(Cara Kedua)Kiai haji Sobar hanya tersenyum kecil, saat ia mendengar ucapan dari jin yang sekarang menguasai tubuh santri putranya---Fauzan.“Terserah apa kata kalian, yang pasti aku akan tetap memutuskan perjanjian yang dibuat oleh kakek buyut pemuda itu dengan kalian di masa lalu!” tegas sang kiai.Fauzan yang sedang kerasukan oleh jin nasab pun seketika marah dan membanting kayu gaharu yang ada di depannya.Kemudian, pemuda tersebut mencoba mencekik pria yang sudah mulai renta itu, tetapi tangannya langsung ditepis dengan menggunakan tongkat.Fauzan bahkan jatuh terjungkal ke belakang. Setelah itu, ia berdiri dan mengepalkan kedua tangannya dengan mata yang menyorot tajam.“Kamu tidak bisa memutuskan perjanjian yang sudah dibuat oleh kakek dari pemuda ini sejak dulu dengan kami, kecuali kamu bisa menghancurkan kami.” Fauzan spontan tertawa lepas, setelah berkata demikian.Aldi yang berada di luar ruangan tersebut pun seketika memegang tangan istrinya, karena takut saat mendengar s
(Tawaran dari Ratu Jin)"Cara kedua yaitu menemui orang yang menjadi penghubung perjanjian antara kakeknya Fauzan dan bangsa jin, lalu mintalah orang itu untuk memutuskan perjanjian tersebut," ucap Kiai Haji Solehudin yang berbaring di tempat tidurnya karena terluka akibat berusaha mengalahkan jin nasab yang ada di tubuh Fauzan."Oh, begitu, tapi bagaimana kalau orang itu sudah tidak ada atau sudah meninggal, Bah?" tanya Sarah penasaran."Kamu coba saja dulu temui keluarganya Fauzan dan tanyakan kepada mereka, kalau memang orangnya sudah meninggal, kita harus memakai cara terakhir untuk menolong pemuda itu agar tidak terus diganggu oleh khodam warisan kakek buyutnya," balas sang kiai.Sarah seketika mengangguk. "Baiklah, Bah, nanti aku akan pergi ke rumah orang tua Fauzan.""Terima kasih, Nak, semoga kita berhasil menolong saudara kita sesama muslim, karena sesungguhnya kita semua adalah satu jiwa," tutur pria berjambang itu."Iya, Bah, aku mengerti maksud Abah." Sarah melengkungkan g
(Bangunan Tua)“Apa kamu akan pergi ke rumah orang tua Fauzan sendirian?” tanya Syifa kepada anak semata wayangnya---Sarah.Sang anak pun seketika mengangguk. “Iya, Ummi, aku akan ke sana sendiri, lagian tempat tinggal Fauzan itu kan tidak terlalu jauh dari sini.”“Iya, sih, tapi kamu harus hati-hati di jalannya, yah, jangan kebut-kebutan,” pesan sang ibu. “Terus kalau sudah selesai urusannya di sana, kamu langsung pulang yah, jangan main dulu.”“Siap, Bu, aku pasti akan langsung pulang. Kalau begitu aku pergi dulu sekarang,” pamit Sarah seraya mencium punggung tangan ibunya.Kemudian, gadis berdagu lancip tersebut memakai helm berwarna putih campur pink dan menaiki kendaraan beroda dua miliknya.Sarah lalu mulai melajukan motornya, tetapi ia malah tidak sengaja menubruk tong sampah yang ada di dekat gerbang pondok pimpinan sang kakek.“Astagfirullahaladzim ... baru aja dibilangin harus hati-hati malah nabrak tong sampah.” Syifa menepuk jidatnya sendiri.Setelah itu, ia bergegas membe
(Bisikan dari Jin Kafir)“Lihat apa, Dek?” tanya satpam yang bekerja di rumah keluarga besar Fauzan itu dengan dahi yang mengkerut.“Tidak apa-apa kok, Pak, tadi mungkin saya cuma salah lihat saja.” Saryh tersenyum kecil.“Oh, saya kira ada apa.” Satpam itu menghela napas pendek.“Tidak ada, Pak, maaf.” Putri sang kiai menggaruk-garuk kepalanya sendiri yang tertutup hijab pasmina berwarna abu-abu itu. Ia merasa tidak enak kepada Pak satpam.“Enggak apa-apa, Dek, mari silahkan masuk, biar saya panggil dulu Bu Fani-nya, beliau mungkin sedang ada di belakang,” kata Pak satpam sambil membuka pintu rumah itu yang tidak terkunci. “Ayok, silahkan duduk dulu, Dek.”“Baik, Pak, terima kasih banyak.” Sarah tersenyum ramah.“Sama-sama, Dek, tunggu sebentar, yah.” Satpam tadi langsung bergegas mencari ibunya Fauzan---Fani.Sarah pun kemudian duduk di kursi yang ukiran dan modelnya sangat tradisional serta unik, mungkin bisa dibilang barang antik.Bukan hanya kursi, tetapi meja dan hampir semua ba
