Upaya melarikan diri yang tidak sia – sia. Napas Moreau terengah menatap pantulan cermin. Seseorang dengan wajah pucat—bahkan benar – benar berantakan sedang berusaha menenangkan diri. Moreau tidak tahu apa lagi yang bisa dia lakukan setelah ini. Ketika Barbara menyadari kedatangan yang begitu lambat di acara pernikahan, langkahnya langsung meninggalkan orang – orang di sekitar.
Tidak ada tempat bersembunyi yang tepat selain kamar mandi hotel. Moreau masih bingung apa yang harus dilakukan usai menerima kenyataan bahwa semalam tindakan terlarang telah melampaui batas. Secara harfiah—kejadian bersama pria asing itu tidak akan terjerembab ke dalam rumpang paling rumit. Mereka tidak memiliki hubungan darah. Pria itu hanya akan menjadi ayah sambung Moreau, walau ada satu hal penting ... dia akan merasa canggung ketika mereka berada di satu atap bersama. Moreau yakin dia seharusnya bisa menjadi mandiri, andai Barbara memberikan izin. Hanya saja wanita itu menganggap Moreau sebagai aset dan tidak akan membiarkan satu langkah saja Moreau mengangkat koper keluar dari gedung peninggalan ayah kandungnya. Moreau juga tidak tahu cara membujuk. Sejauh yang dia sadari, Barbara adalah wanita anti kritik. Selama ini tidak pernah ada bantahan. Moreau mengembuskan napas putus asa. Dengan lengan terulur, dia memutar keran. Air – air segera memercik, sementara telapak tangannya mulai menadah untuk kemudian membasuh wajah. Moreau ingin lebih tenang. Mungkin setelah ini bisa meninggalkan hotel, membiarkan Barbara menikmati hari pernikahan bersama suami baru. Mereka terlihat serasi dengan ketimpangan usia, tetapi itu karena Moreau mengakui bahwa ibunya cantik. Air keran segera dimatikan. Secara perlahan dia kembali menegakkan tubuh dan bercemin—mematut wajah membasah diliputi beberapa bulir menetes dari rahang. Moreau hanya mengamati, antara menyesali keputusan pergi ke bar semalam atau tidak tiba beberapa menit lebih cepat, dan membuat pernikahan itu dibatalkan. Ironi. Keduanya bukan prospek bagus. Sama seperti dia harus menghadapi situasi buruk ketika pintu diketuk agak kasar di luar sana. Siapa? Moreau bertanya – tanya bingung. Namun, memutuskan untuk mengambil langkah mendekat. Ragu sekali ujung jarinya menyentuh gagang pintu. Dan begitu pintu kamar mandi dibuka. Moreau luar biasa terkejut mendapati pria asing itu sedang menjulang tinggi, yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Apa yang pria itu ingin lakukan dengan menyusulnya? Di mana Barbara? Moreau sudah begitu takut. Tiba – tiba suara serak dan dalam dalam yang sensual mengatakan sesuatu untuk memberitahu. “Kau dicari ibumu.” Moreau mendadak diliputi perasaan gugup. Rasanya tidak ada satu pun hal yang bisa dia pikirkan sekadar menanggapi pria ini. Hanya berniat melangkahkan kaki, tetapi sentuhan di pergelangan tangan menuntut Moreau untuk mengamati genggaman yang mantap maupun erat di sana. Dia segera menengadah. Seringai samar berkedut di hadapannya. Mengerikan, dan sekali lagi pria itu memberi kesan mengejutkan. “Untuk apa kau mengunci pintu?” Moreau bertanya waspada sembari mengambil langkah mundur, tetapi Abihirt memiliki alasan serius usai mengetahui gadis yang telah dia tiduri semalam secara resmi menjadi putri sambungnya. Sialan, Abihirt melihat bercak merah di ranjang. Namun, harus bersikap seolah – olah tidak menemukan apa pun dari sisa percintaan semalam, meskipun sepanjang perjalanan dia tidak dapat meninggalkan ingatan dari tubuh yang begitu indah, yang menegaskan bahwa beberapa gelas koktail tidak secara utuh merenggut kesadarannya. “Jadi kau adalah Moreau?” Menyentuh tubuh Moreau adalah satu tindakan ‘harus’, untuk menyingkirkan efek membakar