara serak dan dalam Abihirt terdengar mengisi seisi kamar mandi, diliputi miliknya yang nyaris tak bisa Moreau kendalikan. Dia paling banyak mengeluarkan suara, karena pria itu menyentuh bagian sensitif di bawah sana dengan tepat.Moreau bisa merasakan bagaimana dia mulai gemetar, sementara cengkeraman Abihirt di pinggulnya segera mengetat. Pria tersebut tahu dia akan mencapai puncak kenikmatan. Terus menawarkan sentuhan terbaik, hingga tanpa sadar sebuah cakaran meninggalkan karya terbaik di lengan besar itu.Moreau butuh waktu untuk menikmati gelombang kenikmatan, yang meninggalkan denyut di inti tubuhnya, tetapi dia harus siap ketika Abihirt dengan gerakan tak terduga membuat mereka berhadapan, lalu kembali berciuman.Saat tautan bibir mereka terlepas, Moreau sedikit terkejut oleh sensasi udara yang dirasakan. Dia secara naluriah melingkarkan kaki dan lengan di tubuh pria itu, sementara Abihirt dengan hati – hati kem
Tidak dimungkiri. Kebutuhan dasar yang besar; juga memerangkapnya ke dalam gulungan hasrat. Tidak banyak yang bisa dikatakan. Moreau seperti terhanyut di antara sorot kelabu yang menatap lamat, seolah Abihirt benar – benar menunggu jawaban pasti. Napas Moreau memburu. Butuh beberapa kali mengerjap. Persetan. Dia kembali menarik wajah pria itu lebih dekat. Melumat mulut yang terasa hangat, membiarkan Abihirt merasakan akses yang sebenarnya—mungkin telah dia berikan. Tidak sulit bagi pria itu untuk memahami situasi di antara mereka. Moreau tersentak ketika tubuhnya terangkat dengan punggung menyentuh keramik basah. Terlalu cepat jika dia masih berusaha memahami suasana yang baru saja membangun kebakaran besar, karena tidak tahu bagaimana Abihirt menyingkirkan pengait bra dan melempar benda tersebut ke sembarang tempat. Mereka hanya melakukan kontak mata sebentar. Sisanya, pria itu menunjukkan sisi paling rakus, seolah inilah tempat dan waktu untuk melampiaskan apa yang selama ini dit
“Kau tidak ingin mandi bersamaku?”Sial. Pertanyaan singkat Abihirt hampir membuat semua menjadi runyam. Moreau tidak ingin tertangkap basah, karena pengaruh besar yang pria itu berikan kepadanya. Segera melotot lebar. Berharap pula, Abihirt tidak curiga. Tidak tahu mengapa, menghindari tatapan kelabu di sana mendadak jauh lebih sulit daripada membayangkan saat – saat penuh kejadian tak terduga yang harus mereka hadapi.“Terima kasih atas tawaranmu. Aku tidak ingin mandi hari ini,” ucap Moreau setelah merasa lebih baik. Dia tersenyum sambil menengadah ke wajah tampan itu, sementara Abihirt harus menunduk, seperti sengaja membuat jarak mereka lebih dekat.“Benarkah?”Suara serak dan dalam yang terdengar penuh misteri membuat kening Moreau bertaut.“Ya. Sekarang pergilah,” dia segera menjawab. Hampir benar – benar bebas melangkah pergi.Naif, jika Moreau mengira Abihirt tidak akan melakukan
“Kau dari mana saja!”Moreau sudah sekhawatir ini; menunggu tanpa jawaban; melihat sendiri bagaimana ponselnya tidak mendapat balasan. Memang, mereka sudah saling menukar nomor telepon, tetapi semua percuma ... karena Abihirt bahkan sedari awal seperti sengaja menggantungkannya.Sekarang, pria itu menjulang tinggi diliputi ekspresi tidak bersalah. Pakaian yang kumuh nyaris tidak seperti terakhir kali Moreau mendapati Abihirt berpamitan pergi, seolah pria itu baru saja melakukan perjalanan ekstrim dan hal tersebut merupakan satu bentuk alasan paling nyata ... mengapa pengabaian mengikatnya sampai ke dasar. Dia sangat ingat bahwa Emma mengatakan sudah menyetrika kemeja kerja sang majikan.Kernyitan dalam segera bertaut. Moreau menatap Abihirt skeptis, tetapi juga menuntut pelbagai prospek untuk menelusuri pria itu. Abihirt jelas telah melakukan satu tindakan yang sangat membutuhkan pergerakan lebih banyak dari seharusnya, dan kenyataan belum berusaha m