Share

Perjodohan Gila dengan CEO Arogan
Perjodohan Gila dengan CEO Arogan
Penulis: Almannie

Prologue

New York selalu menjadi kota impian sejuta umat. Hiruk piruk penduduknya yang padat, gaya modis fashion, hingga menjadi tempat tinggal di mana kaum elite berada bukan lagi hal baru. Kota ini terbilang padat, tetapi banyak penduduk yang enggan tuk beranjak.

Kebanyakan dari mereka ialah pendatang dari berbagai penjuru; mulai dari negara federasi Amerika Serikat, hingga warganegara asing sangat tertarik untuk tinggal di kota tersebut. Tidak heran, kota ini sejatinya menawarkan banyak hal, kecuali ketentraman dan juga mentalitas dibawah rata-rataㅡNew York City, merupakan kota yang sangat keras.

Tidak di siang ataupun di malam hari, mesin-mesin kendaraan bermotor seolah tiada hentinya bergemuruh disepanjang jalan. Di antara mobil taxi kuning khas New York, dan gemerlapnya kota di malam hari, sebuah Misserati melaju dengan kecepatan normal. Atap mobilnya tertutup, dan kaca mobilnya berwarna hitam pekat. Sehingga, tidak memungkinkan bagi pejalan kaki untuk melihat siapa orang yang mengendarai mobil mewah tersebut.

Sementara di dalam mobil, seorang pria tampak melepas kasar dasi yang dikenakan, raut wajahnya tampak tidak senang, dan rahangnya mengetat; seolah tengah menahan emosi yang sejak awal ditahan.

Ditelinganya terdapat sebuah headset bluetooth yang sengaja disambung untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan selama diperjalanan.

"Urus dengan baik. Apakah tidak ada dari semua anak buah mu yang becus bekerja?" Pria itu menaikan nadanya beberapa oktaf.

"Besok," ujarnya seraya menarik napas, "Katakan pada setiap kepala divisi untuk melaporkan semua kinerja mereka." Setelah itu, dia memutus langsung sambungan tanpa mendengarkan penjelasan apapun lagi. Melempar headset bluetoothnya kesembarang arah.

Baru beberapa detik keheningan membuat emosinya mereda sedikit, suara telepon kembali terdengar. Kali ini, suara panggilan tersebut berasal dari ponsel dengan nomor pribadinya yang berdering.

Dia melirik sekilas ke arah ponselnya, menghela napas, dan mulai mengangkat telepon. Menekan tombol loudspeaker.

"Hallo, Albert. Bagaimana?"

Pria itu memejamkan matanya yang lelah sejenak. "Jadi, aku benar-benar harus pulang?"

"Albert, kau tidak bisa membujuk ibuku." Sebuah pernyataan yang kali ini ia lontarkan. Dari seberang telepon, dia mendengar sahabatnya mengeluarkan sumpah perapah kecil.

Terkekeh pelan. "Aku tahu sesungguhnya tidak ingin kembali. Kau tahu Ibuku seperti apa."

"Ya, aku tahu. Aku bahkan sudah mampu mendengar ocehan seperti apa yang akan ia lontarkan kepada ku." Temannya tertawa mendengar ucapan setengah bercanda yang terlontar.

"Alright, thank you so much. You helped me a lot."

Setelah memastikan bahwa ponselnya tidak lagi berdering, dan orang-orang tidak lagi mengganggu. Pria ini menginjak dalam-dalam pedas gas mobil Misserati yang digunakan.

Perjalanan dari Queens menuju Manhattan tidak begitu jauh. Hanya berjarak sekitar 31 menit jika lancar dan 45 menit jika terjadi kemacetan. Dan perjalanan malam ini, relatif lancar tanpa ada kemacetan sama sekali.

Tidak lama setelahnya, diperbatasan kota Manhattan, Misserati itu memasuki sebuah bangunan besar, di depannya terdapat gerbang kokoh berwarna hitam.

Pintu pagar terbuka secara otomatis kala security yang berjaga di depan melihat mobil tuan muda melalui layar cctv.

Pria itu turun dari Misseratinya dan membiarkan orang di rumah ini memasukan mobil ke bagasi bawah tanah. Berjalan masuk seraya menenteng jas ditangannya, ia melangkah memasuki mansion.

Beberapa pelayan yang ditemuinya di jalan menyapa, dan dia hanya menjawab dengan anggukan sesekali. Langkah kakinya bergerak menuju sebuah ruangan, di mana ia sudah bisa melihat dua orang tua dan adiknya.