dari minuman perangsang. Abihirt akan menganggap itu semacam suatu kecelakaan singkat. Roki yang mendorong tubuhnya menuju meja bar di mana Moreau setengah menjatuhkan wajah di sana—terlihat seperti gadis putus asa, hingga Abihirt tidak punya pilihan selain menawarkan ranjang hotel. “Ada yang perlu kubicarakan.” “Kau akan memberitahu ibuku?” Cukup dengan rambatan suara serak dan dalam dalam yang sensual di telinganya. Mendadak, Moreau memiliki firasat buruk. Dia menatap waspada struktur wajah yang tegas diliputi antisipasi penuh. Sayangnya, hampir tidak ada petunjuk dari ekspresi datar itu. “Tidak akan kuberitahu ibumu tentang apa pun.” Ada sedikit kelegaan, tetapi Moreau harus menahan napas ketika Abihirt mengambil langkah lebih dekat. Memojokkan secara perlahan hingga pinggulnya menyentuh pinggir westafel. “Kau sudah menjadi ayah sambungku sekarang. Dan mungkin lebih baik aku memanggilmu dengan sebutan yang layak,” ucap Moreau sarat nada penolakan. Tidak tahu apa yang diingikan pria bermata kelabu yang menatap intens ke arahnya. Antisipasi dalam diri Moreau akan menjadi gumpalan besar setelah pria itu perlahan mengambil langkah mundur. “Aku tidak suka dipanggil dengan sebutan ayah atau apa pun yang berkaitan oleh gadis sebesar ini. Umurmu mungkin sekitar 19 tahun?” Itu benar. Namun, Moreau tidak mengatakan sesuatu sekadar mengiyakan. Hanya menunggu waktu yang tepat sampai Abihirt melangkahkan kaki meninggalkan udara di sekitar terasa hening. Sepertinya dia perlu mengingat bahwa pria tersebut memiliki sesuatu untuk diungkapkan. Apakah niatnya urung? Atau karena Moreau membuat pria bertubuh itu jangkung tersinggung?“Kau mau ke mana?”Suara pria itu seperti menahan rasa sakit, tetapi bentuk kekhawatiran Moreau tidak tersampaikan, mengingat sedang didesak kebutuhan untuk mencari anting yang hilang. Masih dengan minat menerobos pergi; dia dipaksa mundur begitu satu tangan Abihirt benar – benar mencengkeram di garis bahunya.“Bajingan itu sudah melarikan diri. Sebaiknya kita juga pergi, mengerti?” pria itu meneruskan.Moreau menatap bingung ketika tiba – tiba Abihirt nyaris membungkuk. Namun, naluri pria itu sekadar mendesis membuat situasi terasa berbeda. Dia menggeleng cepat. Barbara sudah mengambil semua yang dimiliki di masa lalu. Kehilangan kali ini tidak akan pernah menjadi bagian yang dia harapkan.“Anting pemberian ayahku hilang. Mungkin terlepas saat aku berusaha melarikan diri. Kau bisa tunggu di mobil, sementara aku akan pergi mencarinya.”Kebetulan Abihirt mengatakan Tigo sudah pergi. Moreau yakin pria
“Kau masuk ke dalam perangkapku ....” Tawa mengerikan seakan menggema di langit malam. Pria ini lagi .... Moreau masih mengingat setiap detil hal di wajah itu. Bekas pukulan Abihirt bahkan masih membekas tipis – tipis di sana—terhadap siraman lampu mobil yang menyorot cukup terang. Moreau menelan ludah kasar. Berusaha untuk tetap tenang sambil sesekali melangkahkan kaki ke belakang. Berharap bisa sesegera mungkin masuk ke dalam mobil dan melarikan diri. Ironi. Semua bergantung dengan cara yang salah kali pertama dia memutuskan sekadar beranjak keluar. Sekarang, nyaris tidak ada ruang melarikan diri. Moreau berusaha memberontak. Pria itu mencengkeram lengannya terlalu kuat dan bagian paling dia waspadai adalah ancaman dari senjata tajam yang digenggam dan diarahkan begitu dekat. “Kau bisa memanggilku Tigo, Sayang. Mari bersenang – senang sebelum aku menghabisi nyawamu.” Tidak. Kewarasan Moreau masih mencoba mengambil andil. Masih dengan usaha m
