Share

Bab 3

(Gara-gara Menebang Pohon di Samping Toilet)

Fauzan spontan menggelengkan kepala, saat mendapat pertanyaan dari salah satu santri putra, karena ia juga sebenarnya tidak tahu kenapa bisa memiliki kekuatan di luar nalar seperti itu. 

Dari kecil pemuda tersebut memang sering sekali merusak barang-barang di rumah secara tidak sengaja, sehingga ia sering diomeli oleh sang ibu.

"Gue gak tahu kenapa bisa patah. Mungkin gagang pintunya sudah rusak," kata Fauzan sembari memberikan gagang pintu yang masih ia pegang kepada santri putra yang sedang berdiri di sampingnya.

"Masa sih, perasaan gagang pintu kobong gue baru diganti." Santri putra tersebut kebingungan, "Ya udahlah, ayok kita masuk."

Fauzan pun langsung mengangguk dan mulai mengayunkan kakinya ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu. Mata pemuda tersebut lalu menyapu ke sekeliling yang tampak rapi.

Meskipun yang menempati kamar itu adalah para laki-laki, mereka bisa menjaga kebersihan karena setiap hari minggu sering ada pemeriksaan ruangan oleh Rois.

"Masukin semua baju lu ke lemari itu!" tunjuk santri putra tadi yang bernama Deri.

"Oke, makasih." Fauzan kembali mengangguk.

Sementara itu, kedua orang tua dari pemuda yang rambutnya sedikit ikal tersebut pamit kepada pemilik pondok, setelah memastikan anaknya tinggal nyaman di asrama.

Fani sempat menangis karena belum siap meninggalkan anak semata wayangnya di sana. Namun, perempuan berbaju syar'i itu harus berusaha merelakan anaknya untuk mondok, agar bisa menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berguna bagi negara serta agamanya.

Selain itu, Fani juga berharap sang anak tidak sering kesurupan atau mengamuk lagi gara-gara gangguan dari jin nasab atau khodam warisan dari leluhurnya.

"Bu, ayok kita pulang sekarang!" ajak Farhan kepada istrinya tersebut seraya membuka pintu mobil.

"Iya, Pak." Fani menghapus jejak air mata di pipinya, lalu ia masuk ke mobil.

Setelah itu, Farhan mulai menyalakan mesin mobilnya dan kendaraan beroda empat tersebut akhirnya perlahan melaju menjauh dari pondok.

Fani lalu kembali menangis, saat melihat anaknya dari kaca spion, sedangkan sang anak berusaha menahan tangis karena bagaimanapun juga dia adalah laki-laki. 

Fauzan merasa malu jika menangis di depan banyak orang. Ia akhirnya hanya bisa menahan bulir bening yang menggenang di ujung matanya.

***

Saat malam pertama Fauzan tinggal di pondok, ia sangat sulit memejamkan mata karena tidak terbiasa tidur dengan hanya beralaskan tikar.

Keesokan harinya, badan pemuda itu pun terasa sakit dan lemas. Namun, ia harus ikut bersama santri lain untuk bersih-bersih halaman pondok.

"Ayok, semangat, jangan loyo!" Redi menggandeng Fauzan, "Dulu gue juga sama kayak elu, tapi lama-kelamaan gue terbiasa tinggal di sini. Elu juga nanti pasti akan terbiasa."

"Iya, semoga saja." Fauzan membalas ucapan dari teman barunya tersebut dengan singkat.

Kemudian, ia mengambil parang dan membersihkan rumput liar di depan masjid, sedangkan Redi disuruh menebang pohon randu yang ada di samping toilet santri putra.

Setelah menebang pohon itu, Redi malah tiba-tiba mengeluh sakit kepala dan seketika muntah-muntah. Ia lalu diantar oleh Fauzan untuk istirahat di kobong.

Badan Redi kemudian mendadak demam tinggi dan saat malam tiba, santri putra tersebut berteriak-teriak histeris karena ia mengaku akan dibawa oleh jin ke alamnya.

"Pergi, jangan bawa gue!" Wajah santri putra tersebut dibanjiri oleh keringat dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status