"Sudah datang, kak."

Pria itu mengangguk mendengar kalimat retoris adiknya. Dia memberikan salam singkat kepada kedua orang tua sebelum, menyuruh salah satu pelayan untuk membuatkannya segelas kopi hitam.

"Bagaimana kerja mu?"

"Baik, pa. Walau ada beberapa kekacauan, masih bisa ditangani dengan baik."

Pria yang sudah memasuki usia 60 tahun itu mengangguk puas. Menyeruput kopinya yang mulai mendingin. "Papa senang mendengarnya."

"Kalian para pria, berhentilah membicarakan pekerjaan di rumah." Nyonya Dendanious berdecak, "Tolong bedakan di mana kalian berdiri saat ini; mansion adalah rumah, tempat tinggal. Bukan tempat kalian bekerja, jika kalian ingin membahas bisnis, ruang kerja ada dilantai dua."

Ketika pria dalam keluarga itu hanya tertawa kecil mendengar gerutuan sang Ratu di rumah ini.

"Jadi, ada perlu apa kalian berdua mengundangku datang?" Mengucapkan terima kasih kepada pelayan, sebelum menyeruput kopinya yang masih panas. Dia melirik adiknya dan mengangkat sebelah alis, "Marcuss mengenalkan kekasihnya?"

"Tidak," sahut Marcuss, pria yang mengenakan sweater biru muda.

"Lantas?" Padangan pria berjas hitam itu teralihkan pada ibunya yang berdehem keras. Kening pria itu mengerenyit, telah memiliki firasat tidak enak.

"Mama mengundang mu ada beberapa hal; pertama, kau jarang sekali pulang ke Manhattan, Mino. Kedua, kapan kau akan membawa menantu untuk mama dan papa? Umur mu sudah akan berkepala tiga minggu depan."

Mino meringin saat mendengat ucapan ibunya. Ratu di rumah ini memiliki kekuasaan yang berbeda; semua yang ada di rumah ini, harus mengikuti segala ucapannya, dan perintah itu mutlak adanya. Jika sudah begini, bagaimana Mino akan menjawab?

"Ma, aku masih mau fokus mengurus perusaㅡ"

"Mau ya, mama ikutkan kamu kencan buta?"

"...." Mino sungguh tidak tahu harus berkata seperti apa lagi. Sejak dua tahun yang lalu, mamanya memang kerap kali 'memaksa' Mino untuk ikut kencan buta, dan dalam dua tahun belakangan juga Mino berhasil mengelabui mamanya.

Mata nyonya Dendanious tampak begitu memelas, "Ya, sayang? Nanti mama kenalkan dengan anak teman mama."

Mino menghela napas. Dia melirik adiknya yang tampak acuh, dan papanya yang terlihat tidak begitu peduli namun mengamati.

"Ma, ini urusan Mino. Apakah Mino akan menikah besok atau tidak sama sekali, itu urusan Mino. Mengapa mama tidak menikahkan Marcuss dengan kekasihnya?"

Orang yang merasa namanya ikut terseret dalam kasus pernikahan inipun mendelik, "Hey!" protesnya.

"Kamu yang paling tua, Mino. Kamu tidak keberatan kalau adikmu melangkahi?"

"Sama sekali tidak." Mencoba mengatur pernapasan untuk tidak terbawa emosi setiap kali mendengar topik menjengkelkan ini. "Inilah alasan mengapa Mino malas untuk berada di rumah ma. Mama memaksa kehendak Mino."

Nyonya Dendanious terdiam. Ada sorot kekecewaan dimatanya yang terlihat lelah tapi, Mino merupakan pribadi keras kepala yang juga tidak akan goyah dengan prinsipnya. Setelah itu, Mino pergi dari sana dan beranjak menuju kamarnya di lantai dua.

Melihat kelakuan Mino seperti ini, membuat Marcuss menelan saliva. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, perang dingin antara sang kakak dan sang mama.

"Akuㅡ" tampak ragu, "Aku ke atas dulu, ma, pa. Selamat malam." Marcuss memutuskan untuk kabur daripada ikut terkena getahnya. Sembari dalam hati mengutuk sang kakak.

"Sial, kenapa kak Mino tidak menuruti ucapan mama." Marcuss mendengus. Dia membuka ponsel, mengirim pesan kepada sang kakak melalui aplikasi chat.

Kak Mino

Kak, jika kakak ingin mencari kekasih agar mama diam dan tidak lagi menyuruh mu menikah, mau aku rekomendasikan artis dari agensi ku? .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status