“Mommy, apakah kami tidak akan pernah bertemu dengan Daddy lagi?” Anak – anak menunjukkan sikap marah kepada Abihirt, tetapi Moreau tahu ... bagian tersudut dalam diri mereka masih menginginkan kebersamaan seperti sedia kala. Tidak ada yang tahu kapan saat – saat tersebut mungkin akan kembali terjadi. Sudah cukup lama Abihirt meninggalkan rumah mereka. Memang semacam sebuah kelegaan, yang akhirnya membuat dia harus menyaksikan bagaimana Lore dan Arias begitu murung—tadi. Udara dari celah bibir Moreau berembus kasar. Sudah saatnya untuk tidak melamun. Dia mengerjap. Mengendarkan pemandangan ke pelbagai arah di sekitar area parkir. Memang. Setelah pelbagai percakapan bersama anak – anak, mereka sepakat bahwa Moreau akan pergi membelanjakan beberapa makanan ringan, termasuk es krim yang tidak pernah tertinggal dari daftar pilihan, mengingat dia tetap memutuskan untuk tidak pergi bekerja. Yakin Arias dan Lore sudah menunggu tidak sabar, Moreau tersenyum tipis. Sedikit tid
Moreau terkesiap ketika dia harus kehilangan pegangan. Abihirt sudah menjulang sangat dekat. Atmosfer di sekitar semacam sesuatu yang terasa besar dan mengancam. Berharap bisa menghindari pria itu lebih cepat. Masalahnya, mantan suami Barbara tahu untuk benar – benar menyingkirkan sisa jarak di antara mereka.“Matilah kau, Abi! Aku tidak ingin melihatmu ada di dunia ini lagi!”“Menjauh dariku.”Moreau terus melakukan usaha pemberontakan setelah mendeteksi bagaimana tangan Abihirt terangkat. Dia menepis lengan pria itu kuat. Tujuan penghindaran masih sama. Masih dengan langkah terus dibawa mundur ke belakang, hingga secara tak terduga ... lengan sofa membuat kakinya kehilangan pijakan.Moreau nyaris jatuh—rasanya seperti membiarkan kejut listrik diperlambat. Dia melihat sendiri bagaimana Abihirt menunjukkan reaksi murni—ingin menarik tubuhnya, tetapi naluri liar menuntut supaya penolakan berakhir lebih pasti.Ta
“Moreau, buka pintunya. Kau tidak bisa percaya kata – katanya begitu saja. Dia bohong. Kami tidak pernah memiliki hubungan apa pun.”Ketukan pintu yang keras sebenarnya menjadi masalah besar. Moreau tidak pernah berharap Abihirt masih di sana, berusaha membujuknya, sementara dia harus pergi bekerja. Mantan suami Barbara jelas akan melakukan sesuatu ketika pintu dibuka; berusaha menjelaskan pelbagai macam hal yang Moreau sendiri tidak berusaha mendengar lebih banyak. Dia lelah. Juga takut bahwa apa pun tindakan Abihirt di luar akan memberi dampak kepada anak – anak.Lore dan Arias sedang meletakkan wajah di pangkuannya. Moreau yakin ke mana perhatian anak – anak. Dia harus mati – matian mengendalikan diri supaya tidak menangis di hadapan mereka. Sangat berharap bahwa akhirnya suara Abihirt akan segera hilang terendam.Sayup, nyaris tidak ada apa pun lagi. Untuk beberapa saat Moreau menunggu. Sedikit memulai hitungan dan sekarang cuku
Moreau menggeleng samar. Ini merupakan petunjuk di mana Abihirt memulai hubungan mereka dengan kebohongan. Meminta kesempatan kedua, tetapi yang pria itu lakukan justru kembali membuatnya menjadi orang ketiga. Tidakkah Abihirt berpikir bahwa dia tidak pernah menginginkan hal ini lagi? Tidak pernah ingin menjadi duri bagi siapa pun di sekitar mereka? Mengapa masih tega melibatkannya ke dalam urusan yang begitu ingin dihindari? Moreau yakin Abihirt mengerti bagaimana caranya menatap, sehingga pria itu segera berkata, “Dengarkan aku, Moreau. Ini tidak seperti yang kau—“ “Tutup mulut sialanmu dan pergi dari sini!” Moreau tidak ingin mendengar apa pun; juga tidak berusaha menatap ekspresi wajah Menesis. Dia segera melangkah pergi. Untuk saat ini, rumah adalah persembunyian terbaik. Hanya saja, sesuatu dalam dirinya tidak memperhitungkan saat di mana ... anak – anak berlarian—diliputi satu tujuan instan sekadar menemui Abihirt. Hampir. Moreau segera bersimpuh dan menan