(Dipaksa Mondok)“Bapak yakin mau masukin anak kita ke pondok pesantren ini?” tanya seorang perempuan paruh baya bernama Fani kepada sang suami, sembari melihat ke arah sebuah gedung dua tingkat yang ada di hadapannya.“Iya, Bu, Bapak sangat yakin,” balas Farhan dengan garis bibir yang melengkung ke atas.“Tapi, Pak, bukannya kata orang-orang pondok pesantren ini---”“Jangan percaya apa kata orang lain, Bu!” Farhan memotong ucapan istrinya, “Bapak pernah mondok lama di sini, jadi Ibu tidak usah memikirkan perkataan dari orang-orang itu, karena Bapak lebih tahu banyak tentang pimpinan pondok pesantren ini, dibanding mereka!”“Ya sudah, Ibu percaya deh sama Bapak,” balas Fani, tetapi di dalam hati kecilnya ia merasa gelisah tanpa sebab.Perempuan yang memakai gamis berwana salem tersebut kemudian membuka pintu mobil yang ada di sampingnya dan menyuruh sang anak untuk turun.“Nak, ayok keluar, kita sudah sampai!” titah Fani dengan suaranya yang lembut.“Baik, Bu.” Sang anak mengangguk.K
(Tenaga Dalam)Mata Fauzan terus menatap tajam ke arah wajah Kiai haji Solehudin yang ada di hadapannya. Farhan pun kemudian memaksa anaknya tersebut untuk duduk.Namun, pemuda itu malah menggeram dan memperlihatkan giginya yang mendadak terlihat bertaring seperti hewan buas.Fauzan lalu menunjuk wajah pemilik pondok pesantren salafi yang usianya sudah tidak muda lagi itu, lalu ia tertawa seolah merendahkan sang kiai.Kiai haji Solehudin pun spontan beristighfar, lalu mulutnya kumat-kamit membaca ayat suci Al-Quran sambil memegang tasbih.Fauzan kemudian langsung menutup kedua telinganya dan berteriak meminta ampun, kepada pria yang memakai jubah putih tersebut."Hentikan, jangan menyiksaku dengan ayat yang kamu baca itu!" kata Fauzan yang saat ini tubuhnya sedang dikuasai oleh jin nasab warisan leluhurnya, tetapi kedua orang tua dari pemuda itu belum mengetahui tentang hal tersebut.Farhan kemudian kembali memaksa anaknya untuk duduk. Sang anak kali ini langsung menurut karena takut
(Gara-gara Menebang Pohon di Samping Toilet)Fauzan spontan menggelengkan kepala, saat mendapat pertanyaan dari salah satu santri putra, karena ia juga sebenarnya tidak tahu kenapa bisa memiliki kekuatan di luar nalar seperti itu. Dari kecil pemuda tersebut memang sering sekali merusak barang-barang di rumah secara tidak sengaja, sehingga ia sering diomeli oleh sang ibu."Gue gak tahu kenapa bisa patah. Mungkin gagang pintunya sudah rusak," kata Fauzan sembari memberikan gagang pintu yang masih ia pegang kepada santri putra yang sedang berdiri di sampingnya."Masa sih, perasaan gagang pintu kobong gue baru diganti." Santri putra tersebut kebingungan, "Ya udahlah, ayok kita masuk."Fauzan pun langsung mengangguk dan mulai mengayunkan kakinya ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Mata pemuda tersebut lalu menyapu ke sekeliling yang tampak rapi.Meskipun yang menempati kamar itu adalah para laki-laki, mereka bisa menjaga kebersihan karena setiap hari minggu sering ada pemeriksaa
(Meminta Pertanggungjawaban)Fauzan yang sudah tertidur seketika terhenyak bangun karena kaget, saat mendengar teriakan histeris dari teman satu kobongnya.“Redi, elu kenapa?” tanya pemuda yang memiliki sorotan mata yang tajam itu dengan raut wajah penasaran.Redi lalu menunjuk ke depan sambil melotot. “Li—lihat, di sana a--ada genderewo!”Fauzan pun langsung melihat ke arah yang ditunjuk oleh sang teman. “Genderewo apaan? Itu gambar anime, lagian kenapa di pondok ada gambar anime segala, sih? Harusnya elu pasang kaligrafi arab atau foto ulama biar adem lihatnya!”Redi kemudian spontan mengarahkan wajah temannya tersebut ke arah mahkluk yang ia maksud. “Coba elu lihat ke sana.”Mata Fauzan menyipit dan mencoba melihat jin yang dimaksud oleh pemuda itu, tetapi ia sama sekali tidak melihat apa pun di sana.“Mana? Di sana tidak ada apa-apa. Elu tadi mimpi kali,” kata Fauzan seraya melepaskan tangan Redi yang sedang memegang wajahnya. “Sudahlah, sekarang mendingan elu tidur lagi.”Awalnya